Jumat, 15 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 10)


Watampone, tahun 1994

Di halaman rumah yang tidak begitu luas didirikan tenda yang terbuat dari batang-batang pohon pinang. Atapnya dipasangi terpal berwarna biru dengan pinggiran berhias janur kuning. Langit-langit rumah sudah dipasangi lamming[1], begitupun dengan kolongnya yang disulap jadi ruang duduk para tamu. Aku dan Hasan bersanding di pelaminan, mengenakan sigara[2] berwarna hijau terang yang membuat rona bahagia di wajah kami kian terpancar. Ijab kabul baru saja berlangsung dengan lancar. Dalam bahasa Bugis, Hasan mengucapkan kalimat sakral itu dengan lantang. Tepat pukul 10 pagi tadi, kami resmi jadi sepasang suami istri. Mulai sekarang, aku harus membiasakan diri memanggilnya Daeng[3] Hasan.

Aku telah melalui pergolakan batin yang cukup pelik sebelum memutuskan untuk menerima lamaran Daeng Hasan. Aku memikirkan Mak, aku tidak tega meninggalkannya sendiri. Di usianya yang semakin renta, ia butuh teman mengobrol. Kerinduan di hatinya nanti akan menggunung lebih tinggi. Sebab bukan hanya kepada kedua kakakku, tapi juga padaku. Siapa yang akan mendengarkan ia berkisah bersama album foto keluarga kami kala sore menyapa? Dan lagi, ia semakin sering sakit-sakitan.

Namun, Mak berhasil menepis semua keraguanku. Sebagai seorang ibu yang melahirkanku, ia paham betul bahwa aku pun sangat menyukai Daeng Hasan. Meski tak pernah kuutarakan. Katanya, cepat atau lambat, masa ini akan tiba. Ketika seorang lelaki datang kepadanya untuk memohon dan membawaku pergi. Ia sudah mempersiapkan diri jauh sebelumnya. Ia juga bilang, semua ini takkan serumit dengan isi pikiranku. Jarak antara Watampone dan Sengkang bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Kapan-kapan aku bisa pulang menemui Mak, atau ia yang mengunjungiku di Kota Sutera sana.

Selain itu, Mak juga memutuskan untuk berhenti mengolah sawah, semuanya akan diserahkan kepada Puang Sudi. Nantinya tinggal bagi hasil. Hal itu memang salah satu yang membebani pikiranku jika harus meninggalkan Mak. Daeng Hasan pun menambahkan, katanya akan menyisihkan sebagian upahnya untuk dikirimkan kepada Mak setiap bulan. Meski rasanya tak ada lagi yang perlu dirisaukan, yang namanya anak akan terpisah dari orangtuanya tetap saja berat. Pikiran-pikiran aneh masih sering menyesaki benakku.

Mak memutuskan untuk menjual kuda beserta bendi peninggalan Ambo, setelah sekian lama ia pertahankan. Ia sampai rela meluangkan waktu khusus mencari rumput segar untuk makanan kuda hitam itu. Katanya, melihat mereka, Mak merasa dekat dengan Ambo. Banyak kisah-kisah perjuangan yang mereka lalui bersama kuda dan bendi itu. Wajar jika Mak sangat berat melepasnya.

Aku paham. Namun pada akhirnya, bendi itu akan rusak dengan sendirinya jika lama tidak digunakan. Dengan kondisi yang tidak sebugar dulu, Mak juga tidak bisa setiap hari pergi mencari makanan untuk si kuda. Maka dengan berat hati, Mak melepasnya. Dari dulu memang banyak yang berminat.

Dari hasil penjualan kuda dan bendi itu, aku membujuk Mak agar mau rumah kami dipasangi listrik. Kalau ada listrik, Mak tidak perlu repot mengurusi pelita yang dalam waktu berkala sumbunya harus diganti. Listrik di kampung ini sudah tersedia sejak lama, tapi belum merata. Hanya kalangan atas yang mau menggunakannya. Selain alasan ekonomi, kurangnya pengetahuan membuat mereka takut menggunakan listrik. Katanya takut kesetrum dan mudah terbakar. Mak pun seperti itu.

"Janganmi, Nak. Lagian, siapa yang akan menanggung tagihan bulanannya?" katanya. Padahal aku sudah menyampaikan akan mengirimkan uang setiap bulan untuk keperluan Mak sehari-hari, termasuk untuk membayar tagihan listrik. Mak bersikeras tetap meggunakan pelita. Dengan melewati malam bertemankan nyala api kecil yang bergoyang-goyang itu, Mak merasa ditemani Ambo. Ia tidak ingin melepas nuansa remang yang menjadi bagian kebersamaannya dengan lelaki yang sangat dicintainya. Jika sudah seperti itu, aku tidak bisa memaksa.

***


Sengkang, tahun 1995

Rumah kami berada di jantung Kota Sengkang, berdekatan dengan Masjid Raya yang tampak megah dengan kubah berwarna emas. Hal ini membuatku tak pernah absen shalat berjamaah. Rumah ini dulunya hanya berupa bangunan semi permanen. Kemudian bersama ambonya, Daeng Hasan membangunnya perlahan-lahan hingga bisa seperti sekarang ini. Di dekat rumah penuh kenangan ini juga terdapat Pasar Mini Tokampu yang dikelilingi bangunan pertokoan. Sesekali Daeng Hasan mengajakku ke sana untuk belanja pakaian dan kebutuhan lainnya.

Daeng Hasan benar-benar membuktikan janjinya kepada Mak untuk membahagiakanku. Ia sangat perhatian dan mengerti cara memanjakan. Awal-awal kedatanganku di kota ini, ia mengajak berkeliling. Mengenalkan sudut-sudut kota yang dijuluki Kota Sutera ini, serta tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi. Misalnya Danau Tempe dan Rumah Adat 101 Tiang. Tak lupa ia mengajakku mencicipi aneka makanan khas yang cukup unik. Misalnya nasu palekko[4] dan kapurung[5]. Aku sangat bersyukur Tuhan menghadirkan Daeng Hasan dalam hidupku.

Dan semua kebahagiaan itu dilengkapi dengan kehadiran malaikat kecil di tengah kami. Seorang bayi perempuan lahir melalui persalinan normal seminggu yang lalu. Putri kecil berbadan montok itu kemudian kuberi nama Mutiara Cinta. Aku ingin di mata orang ia selalu berharga seperti mutiara dan penuh cinta.

Hari ini Mak datang berkunjung. Perempuan renta itu sudah tidak sabar ingin menggendong cucunya. Wajar, ia belum pernah merasakan kebahagiaan itu. Cucu-cucunya dari kedua kakakku, ia tidak pernah benar-benar mengenalnya. Sejak hari kelahiran, ia meminta Puang Sudi agar mengantarnya ke sini. Tapi karena ada kesibukan yang tidak bisa ditinggal, mereka baru bisa datang hari ini. Aku juga sudah kangen banget sama Mak. Sejak perutku mulai membesar, aku tak bisa lagi menemuinya setiap bulan seperti sebelumnya. Maka hari ini kami saling melepas rindu.

***


[Bersambung]


Catatan kaki:


[1]Lamming - Hiasan untuk tenda pernikahan.

[2]Sigara - Pakaian pengantin suku Bugis.

[3]Daeng - Selain kepada kakak, beberapa perempuan bugis juga menggunakan kata 'daeng' untuk menyapa suami.

[4]Palekko - Pedesan bebek.

[5]Kapurung - Makanan khas Bugis yang terbuat dari olahan sagu dan dicampur sayur-sayuran.

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;


Tidak ada komentar:

Posting Komentar