Selasa, 05 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 3)

 


Hari ini hampir sama dengan hari kemarin. Dari tadi pagi Tiara masih mengurung diri di kamar. Setelah asar, barulah dia memaksakan diri untuk keluar membeli beberapa keperluan dapur. Dia tidak boleh terus-terusan mengandalkan Nenek untuk memasak. Kasihan, Nenek sudah cukup capek mengurusi orderan jahitannya.

Nenek Hamida mulai menerima orderan jahitan untuk berbagai macam model pakaian sejak masih muda. Ruang tamu rumah mereka merangkap jadi ruang kerja Nenek. Katanya itu salah satu strategi marketing. Jadi kalau ada tamu, mereka bisa sekalian lihat-lihat hasil jahitan Nenek.

Tiara pernah menyarankan agar berhenti saja, biar dia yang fokus cari uang. Namun, Nenek Hamida bersikeras tetap menjahit selama fisiknya masih sanggup. Katanya, badannya malah pegal-pegal semua kalau tinggal diam.

Karena gagal menyuruhnya berhenti, Tiara pun mencari cara agar suasana kerja Nenek semakin nyaman. Tiara pun membelikan mesin jahit yang lebih canggih, serta semua hal yang bisa mempermudah pekerjaan Nenek. Beberapa bulan yang lalu Tiara juga membiayai penuh renovasi rumah itu sehingga tampak jauh lebih nyaman dari sebelumnya.

"Eh, mau ke mana?" tanya Nenek Hamida di balik mesin jahit begitu melihat Tiara melintas.

"Ke depan bentar, Nek."

Nenek Hamida tersenyum. Dia lega melihat anak itu mulai membaik. "Ya udah, hati-hati."

Tiara belanja kebutuhan dapur di toko Karni. Di pelataran toko kelontong yang lumayan besar itu, Ikbal menyewa tempat untuk berjualan tahu goreng. Meski hanya penjual gorengan, Ikbal lumayan populer karena paras tampannya yang sepintas mirip aktor Malaysia. Entahlah, Tiara tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Yang dia tahu, Ikbal itu sangat ramah. Makanya dagangannya laris manis.

"Hei, Bal." Tiara menyempatkan diri menyapanya. "Buka lebih awal lagi?"

"Eh, Ra." Ikbal yang sedang memotong tahu, berhenti sejenak. "Kayaknya bakal seperti ini terus. Aku lagi menyiapkan sesuatu, jadi harus lebih rajin kerjanya."

"Mau nikah, ya?" tebak Tiara sambil mengacungkan telunjuk.

"Maunya, sih, gitu. Tapi calon aja belum punya, nih." Cowok hitam manis itu terkekeh.

"Maksudnya belum ada yang diiyain, kan? Padahal yang ngantri banyak."

"Ah, kamu bisa aja." Ikbal kembali memperlihatkan barisan gigi putihnya.

"Eh, aku masuk dulu, ya."

Ikbal mengangguk mengiyakan seraya mengulum senyum. Namun, baru dua langkah Tiara berpaling, dia kembali memanggil. "Ra!"

Tiara menoleh. "Hm?"

Ikbal malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Eh, nggak deh. Cuma manggil." Dia nyengir salting.

Tiara tersenyum sambil geleng-geleng, merasa aneh. Dia pun melanjutkan langkahnya.

Ikbal meringis samar. Padahal tadi itu dia mau bilang, kalau dia senang melihat Tiara bisa senyum lagi. Namun, entah kenapa dia merasa tidak pantas mengucapkan kalimat itu.

Sejak Tiara tinggal di rumah Nenek Hamida, sejak saat itu pula Ikbal menyukainya diam-diam. Namun, mengingat dirinya hanya tukang gorengan, dia terlalu minder untuk mengutarakan perasaannya. Hingga akhirnya Tiara menjalin hubungan dengan Haikal. Ikbal semakin menutup perasaannya. Dia hanya tidak tahu, bahwa hubungan Tiara dengan cowok tajir itu sedang tidak baik-baik saja, atau malah sudah bisa dikatakan berakhir.

"Melihat kamu ke sini lagi seperti menyaksikan tarian hujan setelah kemarau panjang," sambut Karni dari balik etalase.

"Lebay." Tiara mengibaskan jemari. "Eh, tapi, kok, aku nggak asing, ya sama kalimat itu?"

"Iya, ada di novel kamu." Karni terkekeh.

"Sudah kuduga. Kamu emang pembaca terbaik, sih."

"Iya, dong."

Tiara mengambil keranjang di samping pintu, lalu mulai memilih barang-barang yang dibutuhkannya.

Seperti biasa, Karni keluar dari balik etalase dan membuntuti Tiara untuk mengobrol random. Kadang sampai kena tegur sama ibunya kalau toko lagi ramai tapi dia tetap seperti itu.

"Eh, tadi ngobrol apa sama Ikbal?"

"Cuma nyapa."

"Dari kemarin dia bolak-balik nanyain kamu. Dikira aku baby sitter kamu kali."

"Oh ya?"

Karni mengangguk. "Udah kayak yang paling khawatir kamu nggak kelihatan beberapa hari."

Tiara tampak berpikir sejenak, lalu lanjut memilih barang tanpa merespons lagi informasi itu.

"Jadi gimana, udah baikan, kan?" Karni buka obrolan lagi.

"Sedang diusahakan."

"Pokoknya, kalau ada apa-apa ngomong aja sama aku. Aku paling nggak rela kalau kamu nyerah sama situasi ini."

Tiara mengangguk seraya tersenyum tipis.

Selesai belanja, Tiara langsung pulang, sebelum Nenek mengambil alih dapur. Namun, langkahnya terhenti di dekat stan Ikbal karena cowok itu memanggilnya. Ketika Tiara menoleh, Ikbal mendekat sambil menyodorkan sekantong tahu goreng.

"Loh, perasaan aku nggak pesan, deh," herannya, sambil menerima kantongan itu.

"Buat Nenek."

"Oh, berapa?"

"Maksudnya, itu gratis. Soalnya, tiba-tiba aku dibikinin celemek." Ikbal menunjuk celemek yang sedang dipakainya. "Karena nggak mau dibayar, gantinya itu aja. Sekalian bilangin, aku suka banget celemeknya." Cowok santun itu nyengir.

Tiara tergelitik dengan tulisan di celemek itu.

Tahu Goreng Aroma Cinta

Menyadari ekspresi Tiara, Ikbal langsung klarifikasi. "Oh, ini Nenek yang bordir, kalimatnya juga ngarang sendiri."

"Keren, kok. Pasti pelanggan kamu tambah ramai. Siapa coba yang nggak suka sama aroma cinta?"

Mereka tergelak.

"Ya udah, aku balik, ya. Makasih gorengannya."

Ikbal mengangguk dengan sisa tawa yang belum reda seutuhnya. Meski hanya dengan momen seperti itu, dia sudah sangat senang bisa mengenal Tiara.

***

Setibanya di rumah, Tiara langsung berkutat di dapur. Namun, ternyata memasak tidak cukup ampuh untuk mengalihakan pikiran. Pelan-pelan semua hal buruk yang sedang terjadi kembali memadati kepalanya.

Tiara merasa dejavu. Apa yang terjadi kini seolah lanjutan dari episode-episode sulit enam tahun silam, ketika semua orang saling bisik perihal masa lalu Ibu yang katanya seorang pelacur, juga soal profesinya sebagai biduan organ tunggal.

Alfian, Kakak kelas yang ditaksir Tiara waktu itu serta-merta menjauh ketika kabar seputar masa lalu Ibu merebak. Sebelumnya, cowok berambut ikal itu dengan senang hati selalu memberinya tumpangan sepulang sekolah. Membonceng di motor sport milik Alfian menjadi sepenggal momen indah yang patut ditunggu-tunggu oleh Tiara setiap hari. Arah pulang mereka memang sejalan. Alfian tinggal di Barebbo, sekitar empat kilometer dari tempat Tiara. Dia anak bungsu orang terkaya di kampungnya. Karena itu, Tiara tidak pernah berharap apa pun atas kedekatannya dengan pemilik gigi gingsul itu, selain hanya selalu membonceng ketika pulang sekolah.

Untuk Alfian sendiri, entah alasan apa dia memilih memberi tumpangan kepada Tiara setiap hari. Padahal masih banyak teman lain yang searah dengannya. Tidak jarang dia mengajak singgah nge-bakso, atau sekadar menikmati es tong-tong yang dijajakan pedagang keliling. Saat seperti itulah tawa mereka akan berhambur. Usik-usikan. Hal-hal sederhana yang kemudian menganak rindu di hati Tiara. Secara tidak langsung memekarkan sejumput harapan, membiarkan sesuatu bertunas, dan membuatnya semakin susah mengelak.

Namun sejak kabar masa lalu Ibu merebak, masa-masa seperti itu tidak ada lagi. Dia kembali naik angkot, sama seperti sebelum mengenal Alfian, cowok pertama yang berhasil membuatnya merindu.

Tiara pernah berusaha memastikan penyebab perubahan sikap Alfian terhadapnya. Waktu itu, mereka tidak sengaja berpapasan di koridor, ketika Tiara hendak ke perpustakaan. Tiara langsung memberikan senyum terbaiknya. Dan dibalas oleh Alfian seadanya saja.

"Mauki[1] ke mana?"

"Kantin," jawab Alfian seraya sibuk mengecek ponsel.

"Kenapaki kayak berubah? Atau perasaanku ji[2]?"

"Maaf, orangtuaku melarang berteman dengan orang yang nggak jelas asal-usulnya." Alfian berlalu setelah terang-terangan mengoyak hati Tiara. Ada sesuatu yang beguguran di sana. Sejak saat itulah Tiara berhenti mencoba untuk mengerti maksud setiap perhatian-perhatian kecil dari Alfian selama ini. Alasan cowok itu menjauh malah lebih kuat merangkul benaknya.

Tidak hanya sampai di situ. Keempat sahabatnya pun perlahan-lahan mulai membentangkan jarak. Dia tidak pernah lagi diajak bergabung jika ada tugas kelompok. Rutinitas belajar bareng pun ditiadakan. Mereka seolah membiasakan diri melakukan apa pun tanpa perlu mengajak Tiara. Mereka memang tidak pernah terang-terangan mengungkapkannya seperti Alfian, tapi semua perubahan yang ada cukup mewakili.

Hari-hari yang tercipta kemudian menjadi sangat menyiksa bagi Tiara. Tidak ada lagi keceriaan di sekolah itu. Dia terkucilkan. Semua orang seolah akan kena imbas jika bergaul dengannya. Kabar masa lalu Ibu yang katanya seorang pelacur semakin santer terdengar. Bahkan, ada yang terang-terangan menyebutnya sebagai anak haram. Katanya, dia hanya hasil kebiadaban yang tidak diharapkan. Hati mana yang tidak hancur bila diperlakukan seperti itu?

Tentu saja Tiara mengelak. Dia berjuang keras untuk menepis semua anggapan itu. Dia yang kenal Ibu lebih dari siapa pun. Ibu sosok pekerja keras yang tidak pernah menunjukkan tampang lelah demi melihatnya tersenyum. Bahagia. Perempuan tangguh yang mampu bangkit dan bertahan hidup setelah ditinggal mati suami.

Perihal Ayah, Tiara tidak begitu ingat. Dia masih terlalu kecil untuk tahu banyak hal waktu itu. Yang jelas, dia bukan anak haram seperti yang mereka katakan. Dia punya Ayah.

Kabar yang serta-merta merenggut kecerahan hari-hari Tiara pertama kali meluncur dari bibir Cika, teman sekelas yang memang selalu cari gara-gara dengannya. Tepatnya sejak Tiara mulai dekat dengan Alfian. Pasalnya, sebagai seorang mantan yang sebenarnya masih mengharapkan cinta Alfian, Cika terbakar api cemburu. Hari-harinya jadi disibukkan dengan pikiran-pikiran apa pun demi membuat hidup Tiara tidak tenang. Tiara terbilang tangguh menghadapi Cika. Ada-ada saja hal yang bisa membuatnya merasa menang. Namun, tidak untuk sekarang ini, setelah semua orang beranggapan bahwa dia anak pelacur.

Cika sendiri tidak punya bukti kuat soal kebenaran kabar yang dia siarkan dengan antusias itu, kecuali kesaksian dari mulut berbusa milik pembantu di rumahnya. Konon, pembantu itu teman dekat mantan suami Ibu. Dia paham semua permasalahan yang terjadi di rumah tangga mereka. Hingga Ibu memilih jual diri demi terlepas dari permasalahan ekonomi.

Sekencang apa pun kabar itu meluas di sekolah, Tiara tidak pernah percaya. Hanya saja, dia masih belum menemukan cara yang tepat untuk melakukan perlawanan. Terhadap Ibu, Tiara tidak pernah kepikiran untuk menanyakan kebenaran kabar itu. Dia tidak ingin beliau tersinggung. Ibu memang biduan organ tunggal yang kebanyakan mengambil job malam, tapi dia bukan pelacur!

Tiara menanamkan keyakinan itu dalam hati. Setidaknya sampai hari di mana Ibu malah mengakui, bahwa kabar itu memang benar, bahwa dia mantan pelacur.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya:

KBM

KaryaKarsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar