Selasa, 19 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 4)

 


Jakarta, 20 tahun sebelum Tuhan menunjukkan akhir sebuah kisah yang dianggap usai.

Kisah yang sesungguhnya bermula pada suatu hari, ketika hujan tanpa antaran mendung serta-merta membasahi kawasan TPU Islam Nurani yang berlokasi di pinggiran Kota Jakarta. Kawanan bulir sejuknya melumat pucuk pepohonan, nisan-nisan, rumput kuyu yang telah merekam sejuta tangis pilu, juga lelaki yang menenteng biola di tangan kanan sambil berlari keluar dari TPU. Usahanya mencari tempat berteduh berakhir pada teras sebuah rumah yang berposisi tepat di samping tembok setinggi dada yang memagari sekeliling TPU.

Lelaki itu sibuk mengibaskan rambut serta ujung kemejanya, membebaskannya dari gelayutan bintik-bintik air hujan.

"Pakai ini!"

Kesibukannya terhentikan oleh sodoran handuk putih dari seorang gadis. Tuan rumah sepertinya.

"Maaf, aku mampir berteduh tanpa permisi." Ucapan penuh rasa tidak enak itu dibalas oleh tuan rumah dengan senyum tidak mempermasalahkan.

Handuk tadi sudah berpindah ke tangan si lelaki setelah lebih dulu meletakkan biolanya di atas meja kecil yang diapit dua kursi berlengan. Ia lantas membunuh rasa tidak enaknya dengan kesibukan menyeka rambut serta lengannya.

"Sepertinya hujan masih lama. Enggak ingin menunggu sambil duduk?"

Ajakan tuan rumah disambut cengiran lebar oleh si lelaki, sebelum mengisi kursi kosong di sebelahnya.

"Dirga." Lelaki itu mengulurkan tangan. Sungguh, ia tidak ingin jika malah gadis itu yang lebih dulu menyebutkan nama.

Tuan rumah mengenalkan diri sebagai Mia, sambil menjabat tangan Dirga. Mia sudah sering melihat lelaki itu, mengamati lebih tepatnya. Namun, pertama kali untuk sedekat ini, mendengar suaranya, dan ... ah, baru saja genggaman tangan mereka menyatu. Menyadari hal itu, Mia tak setenang yang terlihat. Parade kembang api tergelar meriah dalam hatinya, menimbulkan sensasi yang ia sendiri tak mampu membahasakannya.

Jika saja Dirga lebih jeli, maka ia bisa melihat sikap grogi yang menyertai setiap gerakan Mia, juga tatapannya. Ia hanya terlampau sibuk meredam rasa tidak enak telah mampir berteduh di rumah orang tanpa permisi.

"Tunggu sebentar, ya." Mia beranjak ke dalam tanpa menyisakan jeda untuk Dirga sekadar menjawab. Sepeninggal Mia, pandangan Dirga berkeliling, lalu bertumpu pada sisi kanan teras. Di sana ada beberapa batang sapu lidi, lengkap dengan pengki dan keranjang sampah yang tertata rapi.

Berselang beberapa menit Mia hadir kembali disertai secangkir teh yang memamerkan kehangatan lewat kepulan asap tipis di permukaannya.

"Biar enggak masuk angin," ucap Mia sambil meletakkan teh suguhannya di atas meja, tepat di samping biola Dirga.

"Wah, aku jadi makin enggak enak, nih." Dirga menggaruk bagian belakang kepala yang tak gatal.

"Santai aja." Mia tersenyum, alih-alih mempersilakan tamu dadakannya untuk minum.

Masih kikuk, Dirga meraih cangkir teh berbahan keramik bermotif bunga tulip itu. Diseruputnya sekali, kemudian diletakkan kembali ke tempat semula.

"Kamu kuncen?" Dirga meloloskan pertanyaan itu setelah sekilas pandangannya kembali mengarah ke sisi kanan teras. Namun ... ah, pertanyaan bodoh! Mana ada kuncen perempuan muda dan ... cantik?

"Bisa dibilang begitu." Jawaban Mia membuat Dirga urung mengutuk pertanyaannya barusan—meski belum yakin akan kesungguhan kalimat yang baru didengarnya. "Tapi sebenarnya sekadar bantu Ayah saja, kok."

Bibir Dirga membulat disertai anggukan pelan. "Terus, kesibukan lain?"

"Kesibukanku, yah, cuma di TPU ini, bantu Ayah. Aku hanya tamatan SMA. Itu juga udah syukur banget."

"Kenapa?"

"Kamu tahu sendiri, kan, pendidikan sekarang mahal. Aku enggak ingin menyusahkan Ayah."

"Tapi sebenarnya jika kita mau berusaha, pasti selalu ada jalan."

"Iya. Aku paham."

Sejenak tidak ada percakapan. Kebersamaan itu dilatarbelakangi gemuruh air hujan yang berlaga di atap. Dirga kembali membasahi tenggorokannya dengan teh yang kini sisa setengah cangkir.

"Sudah lama ayahmu jadi kuncen?" tanya Dirga sembari meletakkan kembali cangkir tehnya.

Mia mengangguk. "Bahkan sebelum aku lahir. Aku bangga pada Ayah. Beliau pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Dan yang paling penting, beliau sangat mencintai pekerjaannya."

"Pada dasarnya semua anak di dunia ini pasti bangga pada orangtua masing-masing. Hanya saja enggak semua bisa mengungkapkannya."

"Kamu benar. Aku setuju!"

Mereka kembali diam. Hujan masih betah menemani.

"Ohya, kamu hanya tinggal berdua dengan ayahmu?" Dirga kembali memulai obrolan.

Mia mengangguk.

"Ibu kamu?"

"Ibu sudah meninggal, lima tahun silam," ungkap Mia setelah bungkam sesaat.

"Maaf, aku enggak bermaksud untuk—"

"Enggak apa-apa, kok. Kematian bagian dari perjalanan hidup. Semua yang bernyawa pasti akan melaluinya. Lebih bijak jika kita tidak perlu terlalu larut di dalamnya."

Senyum menenangkan terlukis di wajah Dirga.

Perlahan-lahan hujan mulai reda. Kini yang terdengar hanya alunan nada-nada penutup, seiring menipisnya barisan rintik yang sedari tadi begitu kompak menghalau pandangan. Tak pernah terlintas di benak Mia akan datangnya hari ini. Terang saja jika ia merasa momen itu sangat berharga. Akan tetapi ... ini saatnya diakhiri. Dirga pamit.

"Hujannya sudah reda, nih. Aku harus pulang." Dirga meraih biolanya. "Terima kasih untuk semuanya," lanjutnya kemudian.

"Sama-sama!"

Dirga beranjak dari tempat duduknya dan mengawali langkah pertama meninggalkan rumah itu.

"Tapi, Dir ...."

Cegahan Mia mematahkan langkah Dirga.

"Besok kamu ke sini lagi, kan? Eh, maksudku main biola lagi di TPU?"

Dirga menyelipkan tanda tanya di tatapannya. Kok, ia tahu? Namun, pertanyaan itu tak dibahasakannya. Ia memilih mengangguk sembari tersenyum. Kemudian, ia berbalik dan kembali melangkah.

"Tunggu, Dir!" cegah Mia lagi.

Dirga menoleh dengan sebelah alis terangkat kali ini.

"Mm ... aku senang banget bisa ngobrol sama kamu hari ini." Mia lantas mengutuk kalimat barusan. Demi apa ia harus berkata seperti itu?

"Ah, aku juga, kok."

"Ya sudah, hati-hati, ya."

Dirga mengangguk kemudian melambaikan tangan sebelum berbalik dan benar-benar pergi. Mia membalasnya dengan senyum bermekaran. Mungkin bagi Dirga momen yang tak kurang dari tiga puluh menit barusan hanya berujung lega bisa terhindar dari guyuran hujan, tetapi berbeda dengan Mia.

Hari ini benar-benar istimewa baginya.

***

Seperti malam-malam sebelumnya, seusai menikmati hidangan makan malam yang dipersiapkan sendiri oleh putrinya, Pak Warto merebahkan diri di kursi panjang bermodel unik yang dihasilkan dari rakitan berbahan dasar bambu. Mia memijat betis dan punggung ayahnya agar rasa lelah cepat menyingkir dan besok siap untuk kembali bekerja. Inilah salah satu bentuk baktinya selaku anak. Setiap malam ia melakukannya dengan senang hati.

"Ayah, hari ini Mia senang ... banget," tutur Mia dengan ekspresi dilebih-lebihkan.

"Oh ya?"

"Ayah tahu kenapa?"

"Kenapa?" Pak Warto memang selalu meladeni setiap omongan putri semata wayangnya itu.

"Karena akhirnya bisa kenalan dengannya, bahkan ngobrol panjang lebar," ungkap Mia berbinar-binar.

"Maksudmu, lelaki yang setiap sore main biola di TPU?"

Mia mengangguk tegas tanpa menghentikan pijatannya.

"Bagaimana ceritanya? Bukannya selama ini kamu hanya bisa mengintipnya dari balik pohon?"

"Kali ini beda, Yah!"

Pak Warto hanya mengiyakan dengan gumaman.

"Ternyata orangnya ramah, dan lebih ganteng kalau dilihat dari dekat." Mia lepas kontrol atas ucapannya. Ia refleks menepuk bibirnya.

"Wah ... wah ... wah ... sepertinya ada yang lagi naksir berat, nih!" ledek Pak Warto.

"Eh, Ayah apa-apaan, sih? Enggak, kok!" Mia salah tingkah.

"Mia, Ayah juga pernah muda, pernah melewati masa-masa yang kamu alami sekarang. Jadi, Ayah tahu persis bagaimana suasana hatimu saat ini."

Mia terdiam.

"Ayah tidak masalah kalau misalnya kamu suka atau bahkan nantinya pacaran dengan lelaki itu. Yang penting tahu batasan. Hati-hati, jangan sampai ia menyakitimu."

"Omongan Ayah terlalu jauh. Kami sekadar kenalan, Yah! Mia hanya tertarik sama permainan musiknya."

"Alunan musik yang terlahir dari violis ganteng memang selalu indah, ya?" timpal Pak Warto penuh senyum jail.

"Apaan, sih, Yah?" Mia menepuk pelan betis ayahnya. "Lagian Mia enggak mau pacaran dulu. Saat ini cinta Mia hanya milik Ayah, belum ingin membaginya untuk orang lain."

"Ayah bahagia mendengarnya. Tapi bagaimanapun juga kamu harus mulai belajar membaginya untuk orang lain. Kamu butuh pendamping hidup."

"Untuk apa? Mia, kan, sudah punya Ayah."

"Ya jelas beda, dong! Lagipula Ayah ini sudah tua, sakit-sakitan. Ayah tidak bisa selamanya menjaga kamu."

Riak wajah Mia seketika berubah. "Kenapa Ayah ngomong gitu? Ayah tega meninggalkan Mia sendirian?"

"Maka dari itu, sebelum pergi, Ayah ingin kamu menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Ayah untuk menjaga dan melindungimu." Pak Warto menoleh ke arah putrinya, menyematkan tatapan serius.

"Mia enggak mau dengar lagi. Mia benci Ayah ngomong begitu!"

"Ayah, kan,sekadar mengingatkan."

"Pokoknya Mia enggak mau dengar lagi!" Mia menekuk mukanya.

"Ya sudah, tidak usah ngambek. Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi."

"Janji?" Mia melirik.

Pak Warto mengangguk sembari tersenyum.

Keceriaan hati Mia telanjur padam, berganti dengan rasa takut akan kehilangan orang yang sangat berarti di hidupnya untuk kedua kalinya. Hal ini membuat diamnya berkepanjangan.

***

Mia tak pernah melewatkan sekian menit waktu terbaiknya di setiap alunan sore, ketika seluruh sel tubuhnya tunduk pada permainan biola lelaki yang bersimpuh di sana. Entah berapa banyak hari diajaknya bercerita, sejak pohon oak rimbun itu setia memberinya sandaran untuk menikmati persembahan violis yang tak pernah ia tahu namanya, yang kemudian ia juluki "Malaikat Pengutus Kedamaian".

Mia tak punya cara untuk mencegah dirinya larut tak tersisa dalam pesona lelaki itu, hingga seluruh alam pun tahu bagaimana kedamaian begitu ikhlas merangkulnya setiap mendengar alunan musik yang tercipta dari dawai-dawai biola malaikat pengutus kedamaiannya itu. Tak heran jika pada akhirnya hujan pun bersedia menyeret pemilik rambut ikal itu untuknya.

Turut membantu pekerjaan sang ayah yang seorang kuncen di TPU Islam Nurani tak sengaja menghadirkan Dirga di kehidupan Mia. Di sanalah ia kini, di tempat persembunyiannya selama ini, di balik pohon oak.

Perasaan damai yang entah mewujud dengan cara apa masih sama ketika pertama kali ia mendengar alunan musik itu. Bukan seminggu atau sebulan yang lalu, ketika hati Mia diam-diam tercuri olehnya. Namun hingga kemarin sebelum lelaki itu memenuhi teras rumahnya dengan senyum santun, ia sebatas pengagum rahasia. Pun saat ini, jika ia belum juga mengakhiri drama yang ia perankan dari balik pohon.

Ada yang berbeda hari ini, sebab berkat hujan kemarin ia telah mengantongi nama lelaki yang masih berdansa dengan biolanya di sana.

Dirga ....

Ah, menyebut namanya saja bisa mendatangkan bahagia.

Sore ini masih sama dengan ratusan sore sebelumnya. Dirga bersimpuh di hadapan sebuah makam. Angin membelai lembut raut wajahnya. Matanya terpejam mengikuti alunan nada dari biola yang dimainkannya. Jemarinya begitu mahir memadukan dawai-dawai biola pada tangga nada. Setiap tarikan nada selaras dengan bahasa tubuhnya. Mengalun lembut, serupa tarian ilalang yang tumbuh liar di sekitaran. Ia seolah menarik diri dari dunia luar, membiarkan jiwanya berlaga di udara.

Mia memantapkan hati untuk memulai babak baru akan kehadiran Dirga dalam kesehariannya. Jika hujan telah lebih dulu berkehendak menciptakan obrolan di antara mereka, lantas alasan apa ia enggan sekadar beranjak dari balik pohon dan melipat jarak di antara mereka yang sebenarnya hanya dua kali entakan lari.

Langkah pelan mengantar Mia beranjak dari persembunyiannya. Entah tema obrolan apa yang tengah ia persiapkan. Ia hanya ingin kembali lebih dekat dengan sosok yang telah menyita rasa penasarannya selama ini. Meski langit sore sedang cerah dan sepertinya hujan yang membingkai kebersamaan mereka kemarin tak akan menampakkan diri.

Selangkah lagi posisi Mia sejajar dengan malaikat pengutus kedamaiannya selama ini, bersamaan dengan suguhan nada terakhir sebagai penutup persembahan sore tersebut. Spontan, Mia tepuk tangan meriah, menyadarkan Dirga akan kehadirannya. Lelaki berkemeja hitam kotak-kotak itu mendongak, menemukan senyum Mia yang langsung ia kenali sebagai pemilik rumah tempatnya menyelamatkan diri dari jangkauan hujan kemarin.

"Kamu?" Terkaan Dirga dibalut senyum.

Mia turut bersimpuh, menyetarakan garis pandang.

"Aku enggak ganggu, kan?" kikuk Mia.

"Enggak, kok!" jawab Dirga disertai gelengan.

"Permainan biolamu indah sekali. Aku suka!" ungkap Mia dengan nada malu-malu.

"Terima kasih!" Kepakan senyum Dirga melebar.

"Tanpa kamu sadari, setiap sore kamu selalu membaluri tempat ini dengan suasana damai dan aku selalu larut di dalamnya."

Dirga mengernyit, pertanda kurang menangkap maksud kalimat barusan.

"Musik kamu mampu mendamaikan hati siapa pun yang mendengarnya, magic," terang Mia penuh pujian.

"Masa, sih? Kamu berlebihan!" Tawa kecil meluncur dari mulut Dirga.

"Selama ini aku menikmatinya dari sana." Mia menunjuk pohon oak yang berjarak beberapa meter dari posisi mereka. "Tanpa ada keberanian untuk menampakkan diri," lanjutnya setelah tatapan Dirga kembali padanya.

"Kenapa?" Dirga mengernyit.

"Aku malu." Mia tercekat, disusul semburat merah jambu yang menyembur perlahan di pipinya. "Kamu seperti malaikat, malaikat pengutus kedamaian," lanjutnya dengan nada lebih pelan.

Dirga sukses dibuatnya terkekeh.

"Dir, yang terbaring di dalam sana, siapa?" tanya Mia, serta-merta menyudahi kekehan Dirga, berganti senyap—sangat senyap.

"Ayah." Dirga menunduk. "Beliau yang mengajarkanku bermain biola. Lagu yang sering kamu dengarkan itu memiliki banyak kenangan saat-saat indah bersama beliau." Dirga jeda sejenak. "Di hari ulang tahunku yang keenam, Ayah menghadiahkan biola ini." Dirga mengelus biola yang terletak di atas pusara sang ayah. "Hari itu, untuk pertama kalinya Ayah mengajarkanku bermain biola. Lagu itu yang beliau ajarkan."

"Apa judul lagunya?"

"Malaikatku. Ciptaan Ayah sendiri. Seperti kamu, beliau juga menganggapku malaikat. Tapi, tentu saja berbeda dalam arti sebenarnya." Dirga tersenyum getir di tengah sendu wajahnya. "Selama bertahun-tahun kami memainkan lagu itu bersama-sama, di setiap kesempatan."

Mia turut merasakan rasa kehilangan yang kini kembali mengiringi detak jantung Dirga. Tangan Mia bergerak pelan, tujuannya pundak Dirga. Namun tiba-tiba ia ragu, lekas ditariknya kembali.

"Maaf, aku sudah lancang. Harusnya kita enggak perlu membahas hal ini. Aku bikin kamu sedih."

"Enggak apa-apa, kok. Kan, kamu sendiri yang bilang, bahwa kematian bagian dari perjalanan hidup dan semua yang bernyawa pasti akan melaluinya. Lebih bijak jika kita tidak perlu terlalu larut di dalamnya."

Mia takjub. Ia yang mengucapkan kalimat itu kemarin dan baru saja Dirga mengulanginya sama persis.

"Masa-masa menjahit luka telah kulalui dengan segala cara. Aku harus lebih kuat, untuk masalah yang tak kenal waktu dan kondisi." Dirga berucap tanpa menoleh ke arah Mia. Agak tengadah, ia meluaskan pandangan saat tiba-tiba bola matanya menghangat.

Mia memandang lekat-lekat wajah Dirga dari samping. Ia yakin, lelaki hitam manis itu tidak sedang baik-baik saja.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar