Kamis, 07 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 4)

 


Satu minggu sudah berlalu sejak latar belakangnya bocor ke publik. Namun, Tiara tidak merasakan ada perubahan berarti. Dia belum berani buka sosmed karena komentar miring netizen masih ada di mana-mana. Lebih parahnya lagi, dia seolah kehilangan kemampuan menulisnya.

Tiara sadar, dia tidak bisa seperti ini terus. Dia harus tegas terhadap hidupnya sendiri. Malam-malam panjang dia gunakan untuk merenungi, mencari cara untuk keluar dari fase ini. Dari sekian banyak cara yang sempat terlintas, pada akhirnya tetap kalimat Nenek Hamida yang berdengung paling keras.

"Pulanglah, Nak. Barangkali ada yang ingin Allah tunjukkan. Ingat, ridho Allah adalah ridho ibu."

Karena itu, setelah enam tahun kukuh dalam pendirian, hari ini Tiara memutuskan untuk pulang. Dia akan menemui Ibu, melihat kembali wajah yang pernah sangat dia kagumi. Meski setelahnya, dia tetap akan kembali menjalani kehidupannya yang sekarang. Dia hanya ingin membuat Ibu dan dirinya sendiri lebih tenang.

Nenek Hamida adalah orang yang paling senang mendengar keputusan itu. Entahlah, tapi dia merasa bersalah kalau gagal membujuk cucu angkatnya itu untuk berdamai dengan ibu kandungnya.

"Kamu nggak lupa jalan pulang, kan?" tanya Nenek Hamida dengan nada setengah bercanda tadi malam, sambil menemani Tiara berkemas.

"Ya nggak lah, Nek."

Tiara tidak berniat lama-lama. Jadi, dia hanya bawa satu ransel yang hanya muat beberapa pakaian.

Saat ini Tiara berada di teras, menunggu mobil jemputan. Karni dan Nenek Hamida menemaninya. Mereka masih setengah percaya bahwa hari ini akhirnya datang juga. Bertahan untuk tidak pulang selama enam tahun bukan keputusan main-main. Mereka tidak bisa membayangkan sedalam apa luka di hati Tiara.

Setelah menunggu sekitar sejam, akhirnya mobil datang juga. penumpangnya sudah penuh, hanya menyisakan satu kursi kosong di samping sopir yang memang sudah dipesan Tiara sejak semalam. Si sopir langsung turun dan memasukkan tas Tiara ke bagasi.

"Nek, aku berangkat, ya."

"Semoga kamu menemukan jawaban di sana."

Meski agak sangsi, Tiara mengangguk, kemudian mendekap Nenek Hamida sangat erat. Dari perempuan renta ini Tiara belajar, bahwa keluarga bisa saja terbentuk tanpa ikatan darah.

"Kar, titip Nenek, ya," ujar Tiara setelah melepas pelukan.

Karni langsung mengacungkan kedua jempolnya.

"Tunggu, Ra!" teriak Ikbal dari jarak beberapa meter.

Tiara urung masuk ke mobil. Dia langsung menoleh ke sumber suara.

"Ada apa, Bal?" tanyanya begitu cowok itu tiba di depannya.

Alih-alih menjawab, Ikbal malah menyodorkan sekantong penuh tahu goreng. "Buat di jalan," katanya seraya tersenyum.

"Loh, jam segini udah buka?" Tiara sigap menoleh ke arah stan Ikbal, tapi ternyata masih tertutup rapat.

"Nggak, itu aku bikin di rumah, khusus untuk menemani perjalanan kamu." Ikbal tahu rencana kepulangan Tiara tadi malam dari Karni. Karena itu, tadi subuh selepas shalat, dia langsung memasak tahu goreng andalannya untuk sang pujaan hati. Andai tahu-tahu itu bisa ngomong, dia tidak perlu setersiksa ini memendam perasaan.

"Wah, makasih banyak, loh. Tapi kayaknya ini kebanyakan, deh." Tiara terkekeh ringan.

"Sengaja, kok. Biar kamu bisa bagi ke penumpang yang lain. Kan, pasti kamu nggak enak kalau makan sendiri."

"Duh ... baik banget. Nggak heran, deh, kalau banyak pelanggan yang jatuh cinta."

"Apaan, sih." Ikbal mengibaskan jemari sambil mengedarkan pandangan. "Loh, Haikal nggak datang lihat kamu berangkat?" tanyanya spontan. Padahal, itu jelas-jelas nggak ada hubungannya sama dia. Namun, dia tidak bisa menahan pertanyaan itu.

Tiara bingung harus jawab apa. Akhirnya dia hanya menggeleng.

Ikbal ber-o tanpa suara. Meski hal itu terasa janggal, dia memilih untuk tidak bertanya apa-apa lagi.

"Ya udah, aku jalan, ya."

Ikbal mengangguk. "Apa pun tujuan kamu ke sana, semoga kamu bisa balik ke sini lagi dengan versi terbaikmu."

Tiara tersenyum dan mengangguk samar. "Semoga." Lalu masuk ke mobil.

Beberapa saat kemudian mobil itu pun melaju. Nenek Hamida terus melambai hingga mobil itu hilang di tikungan kompleks menuju jalan utama.

Dari balik kaca jendela mobil, Tiara menerawang ke luar. Bangunan-bangunan kios semi permanen yang berderet di sepanjang jalan semakin cepat bergerak ke arah berlawanan, seiring ingatan masa lalu yang terputar kembali.

***

Puncak dari masa-masa suram Tiara di sekolah bertepatan dengan perayaan hari kelulusan. Mereka diminta datang bersama orangtua masing-masing untuk menghadiri acara pelepasan siswa-siswi SMA Negeri 5 Watampone angkatan 2013 yang dirangkaikan dengan pengumuman siswa-siswi lulusan terbaik dan beragam acara pendamping lainnya. Lapangan yang biasanya digunakan untuk upacara bendera setiap hari Senin dipasangi tenda dan didekor sedemikian rupa. Pagi-pagi sekali, tenda itu sudah disesaki wajah-wajah bahagia, lega setelah tiga tahun berjuang dan berhasil melalui tantangan di sekolah itu.

Tiara tiba sekitar 30 menit sebelum acara dimulai. Dia mengenakan kebaya berwarna hijau yang sengaja disenadakan dengan pakaian Ibu. Hari ini Tiara bermaksud menegaskan, bahwa dia baik-baik saja. Seruncing apa pun kabar miring itu melesat akhir-akhir ini. Terbukti, dia tampak tenang ketika seluruh pasang mata menyoroti kedatangannya mulai saat turun dari angkot. Tiara berjalan sambil menggandeng tangan Ibu. Ini salah satu bentuk perlawanan.

Nahas. Di antara semua itu, Cika telah menyiapkan senjata pamungkas. Serta-merta dia menyebarkan video Ibu sedang beraksi di atas pentas dengan tarian erotis candoleng-doleng[1] di sebuah acara resepsi pernikahan. Entah dari mana lagi Cika mendapatkannya. Tidak heran, dia punya uang dan dengan mudah membayar siapa saja untuk merekam adegan itu.

Tiara tetap duduk tenang, meski tawa orang-orang di sekitarnya jauh lebih mengusik dari awal dia datang. Dalam hati Tiara bertanya-tanya, video apa sebenarnya yang tengah mereka tonton di ponsel masing-masing? Kenapa seheboh itu?

Rasa penasaran itu terjawab setelah Linda—salah satu sahabat yang kini memilih menjauhinya—menghampiri dan menunjukkan video itu di ponselnya. Sesaat Tiara hanya mengernyit, masih belum paham maksud video seronok itu. Sepasang matanya melotot kemudian, dada mendadak sesak, sekujur tubuhnya lemas, bahkan tidak punya cukup kekuatan untuk sekadar memegang ponsel Linda lebih lama. Dia mengembalikan sebelum menjatuhkan benda yang terbilang sangat mewah untuk ukuran dirinya itu.

Tiara berusaha mengelak, serupa yang berhasil dia lakukan selama ini. Namun, kali ini berbeda. Perempuan yang sedang mengumbar aurat dalam video itu benar-benar Ibu. Tiara gagal dalam upayanya untuk tetap tenang. Video tadi sukses mengacaukan hati dan pikirannya. Tawa-tawa di sekeliling kian menusuk gendang telinganya. Dia menghambur, berlari sekencangnya meninggalkan tenda itu. Air matanya tumpah ruah tidak terkendali. Dia menyetop angkot setibanya di pinggir jalan, sebelum Ibu berhasil menyusulnya. Dia meninggalkan Ibu dan acara perayaan kelulusan yang belum dimulai.

***

Tiara mulai pusing ketika sang sopir memutuskan singgah di Rumah Makan Cijantung agar dia dan penumpangnya bisa istirahat sejenak sambil makan siang. Untunglah, Tiara bisa sekalian cuci muka untuk menyegarkan diri. Rumah makan yang masih berada di kawasan Kabupaten Maros ini memang paling ramai disinggahi oleh mereka yang tengah melakukan perjalanan Makassar-Bone.

Tiara teringat kembali. Di hari pelarian itu, dia juga singgah untuk makan siang di tempat ini. Enam tahun tidak membawa perubahan apa-apa untuk rumah makan yang disebut-sebut sebagai titik tengah Makassar-Bone ini.

Entah pikiran apa yang menghuni ruang kepala Tiara hingga memutuskan untuk lari dari kenyataan pada hari itu. Semuanya terlalu kacau dan sulit diuraikan dengan kata-kata. Pada akhirnya, setelah berhari-hari menghindari Ibu karena kemunculan video itu, Tiara memutuskan untuk bicara baik-baik.

Malam itu, dia sama sekali tidak bisa tidur sebelum mendapatkan penjelasan yang diinginkan. Tiara terdiam di ruang depan, menunggu Ibu yang lewat tengah malam belum pulang juga. Setelah menunggu hampir dua jam, Ibu muncul dari balik pintu. Wajah letihnya masih dibalut sisa-sisa make up menor yang mulai bercampur dengan keringat. Jadi sedikit aneh.

"Kenapaki belum tidur, Nak?" Ibu tampak kaget menemukan Tiara tengah menunggunya.

"Mauka bicara sebentar, Mak." Tiara berucap pelan setelah menghela napas panjang.

Sambil bertanya-tanya dalam hati, Ibu lekas duduk berhadapan. Mereka diantarai meja panjang yang terbuat dari rotan. Ibu menunggu Tiara bersuara duluan, sambil meletakkan tas jinjing di kursi sebelahnya, kemudian melepas jaket yang dikenakannya untuk menghalau angin malam.

"Jadi selama ini Mak ma[2]candoleng-doleng?" Suara Tiara bergetar.

Ibu terkesiap. Apa pun yang tengah dilakukannya terhenti total. Mematung. Keheningan menyelinap di antara mereka.

"Iya," lirih Ibu setelah menarik napas panjang demi menormalkan degup di dada yang mendadak berpacu tidak wajar.

Hati Tiara bak tergelincir ke palung terdalam demi mendengar jawaban itu. Air matanya berhambur tanpa mampu dicegah.

"Dan dulu, apakah Mak juga melacur?" Sekuat tenaga Tiara melontarkan kalimat barusan. Dia sadar, betapa besar luka yang bisa tercipta di sana. Dia menegakkan kepala dan menunggu jawaban. Ibu seolah tidak sanggup menatap mata Tiara. Dia hanya mengangguk perlahan sambil menggigit kedua bibir. Anggukan yang diiringi dua aliran sungai kecil di pipi itu mengakhiri upaya apa pun yang dibangun susah payah oleh Tiara selama ini. Keras usahanya untuk abai, tidak percaya, kini runtuh.

Ibu tidak mampu mengeluarkan sepenggal kata pun sebagai sanggahan demi menjaga keutuhan hati putrinya. Hanya nada sesenggukan yang dia perdengarkan, yang semakin jelas memecah hening malam. Jemari tangannya saling meremas. Banyak hal berkecamuk di dada, tapi tidak satu pun yang mampu dia utarakan. Tidak ada niat untuk bela diri. Dia hanya takut sikap anaknya akan berubah setelah ini.

Kenyataan ini serupa obat bius yang menjalar dengan cepat ke seluruh syaraf Tiara. Membuatnya kehilangan kemampuan gerak selama beberapa saat. Bahkan, sekadar mengeluarkan air mata saja rasanya sudah tidak sanggup. Tatapannya menerawang hampa. Dan tanpa diundang, sesuatu mulai bertunas di hatinya. Rasa kecewa yang akut, bahkan menyerupai benci.

Tiara memilih angkat kaki lebih dulu dari suasana mencekam itu. Suara derap kakinya berakhir dengan bantingan pintu kamar yang membuat Ibu tersentak. Hati Ibu semakin tidak keruan setelahnya. Kini, dia sendiri, membiarkan dirinya larut dalam situasi yang dia sendiri sulit untuk memahami.

Tiara tidak tidur malam itu. Dia berpikir keras bagaimana mesti menghadapi kenyataan yang ada. Dia paham permasalahan ekonomi yang tidak pernah beranjak dari kehidupan mereka, tapi tidak menyangka Ibu sampai rela jual diri. Dia berbesar hati menerima pekerjaan Ibu sebagai biduan organ tunggal yang kerap tampil dengan busana mini, tapi tidak habis pikir perempuan yang melahirkannya itu sampai berani memeragakan aksi candoleng-doleng. Hal ini tidak lantas membuat Tiara serta-merta menyalahkan Ibu. Dia hanya ingin menjauh dari keadaan itu.

Cahaya matahari pagi baru saja jatuh dan menghantarkan kehangatan ke permukaan bumi. Tiara selesai mengemas barang-barang yang akan dia bawa pada rencana besarnya kali ini, ketika Ibu mengetuk pintu kamar sambil memanggil-manggil.

"Tiara ... buka pintuta[3], Nak!"

Tiara geming. Sama sekali tidak berniat untuk menjawab, terlebih membuka pintu.

"Mauka ke pasar, Nak. Sudahmi[4] kumasakkanki nasi goreng. Ada di bawah pattongko[5]."

Mendengar Ibu tengah pamit untuk ke pasar, tekad yang membuat Tiara merenung sepanjang malam semakin bulat. Dia memilih pergi dari rumah itu daripada menjalani hari-hari yang tentu tidak akan semudah sebelumnya. Dia tidak punya rencana dan tujuan yang jelas. Dia hanya ingin menghilang secepatnya.

***

[Bersambung]

Catatan kaki:

[1] Bergelayut. Sebutan untuk aksi erotis yang dipertontonkan para biduan organ tunggal di acara resepsi pernikahan dan semacamnya. Terkadang mereka tidak segan memperlihatkan buah dada mereka menjelang tengah malam, setelah pesta dibubarkan. Tarian ini diiringi musik dugem tanpa nyanyian, melainkan desahan yang seolah-olah sengaja dibuat untuk mengundang hasrat birahi kaum lelaki. Untuk di daerah Makassar dan sekitarnya, pertunjukan semacam ini marak di tahun 2000-an.

[2] Imbuhan dalam logat Bugis yang berarti melakukan.

[3] Partikel ta pada aksen khas orang Bugis mengindikasikan kepunyaan atau milik. Patikel ini digunakan untuk menghargai lawan bicara. Bertutur dengan sopan.

[4] Partikel khas dalam dialek Makassar yang sering diikut-ikutkan saat berbahasa Indonesia. Umumnya partikel ini berfungsi untuk menegaskan kata yang ditempelinya, dan sama sekali tidak memiliki arti jika berdiri sendiri.

[5] Tudung saji.

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya.

KBM

KaryaKarsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar