Minggu, 17 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 2)

 


Ustaz Ansara sukses dibuat melongo oleh kalimat yang baru saja diucapkan oleh salah satu santrinya itu. Namun, ia tetap terlihat tenang.

Sementara Sakina, sontak berpaling ke arah Aida dan menatapnya tajam, alih-alih menuntut sebuah penjelasan.

Aida merasakan sofa yang didudukinya seperti sedang terbakar. Ini jauh lebih sulit dari yang dibayangkannya.

"Saya tidak mengerti dengan ucapan kamu," tanggap Ustaz Ansara sambil berusaha terlihat tetap tenang.

"Kami saling mencintai, dan kami ...." Fahran tercekat, entah bagaimana harus mengatakannya.

"Maksudnya kalian berpacaran?" Ustaz Ansara menimpali.

"Benar!" Kata itu telontar begitu saja dari mulut Fahran, kemudian kembali bungkam.

Ustaz Ansara menggeser pandangannya ke arah Aida. "Aida, benar demikian?"

Aida yang seolah ingin menarik kepalanya masuk ke tubuhnya mengangguk pelan. Ia tak berani menatap mata abinya.

"Abi benar-benar kecewa sama kamu!" Suara Ustaz Ansara meninggi dan penuh penekanan.

Aida tersentak, sontak air matanya bercucuran. Ia merebahkan kepala di bahu sang umi. Sakina merangkul putrinya.

"Abi, Aida minta maaf," desis Aida di sela isak tangis.

Ustaz Ansara mengembalikan tatapannya ke arah Fahran, kini dengan sorot yang agak menyeramkan.

"Ternyata benar desas-desus selama ini, bahwa kamu sering menyeberangi bukit dan menyelinap ke asrama putri. Jadi, tujuan kamu untuk menemui putri saya?"

Tiba-tiba seluruh kosakata menghilang dari benak Fahran, tergantikan dengan gambaran berbagai macam hukuman yang akan ia terima setelah ini. Atau bisa jadi ia langsung dikeluarkan dari pesantren itu. Akan tetapi, sebenarnya Fahran tidak terlalu peduli. Ia hanya mengkhawatirkan nasib cintanya dengan Aida.

Ustaz Ansara bangkit berdiri, mondar-mandir di depan sofa.

Fahran menunduk, sesekali melirik ke arah Aida. Hatinya sungguh miris melihat air mata terus bergulir dari dua sumber yang kerap menyuguhkan keteduhan untuknya itu.

"Sejak saya ada di pondok pesantren ini, bahkan sejak didirikannya, belum pernah ada santri selancang kamu. Kamu tahu akibat dari pelanggaran menyeberangi bukit? Kamu bisa dikeluarkan!" Ucapan Ustaz Ansara dibarengi rahang mengencang.

"Tapi, apakah kami berdosa jika saling mencintai?" sela Fahran pelan.

"Pondok pesantren ini tempat kalian menuntut ilmu, bukan untuk berpacaran!" Ustaz Ansara segera menimpali.

"Maaf, Ustaz, saya rasa itu bukan jawaban dari pertanyaan saya."

Mendengar kalimat Fahran yang agak menusuk, Ustaz Ansara menghentikan langkah mondar-mandirnya. Namun, ia tetap tenang, terdiam dengan tatapan terpaku pada Fahran.

"Mencintai seseorang jelas bukan dosa. Tapi, jika ia menjelma jadi jembatan dosa, segalanya tidak bisa dibenarkan. Apakah kamu merasa benar dengan semua pelanggaran yang telah kamu lakukan selama ini? Dan merasa suci saat berdua-duaan dengan putri saya yang jelas-jelas bukan mahram kamu?"

Kali ini Fahran benar-benar terjatuhkan, tak sepatah kata pun yang diucapkannya sebagai sanggahan. Ia bungkam beberapa saat.

"Baiklah, saya mengaku salah. Maka dari itu saya menemui Ustaz untuk memperbaiki semuanya." Suara Fahran penuh kerendahan.

"Jadi, tindakan ini kamu anggap sebagai usaha perbaikan?"

Raut wajah Fahran memetakan kebingungan. Ada hal yang tidak ia mengerti di balik ucapan Ustaz Ansara.

"Seorang murid mendatangi rumah gurunya hanya untuk hal bodoh semacam ini tak ubahnya penghinaan."

Ucapan Ustaz Ansara kembali meluapkan emosi Fahran.

"Dari awal saya tidak ada niat sedikit pun untuk menghina Ustaz beserta keluarga. Maksud kedatangan saya ke sini untuk membuktikan kesungguhan saya mencintai Neng Aida." Fahran jeda sejenak, melirik Aida yang masih tersedu di bahu uminya, memastikan bahwa kata-katanya belum melampaui batas. "Dan di bagian mana yang Ustaz anggap sebagai hal bodoh? Usaha saya memperjuangkan cinta saya kepada Neng Aida? Jadi, menurut Ustaz, ini bodoh? Bukankah rasa cinta itu anugerah terindah dari Allah?"

"CUKUP!" hardik Ustaz Ansara. "Jangan coba-coba menggurui saya!" Sorot mata itu meruncing. Hal ini memaksa Fahran untuk menenangkan diri.

"Lebih baik sekarang kamu kembali ke asrama dan lupakan cinta kamu itu!"

Fahran tersentak, terlebih Aida. Ia semakin tersedu dalam ruang kepanikan. Refleks, Fahran menghambur mendekap kedua kaki Ustaz Ansara. Matanya berkaca-kaca.

"Saya mohon, izinkan saya mencintai putri Ustaz. Saya mohon!" Suara sendu Fahran bergetar.

"Sekarang juga kamu kembali ke asrama atau kamu terpaksa harus meninggalkan pesantren ini!"

Ancaman itu menjadi kartu mati bagi Fahran. Dengan berat hati ia meleraikan lingkaran tangannya dari kedua kaki Ustaz Ansara. Ia beranjak, berjalan pelan menuju pintu dengan kepala tertunduk. Setibanya di ambang pintu ia sempatkan menoleh ke arah Aida yang masih merebahkan tangis di bahu sang umi. Kemudian, Fahran menggeser sedikit pandangan ke arah Ustaz Ansara yang juga tengah menatapnya dengan tajam.

"Ustaz, saya tidak akan berhenti sampai di sini. Saya akan terus memperjuangkan cinta yang saya yakini. Assalamualaikum!" Fahran berlalu dengan segenap kekecewaan yang harus ia terima.

Balasan atas salam Fahran tak keluar dengan perkataan, hanya berdesis dalam hati Ustaz Ansara.

***

Raul sedang membereskan buku-buku pelajarannya ketika Fahran memasuki kamar itu dengan wajah murung dan penuh kebingungan. Fahran langsung mengempaskan diri di tempat tidur sahabatnya itu, yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Ia mendarat dengan posisi menelungkup. Di antara teman-teman sekamar yang lain, Fahran memang paling dekat dengan Raul. Mereka banyak menghabiskan waktu untuk saling bertukar cerita.

"Antum habis dari mana? Bakda asar, kok, langsung menghilang?" tanya Raul yang masih sibuk dengan sebagian buku-bukunya.

"Aku sama Aida habis menemui Ustaz Ansara."

"Apa?" Raul terpekik. "Menemui Ustaz Ansara? Sama Neng Aida? Ngapain?" Ia menghentikan segenap aktivitasnya. Perhatiannya kini sepenuhnya terpusat pada Fahran yang masih menelungkup. Ia tidak habis pikir kalimat yang baru saja ia dengar dari sahabatnya itu.

"Kami enggak bisa terus-terusan menyembunyikan hubungan kami. Makanya, kami memberanikan diri untuk mengakuinya di hadapan beliau."

"Astagfirullah! Ini benar-benar sulit dipercaya. Sebenarnya setan apa yang merasuki antum hingga senekat itu?"

"Bukan setan, Raul, tapi semangat cinta." Fahran mendramatisir kalimatnya.

"Lantas, seperti apa tanggapan beliau?"

Fahran mendadak lesu mendengar keingintahuan Raul. Ia bangkit dan duduk bertelekan tangan pada tepi ranjang.

"Nah, itu dia yang membuatku bingung. Ustaz Ansara malah menganggap tindakan itu sebagai bentuk penghinaan. Padahal aku sama sekali enggak pernah merasa menghina beliau. Aku benar-benar enggak ngerti."

"Lalu?" Raul diburu rasa penasaran.

"Aku diusir," lemas Fahran.

Raul menepuk pelan pundak sahabatnya. Ia berempati.

"Meskipun hasilnya enggak sesuai harapan, tapi aku sangat bangga. Antum tipe laki-laki sejati." Raul tersenyum serius.

"Aku sudah menduga hasilnya akan seperti ini. Karena itu, kemarin aku ke kantor dan minta izin untuk menelepon orangtuaku. Hari ini mereka akan datang untuk bicara langsung dengan Ustaz Ansara."

Raul mengernyit. "Untuk?"

"Aku ingin membuktikan kepada Ustaz Ansara, bahwa aku serius mencintai Aida."

Secercah sinar kekaguman terpancar dari sorot mata Raul.

"Sebagai seorang sahabat, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik."

"Terima kasih!" Sudut bibir Fahran terangkat.

Fahran berniat meninggalkan Raul dan membiarkan pemuda berkulit sawo matang itu melanjutkan aktivitas. Namun, tiba-tiba ia kembali mengenyakkan diri di kasur tadi.

"Oh ya, kamu sendiri bagaimana dengan Laila?" tanya Fahran dengan raut menggoda.

"Bagaimana apanya?" Raul mendadak lebih gesit merapikan sisa buku-bukunya yang masih berserakan, alih-alih berusaha menghindar dari topik yang tiba-tiba teralihkan itu.

"Kita ini sahabat, enggak usah pura-pura di depanku."

"Sudahlah, lupakan saja," lesu Raul.

"Kenapa?"

"Antum tahu sendiri, kan-"

"Bahwa Laila itu putri kandung Kiai Maulana, sepupu Ustaz Ansara. Itu, kan, yang ingin kamu katakan?" sela Fahran. Jeda sejenak di antara mereka, lalu ia menatap serius ke arah sahabatnya. "Kamu sudah seringkali mengatakannya. Lalu, apa masalahnya?" tuntut Fahran dengan nada yang berbeda.

"Aku hanya seorang yatim piatu yang bisa berada di pondok pesantren ini karena belas kasihan dari orang lain. Apakah layak orang sepertiku mencintai Neng Laila? Aku juga enggak mungkin lagi meminta kedua orangtuaku untuk bertemu dengan keluarga Neng Laila, seperti yang antum lakukan."

Fahran terenyuh mendengar suara Raul yang merujuk sendu. Ia khawatir telah memperdengarkan kalimat yang salah kepada sahabatnya itu.

"Tapi, kamu, kan, salah satu santri berprestasi di pondok pesantren ini. Bahkan, hafalan alquran kamu yang terbaik. Kiai Maulana juga mengakuinya, kan? Kurasa itu cukup untuk jadi modal utama kamu," terang Fahran dengan nada kobaran semangat.

Raul memaksakan untuk tersenyum, lalu Fahran menepuk pelan pundak sahabatnya itu. "Hidup itu jangan terlalu pesimis. Kita enggak akan pernah tahu batas kemampuan kita sebelum mencoba. Aku yakin, semua ini enggak sesulit yang kamu kira."

"Aku enggak ingin terlalu berharap terhadap sesuatu yang rasanya mustahil. Kecewa itu enggak enak. Lagipula ... belum tentu Neng Laila juga suka sama aku."

"Lalu, bagaimana dengan surat-surat yang selalu ia titipkan sama aku? Apakah itu belum cukup jadi bukti?"

Raul tidak menanggapi omongan Fahran. Ia berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang tersipu malu.

"Sebenarnya, dari dulu banyak santriwati yang naksir sama kamu. Hanya saja kamu terlalu menutup diri dengan alasan selalu merasa enggak pantas."

Raul memunggungi Fahran."Antum jangan bikin geer."

"Tapi ini kenyataan, Aida yang bilang sama aku."

Raul menyembunyikan senyum simpulnya.

"Cieeee ... ada yang baru nyadar, nih, kalau selama ini dirinya jadi idola," ledek Fahran.

"Antum ngomong apaan, sih? Lebih baik sekarang antum ganti pakaian, sebentar lagi pelajaran akan dimulai."

"Tapi, soal Laila bagaimana, nih?" Fahran tak hentinya menggoda sahabatnya, meski yang bersangkutan tidak begitu merespons.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar