Minggu, 03 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 1)

 


"Halo, Kal ...." Tiara menjawab telepon calon suaminya dengan nada serak. Entah kenapa perasaannya mendadak tidak enak.

"Ra, kita tunda dulu, ya, nikahnya."

Tenggorokan Tiara mendadak kering. "Maksudnya, nggak jadi?"

"Jadi. Tapi kayaknya nggak bisa tahun ini."

"Kok, tiba-tiba?" Tiara meremas ujung kaosnya. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi.

"Kemarin aku nggak sengaja dengar percakapan atasanku, katanya bakal ada promosi ke kantor pusat dalam waktu dekat. Berhubung aku yang paling senior di tim, besar kemungkinan aku yang bakal dapat promosi itu."

Kalimat panjang itu serupa hanya dengungan di telinga Tiara. Karena, pada dasarnya dia tahu pasti kenapa lelaki yang sudah dua tahun menjalin hubungan dengannya itu tiba-tiba berubah pikiran. Padahal, rencana pernikahan sudah mereka bahas sejak setahun yang lalu. Bahkan, bulan lalu sudah sempat keliling cari gedung dan melobi beberapa wedding organizer untuk menemukan konsep yang paling pas.

Akan tetapi, lelaki bernama Haikal itu tiba-tiba berubah pikiran sejak merebak kabar bahwa Tiara adalah anak pelacur.

"Kok, lama banget ngomongnya?"

Tiara mendengar suara perempuan samar-samar. Sepertinya itu ibunya Haikal yang tiba-tiba ikut nimbrung dari kejauhan.

"Ngomong apa adanya aja. Nggak usah basa-basi. Pokoknya, Ibu nggak mau besanan sama pelacur!"

Tiara menggigit bibir menahan tangis.

"Ra, udah dulu, ya, atasanku nelpon." Haikal pun buru-buru mematikan teleponnya, berharap Tiara tidak mendengar omongan ibunya.

Tiara tergugu sambil memegang dadanya. Rasanya sakit sekali. Padahal dia sudah sangat yakin bahwa Haikal adalah lelaki yang tepat untuknya. Dia tidak menyangka lelaki yang berprofesi sebagai manager di salah satu perusahaan ritel itu juga akan terdampak oleh merebaknya kabar yang serupa kiamat di hidup Tiara.

Tiga hari yang lalu, tiba-tiba muncul postingan yang secara gamblang mengatakan bahwa Tiara anak seorang pelacur. Postingan dari akun tak dikenal itu juga memuat desa tempat kelahiran Tiara, nama ibunya, latar belakang singkat, dan beberapa hal lain yang berhasil meyakinkan publik bahwa informasi itu memang berasal dari sumber terpercaya.

Lamat-lamat terdengar lantunan ayat-ayat suci Alquran dari masjid kompleks. Tiara menyeka air matanya dan bangkit untuk mengambil wudhu. Namun, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Melihat nama salah satu editornya di layar, dia kembali duduk di tepi tempat tidur dan menerima panggilan itu.

"Halo, Mbak ...."

"Ra, sebelumnya maaf banget, nih, tapi barusan aku dapat kabar kalau penggarapan novel terbaru kamu harus ditunda untuk waktu yang belum ditentukan." Suara dari seberang terdengar berat mengatakan itu.

Tiara menelan ludah kelat. Padahal dia sudah mencurahkan waktu dan pikiran untuk menyempurnakan naskah itu. Ketika semua tantangan berhasil dia lalui, ujung-ujungnya malah seperti ini. Namun, kondisi sekarang benar-benar membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha untuk ikhlas.

"Aku tahu kamu pasti kecewa banget. Tapi aku juga nggak bisa bantu apa-apa. Ini keputusan manajemen."

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku ngerti, kok."

"Sekali lagi maaf banget, ya."

Tiara mengangguk, meski sadar lawan bicaranya tentu saja tidak bisa melihatnya.

"Kalau memang kamu mau narik naskahnya untuk ditawarkan ke penerbit lain, boleh, kok. Atau kalau semisal kamu tetap mau nunggu di sini, aku pasti langsung hubungi kalau ada kabar terbaru."

"Oke, Mbak."

"Ya udah. Tetap semangat, ya."

"Makasih, Mbak." Tiara menutup teleponnya dibarengi helaan napas panjang. Saat hendak meletakkan benda pipih itu, matanya tidak sengaja menangkap notifikasi email masuk. Dan ketika dibuka, isinya membuat Tiara kian terenyuh.

Email itu datang dari salah satu penerbit yang bekerjasama dengannya, mengabarkan bahwa rumah produksi yang tadinya berniat mengangkat salah satu novel Tiara ke layar lebar tiba-tiba berubah pikiran tanpa alasan yang jelas.

Tiara tebak, kabar semacam ini pasti masih akan berdatangan. Bahkan, bisa jadi orang-orang di sekitarnya tidak sudi lagi bergaul dengannya. Rasanya baru kemarin semua hal di hidup Tiara terstruktur dengan baik. Dia terbilang sukses sebagai seorang penulis. Pembacanya di salah satu platform terus bertambah dari hari ke hari. Penghasilannya puluhan juta setiap bulan. Belum lagi beberapa naskahnya sudah diterbitkan dan selalu best seller. Salah satunya bahkan nyaris difilmkan, andai latar belakangnya sebagai anak pelacur tidak menyebar ke publik.

Dunia Tiara seolah runtuh dalam sekejap.

"Sudah shalat?" tanya Nenek Hamida sambil berdiri di depan pintu kamar Tiara yang memang tidak tertutup.

Tiara menggeleng sambil mengelap air matanya.

Nenek Hamida sangat prihatin melihat kondisi cucu angkatnya itu. Sejak kabar itu menyebar, dia sangat hancur.

"Ya udah, buruan shalat. Habis itu makan. Dari kemarin kamu belum makan."

Tiara mengangguk lemah.

Enam tahun sudah cewek bertubuh ramping itu menetap di Makassar, meninggalkan Bone-kampung halamannya-beserta sebuah kenyataan yang ingin dia lupakan. Dia tidak punya sanak keluarga di Makassar, hanya seorang teman bernama Rani yang dikenalnya lewat Facebook. Mereka sering terlibat di event kepenulisan yang sama. Waktu itu, Tiara antara modal nekat dan benar-benar tidak tahan lagi berada di tengah-tengah kenyataan yang berhasil mengguncang jiwanya.

Melalui arahan Rani, dia kemudian bekerja di sebuah toko pakaian yang mengharuskannya berjaga dari pukul delapan pagi hingga pukul sepuluh malam. Libur yang hanya diberikan dua kali sebulan dengan gaji yang tidak seberapa membuat pekerjaan itu terasa berat. Namun, dia harus menjalaninya sukacita. Mencari pekerjaan hanya bermodalkan ijazah SMA tentu bukan hal mudah.

Daripada hanya berdiam diri ketika tidak ada pengunjung, Tiara makin giat menekuni hobi menulisnya. Dan selama setahunan bekerja di toko pakaian itu, dia berhasil merampungkan beberapa naskah novel. Awalnya hanya ditulis tangan di buku tulis, sebelum dia mampu membeli laptop bekas.

Begitu menerima gaji pertamanya, Tiara lekas mencari indekos yang dirasa cocok. Tidak enak menumpang terus.

Tahun pertama jauh dari kampung halaman dilalui Tiara penuh tantangan. Berbagai upaya dia lakukan demi bertahan kala itu. Dia yakin, seiring berjalannya waktu keadaan akan membaik. Benar saja, berkat Rani lagi, dia mendapatkan pekerjaan di sebuah kafe dengan jam kerja dan gaji yang jauh lebih bersahabat. Merasa punya waktu luang dan tabungan yang sudah cukup, dia memutuskan untuk kuliah, melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti. Selain menjadi penulis, cita-citanya untuk menjadi seorang dokter masih tersimpan rapi di ruang harap. Meski kenyataannya dia hanya mampu kuliah di Universitas Hasanuddin, mengambil jurusan bahasa, bukan kedokteran yang tentu butuh biaya selangit. Setidaknya masih bisa kuliah. Ini jauh lebih baik. Karena itu, dia sangat berterima kasih kepada Rani. Cewek berhijab itu telah banyak membantunya.

Akan tetapi, tiga tahun yang lalu cewek bersahaja itu meninggal dunia karena penyakit asma. Sejak saat itulah Nenek Hamida yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi, tiba-tiba meminta Tiara untuk tinggal bersamanya. Bukan untuk menggantikan posisi sang cucu, tapi sekadar teman berbagi cerita. Dia sungguh tidak ingin melalui masa-masa senja seorang diri.

Tiara langsung menerima ajakan Nenek Hamida. Karena sebelum meninggal, Rani memang pernah menitipkan perempuan renta itu kepadanya. Mewujudkannya adalah salah satu cara Tiara membalas semua kebaikan Rani selama ini.

***

[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya:

KBM

KaryaKarsa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar