Kamis, 28 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 9)

 


Rembulan tersenyum di lembaran temaram. Mia menepi seorang diri di Telaga Teratai. Beberapa minggu telah berlalu sejak kedekatannya dengan Dirga. Dari sekian banyak waktu yang mereka lalui bersama, menikmati permainan biola lelaki itu di sore hari tetap menjadi momen yang paling ditunggu Mia.

Mia melihat bintang jatuh. Seketika ia menutup mata dan membuat permohonan.

Tuhan ... jika keajaiban-Mu berpihak padaku malam ini, hadirkan ia di sisiku. Ia yang mampu getarkan jiwaku setiap saat.

Mia membuka mata perlahan-lahan.

"Kalau aku duduk di sini, ganggu, enggak?"

Tiba-tiba seseorang berdiri di samping gadis bersweter rajut ungu itu. Ia tersentak, sontak mendongak ke sumber suara.

"Dirga ...?"

Dirga merasa lucu dengan ekspresi Mia, kemudian ia duduk dengan posisi yang sama.

"Ini benar-benar kamu, Dir?"

"Kaget, ya?"

Mia mengulum senyum.

Tuhan ... keajaiban-Mu sungguh nyata.

"Malam-malam suka ke sini juga?"

Mia hanya mengangguk.

"Enggak takut?"

"Gimana, ya? Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan tempat ini. Aku merasa ... air, bunga teratai, dan pepohonan yang ada di sini adalah teman-temanku. Jadi sama sekali enggak takut."

"Gitu, ya?" Dirga tersenyum geli.

Mia kembali mengangguk.

"Oh ya, kok, datangnya malam-malam begini? Ada hal penting, ya?"

"Enggak juga. Tadinya lagi suntuk, dan entah kenapa yang ada di pikiranku hanya tempat ini."

"Masa, sih?"

Dirga mengangguk tegas sembari tersenyum. Lalu keduanya membiarkan hening mengambil alih untuk sesaat.

"Kamu pernah pacaran?" pelan Dirga.

Pertanyaan tidak terduga itu membuat Mia menoleh dengan mata setengah memicing. Ia lantas menggeleng.

"Kenapa?"

"Enggak ada, tuh, yang mau sama aku." Jawaban Mia disusul cengiran.

"Kalau misalnya ada?"

"Emang ada?" Pandangan Mia menghunjam ke mata Dirga.

"Ya ... kan, misalnya." Dirga cepat-cepat mengalihkan suasana, menghalau apa-apa yang berpotensi membuatnya salah tingkah.

Sesaat hening kembali di antara mereka.

"Kamu sendiri, pernah pacaran?"

Tadinya Dirga sudah berhasil menguasai diri, tapi pertanyaan barusan kembali menggandakan detak jantungnya. Tenggorokannya mendadak kering. Lelaki berkemeja abu-abu itu pun menggeleng saat Mia menoleh meminta jawaban.

"Yang bener?" Telunjuk Mia mengacung ke wajah Dirga yang tampak malu-malu.

"Selama ini aku terlalu fokus kuliah dan kerja, sampai lupa pacaran."

Keduanya terkekeh. Dirga sangat menyukai tawa Mia. Rasanya ingin dibungkus dan dibawa pulang.

"Mia ...."

"Hm?" Mia kembali melabuhkan tatapannya di manik mata Dirga, dengan tawa yang belum reda sepenuhnya.

"Entah apa yang spesial di dirimu."

"Maksudnya?" Sisa tawa Mia menguap seketika.

"Selama ini aku termasuk pribadi yang tertutup. Aku bukan tipe orang yang gampang dekat dengan seseorang, terlebih cewek. Tapi, sama kamu beda. Belum pernah aku merasa senyaman ini. Sampai-sampai kondisi keluargaku kuceritakan tanpa sungkan."

Mendengar kalimat Dirga, Mia tak mampu menyembunyikan bercak-bercak kebahagiaan yang tiba-tiba memenuhi pori-pori wajahnya. "Ternyata rasanya semenyenangkan ini mengetahui seseorang merasa nyaman bersama kita."

Tatapan mereka terpaut lebih lama dari biasanya, saling mendalami. Sesuatu meronta-ronta dalam kepala Dirga, tapi gagal menemukan jalan keluar. Semakin diupayakan rasanya malah semakin tersesat.

Mia yang lebih dulu memutus kontak mata di antara mereka, setelah menyadari ada yang berbeda di tatapan Dirga kali ini. Sesuatu yang membuat paru-parunya seperti kekurangan pasokan oksigen.

Dirga menggosokkan kedua telapak tangannya, menata kalimat sebaik mungkin untuk kembali memulai obrolan. "Oh ya, sebenarnya aku ke sini mau memberikan undangan ini." Dirga mengeluarkan sebuah undangan bercorak unik dari saku kemejanya.

"Undangan apa ini?" Mia meraihnya.

"Festival musik."

Mia menyorotkan tanya.

"Bukan festival biasa, ini tingkat nasional. Acaranya besok pagi jam sepuluh di stadion kota. Insan-insan musik yang akan tampil merupakan tim-tim terbaik perwakilan dari universitas di seluruh tanah air, yang sebelumnya telah disaring juga di daerah masing-masing."

"Wah, ini acara besar, dong." Atensi Mia meningkat.

"Ya, begitulah. Makanya, kamu wajib datang." Dirga mengulas senyum. "Bisa, kan?"

"Pasti! Aku enggak akan melewatkannya."

Dirga bahagia melihat antusias Mia

"Dengan undangan itu kamu akan mendapatkan hak-hak istimewa. Salah satunya tempat duduk yang strategis, plus snack. Enggak semua orang bisa mendapatkan undangan seperti itu. Panitia hanya memberikan masing-masing dua untuk setiap peserta. Nah, undangan dariku satunya buat kamu, satunya lagi buat sahabat terbaikku."

"Sahabat terbaik?" Mia berharap seseorang yang dimaksud Dirga bukan perempuan.

"Seseorang yang memiliki peranan penting di kehidupanku. Besok aku kenalin. Kalian akan duduk bersebelahan, karena kursi tamu istimewanya sudah diberi nomor sesuai yang ada di undangan itu."

"Wah, jadi enggak sabar menunggu besok." Mia membolak-balik kartu undangan di tangannya, memperhatikannya dengan saksama.

Keduanya tertawa kecil.

Sejurus kemudian, tiba-tiba riak tawa di wajah Dirga surut hingga nyaris tak berbekas. Sesuatu meredamnya begitu cepat.

Mia langsung menyadarinya. "Kenapa, Dir ...?"

Dirga butuh jeda sebelum menjawab. "Sebenarnya ... festival besok merupakan puncak pemilihan duta Indonesia untuk tampil di ajang internasional," pelan Dirga-sangat hati-hati.

"Maksudnya?" Mia mengawasi sepasang mata Dirga di balik kerutan keningnya.

"Festival musik akbar yang akan diadakan di Thailand."

Mendengar nama negara tetangga itu membuat Mia tersentak.

Mia mengalihkan pandangan dari wajah Dirga. Sebentuk rasa takut seketika merayapi bilik hatinya.

"Kamu berharap bisa lolos dan pergi ke sana?" Mia menggeser posisi, nyaris memunggungi Dirga. Tiba-tiba saja terasa berat untuk menatap langsung wajah lelaki di sampingnya ini.

"Entahlah. Ada satu hal yang membuatku berat untuk melangkah. Sesuatu yang masih samar." Helaan napas panjang menjeda kalimat Dirga. "Di sisi lain, ajang internasional seperti ini merupakan impian musisi di seluruh dunia, terlebih aku yang masih dalam tahap belajar. Meskipun mahasiswa sepertiku hanya akan jadi pelengkap di festival itu, tapi pasti banyak pengalaman berharga di sana. Itu pun kalau aku dan tim bisa menampilkan yang terbaik di festival besok."

"Aku sudah bisa menebak, kamu sangat berharap bisa ke sana."

Dirga sempurna dalam diam.

"Berapa lama?" Kali ini Mia benar-benar memunggungi Dirga.

"Sekitar tiga bulan. Bisa jadi lebih, karena ada pelatihannya juga."

Mia menghela napas berat, kemudian menoleh dan memaksakan sebuah senyum melengkung di wajahnya. "Jika ini memang mimpimu, maka berjuanglah. Jangan biarkan pikiran-pikiran enggak penting menghalau konsentrasimu. Aku yakin, kamu bisa menampilkan yang terbaik di festival besok."

"Kamu rela aku ke sana?"

Mia tidak menjawab. Ia malah menunduk setelah mematahkan senyumnya.

"Jika memang aku dan tim berhasil, lusa kami langsung berangkat ke Thailand."

"Secepat itu?" Batin Mia terlonjak.

Dirga mengangguk pelan.

Inikah saatnya ramalan itu terjadi?

Mia berjuang keras untuk tidak memelihara ramalan itu dalam kepalanya, tapi sia-sia.

Keduanya terdiam cukup lama, seolah begitu takzim menyimak suara-suara dari dalam kepala masing-masing.

"Aku rasa ... aku perlu memberikan ini," ujar Mia seraya memutar badan.

Dirga menoleh dan langsung memperhatikan sesuatu di tangan Mia.

"Liontin itu ...?"

"Benar atau enggak kata peramal itu, aku hanya ingin kamu memilikinya." Mia menatap Dirga dalam-dalam.

Lelaki itu terharu. Secara tidak langsung kalimat barusan menampakkan seperti apa posisinya di hati Mia.

"Kamu mau, kan, menerimanya?"

Dirga mengangguk tegas. Matanya berkaca-kaca. Tanpa disuruh, ia pun merundukkan kepala agar Mia bisa memasangkan kalung itu. Maka bertemulah pandangan mereka di jarak yang sangat dekat. Dua pasang mata itu berusaha mengaduh tentang rasa yang terdiam di hati masing-masing.

Darah di pipi Mia memanas menatap keindahan wajah Dirga sedekat itu. Sementara Dirga, merasakan tulang-tulangnya remuk dan dadanya kian sesak. Entah hawa apa yang tercipta di antara mereka. Aneh dan tiada daya untuk menepisnya.

Kalung berliontin merpati itu telah melingkar di leher Dirga, tetapi kedua tangan Mia bertahan di pundak lelaki itu.

"Apakah aku benar-benar berarti buat kamu?" tanya Dirga berat, bibirnya kaku.

"Sangat ...!" Suara Mia setengah berbisik.

"Kamu yakin?"

Mia mengangguk, dan bening itu pun tergelincir dari sudut matanya. Air mata itu membingkai kesungguhannya.

Dirga bermaksud menyekanya, tetapi tiba-tiba letupan rasa aneh bergejolak di dadanya. Ia mengurungkan niatnya, khawatir melampaui batas.

"Sepertinya aku harus pergi. Besok, aku sangat mengharapkan kehadiranmu."

Mia hanya mengangguk.

"Aku pergi, ya. Selamat malam!" Dirga beranjak. Tergesa-gesa, alih-alih menghalau hasrat yang hampir membuatnya lupa batas.

"Tunggu, Dir!" cegah Mia.

Seketika langkah Dirga terkunci. Ia memutar badan.

"Kamu enggak ingin mengatakan sesuatu?" Tangis tertahan menggetarkan suara Mia.

Sesaat Dirga bungkam.

"Enggak," pungkasnya kemudian.

Jawaban singkat itu menghunjamkan pilu di hati Mia. Air matanya kembali meleleh.

"Maksud aku ... enggak untuk saat ini." Tak ada lagi yang mampu terucap. Dirga meninggalkan Mia tanpa kepastian.

***

Dirga memasuki indekos dengan langkah berat. Wajahnya ditekuk bak tercengkeram ribuan tanya yang tak terjawab. Ia mengetuk pintu kamar kedua dari pintu utama. Wawan yang sudah mengenakan piama muncul saat pintu terbuka. Dirga langsung masuk tanpa permisi dan membanting diri di tempat tidur.

"Kok, tumben, baru pulang enggak langsung ke kamar sendiri? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu enggak salah masuk kamar, kan?" Wawan heran dengan tingkah sahabatnya itu.

Dirga tak menggubris omongan Wawan, pandangannya menembus langit-langit kamar.

"Atau jangan-jangan, hari ini kamu salah makan sesuatu?"

Masih tidak ada respons. Wawan melangkah menghampiri Dirga dan duduk di tepi tempat tidur. "Ada apa, sih, Man? Lagi ada masalah, ya?"

"Aku lagi bingung." Kali ini Dirga menjawab sekenanya.

"Bingung kenapa?"

"Tadi, aku menemuinya."

"Cewek yang di TPU itu?"

Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh.

"Terus?"

"Aku rasa ... tadi itu waktu yang pas buat nembak dia," ucap Dirga diiringi helaan napas berat.

"Terus?" Wawan seolah tak menginginkan jeda di kalimat Dirga. Ia membenahi posisi duduknya sebagai tanda keseriusan untuk menyimak.

"Aku malah pergi sebelum mengatakan yang seharusnya kukatakan."

"Ya, ampun! Jadi, sampai sekarang belum jadian juga?" Wawan tercengang di akhir kalimatnya.

Dirga terdiam.

"Kamu masih ragu atau enggak berani?"

Dirga masih terdiam.

"Apa, sih, yang bikin kamu ragu? Padahal sudah jelas kalau kalian itu saling mencintai."

"Tadinya, kupikir aku akan memiliki keberanian itu. Aku sudah berusaha, tapi nyatanya sulit."

"Lebih sulit mana dibanding kamu harus tersiksa seperti ini?"

Dirga bangkit dari baringnya, duduk bersisian dengan Wawan.

"Cinta itu akan mengalir mengikuti perasaanmu. Cukup mengawalinya dengan satu kata, selanjutnya biarkan rasa itu yang bicara."

Dirga mencerna omongan Wawan.

"Aku yakin, kamu bisa lebih dewasa dari ini."

Dirga terdiam, semua perkataan Wawan sedang terproses di otaknya.

"Oke. Besok aku akan nembak dia. Dan kali ini, aku benar-benar yakin." Dirga tersenyum, mengukuhkan kemantapan hatinya. "Kalau perlu, akan kuungkapkan di depan semua orang yang hadir di pertunjukan besok," lanjutnya dengan senyum semakin lebar.

"Enggak perlu sampai segitunya. Nanti dia malah kabur karena malu." Wawan terbahak. "Cukup buktikan ke aku."

"Sip! Thanks, ya. Ternyata ada gunanya juga punya sahabat playboy kayak kamu." Dirga menepuk pundak Wawan sebelum beranjak hendak keluar.

"Tuh, kan, ujung-ujungnya nyela juga."

Dirga yang sudah di ambang pintu masih sempat menoleh memperlihatkan senyum iseng. Wajahnya sangat kontras dengan tadi ketika memasuki kamar itu.

Wawan menggeleng sembari tersenyum. Ia turut bahagia. Jarang-jarang ia melihat sahabatnya seriang itu.

Dirga merebahkan diri di tempat tidur. Tubuhnya terasa lelah, tetapi matanya enggan terpejam. Bias-bias kebahagiaan yang kian membubung menghadirkan lengkungan senyum sempurna di wajahnya. Bayangan Mia seakan mengintai di setiap sudut ruangan. Ia tak sabar menanti hari esok.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar