Senin, 04 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 2)

 


Masih sambil mengenakan mukena selepas shalat Duhur, Tiara terpaku menatap novel-novel karyanya yang berjejer rapi di rak paling atas. Dia pikir masa kelamnya sudah berlalu. Dia pikir hidupnya akan terus baik seperti kemarin, ketika mimpinya menjadi penulis terwujud. Tiara juga tidak paham bagaimana tangan Tuhan bekerja. Namun, kemarin itu, apa-apa yang dia tulis langsung disukai. Orang-orang seolah begitu mudah mencintainya.

Akan tetapi, sekarang dunia seolah jungkir balik. Mereka yang tadinya mendukung seratus persen, kini mulai melontarkan kalimat-kalimat negatif. Tiara sampai logout dari sosial media karena tidak sanggup membaca komen-komen netizen. Semua prestasinya selama ini terlupakan dalam sekejap. Saat ini fokus orang-orang hanya ke satu hal, bahwa dia anak pelacur.

Haruskah kariernya berhenti di sini?

Akankah hidupnya lebih hancur dari sebelumnya?

"Eh, kok, Duta belum update, sih?" Tiba-tiba Karni menyelonong masuk setelah mengetuk pintu. Duta yang dimaksudnya adalah tokoh dalam cerita terbaru Tiara yang masih on going dan tayang berkala di salah satu platform.

Tiara menghela napas berat. Tanpa dijelaskan pun Karni pasti bisa paham alasannya.

"Oh ya, kata Nenek kamu belum makan, ya?"

Tiara hanya bergumam.

"Nih, aku bawain tahu goreng kesukaan kamu." Karni memperlihatkan kantongan yang dibawanya. "Aku ambil piring dulu," imbuhnya, lalu lekas keluar. Dia memang sudah menganggap rumah ini seperti rumah sendiri.

Rumah Karni sendiri di seberang jalan, pas berhadapan dengan rumah Nenek Hamida. Orangtuanya buka usaha toko kelontong. Selain sahabat sekaligus tetangga, dia juga pembaca setia Tiara.

Beberapa saat kemudian Karni masuk lagi. Kali ini dia langsung duduk melantai dan sibuk menuang tahu goreng beserta sambalnya ke piring yang sudah disiapkan.

Tiara merosotkan tubuhnya untuk ikut melantai.

"Galau boleh, tapi kelaparan jangan. Kamu nggak kasihan sama Nenek? Dia sedih kalau kamu kayak gini," ceramah Karni sambil meraih tisu di atas nakas.

"Loh, ini beli di Ikbal?" tebak Tiara setelah mencium aroma tahu goreng yang sangat dihafalnya itu.

Karni mengangguk sambil mencomot satu gorengan.

"Tumben jam segini udah buka."

Karni mengedik. "Kejar setoran uang panai[1] kali," ujarnya setengah terkekeh.

Untuk pertama kalinya banyolan Karni terasa hambar di telinga Tiara. Bukan tidak lucu, tapi karena saat ini isi kepalanya terlalu rumit.

"Kar ... kamu beneran masih mau temenan sama aku?"

Karni urung menyuap gorengannya. Dia menatap sahabatnya itu dengan kening berkerut samar. "Kok, nanya gitu, sih?"

Saat hendak berucap lagi, tangis Tiara malah kembali pecah.

Karni meletakkan gorengannya, lalu mencabut tisu dan mengelap tangannya buru-buru. Dia lekas berpindah duduk tepat di sebelah Tiara, merangkul dan mengelus pundaknya perlahan. "Hei, kenapa?" tanyanya lembut. Tanya yang sebenarnya sudah dia tahu jawabannya.

"Tiba-tiba seisi dunia seolah benci sama aku." Tiara tergugu. "Aku takut banget ...."

Karni meraih kepala Tiara, merebahkan ke pundaknya. "Nggak gitu, kok. Yang benci hanya orang-orang yang berpikiran pendek. Sementara kami, yang dekat dan benar-benar kenal kamu, tetap akan support dalam keadaan apa pun."

"Sayangnya Haikal nggak."

Mendengar nama itu, Karni langsung mengangkat kepala Tiara. "Maksudnya?"

"Tiba-tiba dia ingin menunda pernikahan."

"Astaga! Gara-gara kabar itu?"

"Sepertinya."

"Sialan, tuh, orang."

"Padahal udah sampai cek-cek lokasi segala."

"Masih mending. Gimana kalau udah lamaran dan sebar undangan? Nggak kebayang malunya."

"Tapi kalau dipikir-pikir ... wajar, sih. Cowok mana yang mau menikahi anak pelacur?" Suara Tiara kembali bergetar.

"Please, Ra, jangan menghakimi diri kamu seperti ini. Ini yang bikin kamu lemah."

Tiara juga tidak ingin seperti ini, tapi sangat sulit untuk bersikap baik-baik saja.

"Soal Haikal lupain aja. Anggap aja belum jodoh. Meskipun harus dengan cara seperti ini, setidaknya Tuhan udah nunjukin muka aslinya. Cowok cemen kayak gitu nggak bisa diajak berjuang bersama."

"Apa aku bisa melewati semua ini?"

"Pasti bisa. Ini akan berlalu, kok. Lambat laun orang-orang akan kembali mencintai karya-karya kamu, tanpa peduli kamu anak siapa, dari mana, dan apa pun itu."

"Semoga ...." Tiara tahu, prosesnya tidak akan semudah itu. Namun, dia sangat bersyukur masih ada seseorang yang berkenan mengucapkan kalimat semacam itu di saat dia memang butuh penyokong.

"Bisa dilacak nggak, sih, siapa yang pertama kali nyebarin kabar itu?"

Tiara hanya mengedik.

"Awas aja kalau ketemu, pengen aku tonjok sampai mukanya pecah seribu." Karni benar-benar geram.

Bagi Tiara, tidak penting mencari tahu siapa pelakunya. Karena kabar itu memang benar, dan cepat atau lambat orang-orang akan tahu. Dia tidak mungkin sembunyi selamanya. Sekarang yang lebih penting adalah, bagaimana menata hari-harinya setelah ini.

"Pokoknya, kamu harus tetap semangat."

"Makasih, ya."

Mereka berpelukan.

***

Tiara berusaha melupakan semuanya dengan mencoba menulis. Namun, hampir sejam berlalu halaman word di monitornya masih kosong. Padahal, malam-malam begini biasanya idenya selalu lancar. Ternyata tidak semudah itu mengalihkan pikiran. Rasa takut akan kehilangan semuanya tetap berkelebat, pun dengan komentar-komentar miring yang membanjiri postingannya.

Tiara mengempaskan punggungnya di sandaran kursi seraya menghela napas berat, pertanda menyerah. Diupayakan dengan cara apa pun, saat ini otaknya benar-benar lagi tidak bisa diajak merangkai kata. Yang ada pikirannya malah terlempar jauh ke belakang. Tepatnya pada Ibu yang dia tinggalkan tanpa pernah memberi kabar sama sekali. Meski kebencian yang bersarang di dadanya tidak serimbun dulu, belum sekali pun terlintas di benaknya untuk kembali, atau sekadar mengetahui kabarnya. Dia seolah ingin menghapus masa lalunya seperti halnya lupa ingatan.

Nenek Hamida datang membawa sepiring kue cella ulu. Dia langsung meletakkannya di atas nakas, lalu duduk di tepi tempat tidur.

"Tadi kamu makannya sedikit sekali, makanya Nenek buatkan ini."

Tiara menoleh dan tersenyum lemah. "Makasih, Nek."

"Sehebat apa pun badai yang sedang terjadi di luar sana, kamu harus tetap jaga diri. Harus tetap makan banyak dan istirahat yang cukup."

Tiara mengangguk lemah tanpa menoleh. Tatapannya tertuju ke kue berbahan dasar beras ketan itu. Entah seperti apa cara Tuhan menuliskan skenario-Nya. Setelah Tiara meninggalkan ibu kandungnya dengan segunung kebencian, di sini malah ada seorang nenek tanpa ikatan darah yang menyayanginya dengan tulus.

"Sepertinya Tuhan sedang menegurmu. Barangkali sudah waktunya kamu kembali."

Tatapan Tiara langsung tertancap di manik mata Nenek Hamida.

"Setelah semua urusanmu dimudahkan, sekarang Tuhan lagi membentangkan rintangan. Mungkin semacam rambu-rambu agar kamu putar balik."

Kening Tiara berkerut samar, matanya mulai berembun. Pembahasan ini sangat sensitif baginya. "Putar balik?"

"Barangkali ada jawaban yang tertinggal."

Tiara menggeleng samar. Dia sungguh tidak ingin berurusan dengan masa lalunya lagi.

"Kamu pernah memberikan ibumu kesempatan untuk menjelaskan semuanya? Atau berusaha mencari tahu kenapa dia sampai memilih jalan itu?"

"Untuk apa lagi?" Tiara tidak sadar berucap lebih lantang.

Nenek Hamida sengaja memberi jeda, membiarkan Tiara menenangkan diri.

"Di umur segini, Nenek sudah sering berhadapan dengan kehilangan. Dan masing-masing dari mereka punya luka yang berbeda. Namun, Nenek sama sekali tidak bisa membayangkan luka kehilangan yang disertai benih kebencian."

Pola napas Tiara mulai tidak teratur. Ada sesak yang mengimpit.

"Enam tahun bukan waktu yang singkat, Nak. Entah sudah sebesar apa kerinduan yang dipendam ibumu. Sekali saja, kamu pernah tidak membayangkan betapa terlukanya hatinya ketika terbangun di pagi hari dan tidak ada kamu lagi di hidupnya?"

Setetes bening lolos di sudut mata Tiara.

"Mungkin kamu tidak sadar, tapi bisa jadi semua pencapaian kamu selama ini berkat doa-doa baik darinya."

Tiara sungguh tidak tahan kali ini. Dia turun dari kursinya, lalu merebahkan kepala di pangkuan Nenek Hamida. Air matanya tumpah ruah.

"Pulanglah, Nak." Nenek Hamida mengelus kepala Tiara dengan lembut. "Barangkali ada yang ingin Allah tunjukkan. Ingat, ridho Allah adalah ridho ibu."

Tiara sama sekali tidak meragukan kalimat itu. Namun, dia masih ingat hari itu. Setelah berusaha keras menepis semua yang mereka katakan tentang Ibu, Ibu malah membenarkannya. Anggukan pelan yang disusul cucuran air mata kala itu seolah menyudahi segalanya. Bukan hanya tameng dalam diri Tiara yang runtuh, harga diri dan cita-cita pun turut melebur. Tiba-tiba gelap seketika. Dan tanpa diundang, bibit kebencian mulai tumbuh. Lantas, masih adakah ridho dari ibu yang seorang pelacur?

Meninggalkan Ibu adalah jalan terbaik saat itu. Setidaknya menurut Tiara pribadi. Dia takut gagal bertahan dalam situasi yang membuatnya menarik diri dari pergaulan. Kabur lebih baik daripada bunuh diri.

"Siapa pun dia, seburuk apa pun kehidupannya, Ibu tetap perempuan yang melahirkanmu. Jangan lupakan rahim di tubuhnya yang pernah jadi rumah pertamamu. Satu hal yang pasti, seorang Ibu akan melakukan apa pun demi anaknya. Sekalipun dengan cara yang salah." Nenek Hamida terus mengelus kepala Tiara.

Ini bukan kali pertama Tiara mendengar nasihat Nenek. Namun, mendengarnya lagi di saat hancur seperti ini rasanya sungguh beda.

***

[Bersambung]

Catatan kaki:

[1]Uang panai - Mahar.


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya:

KBM

KaryaKarsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar