Rabu, 13 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 9)

 


Siang ini aku tak mesti mengantarkan makanan ke sawah. Tiga petak sawah sudah selesai ditanami. Sisa sepetak lagi yang masih dalam proses pembajakan. Mak melarangku ke mana-mana, katanya ia akan kedatangan tamu dan aku harus menyiapkan sesuatu untuk dihidangkan. Agar tidak terlalu repot, aku akan menghidangkan pisang goreng. Pisangnya sudah kubeli tadi pagi di pasar. Pohon pisang di samping rumah memang sedang berbuah, tapi belum matang.

Tamu Mak sudah datang, tepat ketika kesibukanku menggoreng pisang selesai. Sekarang aku menyeduh teh untuk mereka. Aku sempat mengintip sebentar dari balik gorden yang melapisi pintu dinding pemisah ruang tamu dan ruang tengah. Tamu Mak berpakaian rapi. Yang lelaki mengenakan kemeja batik lengan panjang, sedang perempuan di sampingnya berkebaya merah menyala. Aku belum pernah melihat mereka sebelumnya. Sepertinya mereka sepasang suami istri. Yang aneh, Puang Sudi juga hadir di antara mereka. Apa sebenarnya yang hendak mereka bicarakan?

Aku bermaksud diam-diam menguping pembicaraan mereka saat keluar mengantarkan minuman dan pisang goreng tadi. Tapi, hingga aku kembali lagi ke dalam, obrolan mereka hanya berisi basa-basi.

Setelah tamu itu pamit pulang, Mak mengajakku bergabung dengannya dan Puang Sudi di ruang tamu. Kenapa Mak memasang tampang serius?

"Mereka itu datang jauh-jauh dari Sidrap untuk melamar. Mereka punya keponakan yang sudah siap untuk menikah." Mak berucap santai, sambil menyomot sebiji pisang goreng dari piring di depannya.

Aku tersentak. Lamaran? Aku sama sekali belum siap untuk menikah. Dan ... bagaimana dengan pemuda itu? Kami memang belum sempat kenal, tapi aku selalu memikirkannya. Sejak kemunculannya hari itu, ia tidak pernah terlihat lagi. Padahal sudah seminggu sejak senyum simpulnya mampu membuat tidurku tidak tenang.

"Saya belum kepikiran untuk menikah. Saya masih mau tinggal sama Mak di rumah ini."

"Mak sama sekali tidak akan memaksa. Hanya memberitahukan. Kamu berhak memutuskan."

"Hasan itu lelaki baik-baik, pekerja keras pula. Aku sudah lama kenal sama dia." Puang Sudi angkat bicara.

Hasan? Aku mengernyit.

"Ingat temanku yang agak gondrong?"

Aku mencoba ingat-ingat. Tapi seingatku, teman Puang Sudi tidak ada yang agak gondrong, kecuali pemuda itu.

"Pasti ingat. Kulihat kalian sempat curi-curi pandang waktu itu. Jangan-jangan kamu juga suka?" goda Puang Sudi dengan senyum jail.

Jadi benar dia? "Jadi, Hasan ...?"

"Cieee ...!"

Mukaku mendadak menyemu merah. Ya ampun, pemuda itu bernama Hasan. Dan baru saja ia mengutus om dan tantenya untuk melamarku. Bagaimana ini?

"Saat kamu pulang waktu itu, ia langsung menanyakan namamu. Ia memang sedang mencari calon istri. Keesokan harinya, ia langsung ke Sidrap menemui keluarganya, menyampaikan niat untuk melamarmu."

Demi mengetahui kebenaran itu, hatiku melonjak tak keruan. Ia yang lebih dulu menanyakan namaku pada Puang Sudi?

"Nanti malam kuajak ke sini biar kalian bisa kenalan. Kamu harus kenal dulu, minimal pernah ngobrol. Jangan langsung nolak," tandas Puang Sudi, kemudian menyeruput tehnya.

Apa? Nanti malam dia akan ke sini? Ya ampun, aku harus bersikap seperti apa?

"Hei, malah melamun." Puang Sudi mengagetkanku. "Nanti malam dandan yang cantik, ya," imbuhnya dengan senyum jail yang khas. Sebenarnya Ambo punya banyak saudara, beberapa merantau ke Malaysia. Dan yang tersisa di sini, aku memang paling dekat dengan Puang Sudi. Mungkin karena masih lajang, jadi sikap kekanak-kanakannya belum hilang dan bikin gampang nyambung sama aku. Dia juga paling sering membantuku dan Mak dalam berbagai hal.

Puang Sudi pamit untuk kembali bekerja di sawah setelah puas menggodaku. Mak juga masuk ke kamar untuk rebahan, menyisakan aku yang masih bingung dengan apa yang kudengar hari ini. Di tengah ketidakpastian aku menginginkan pemuda itu muncul kembali, keluarganya malah datang melamarku. Di saat aku berpikir keras mencari cara agar bisa tahu namanya dari Puang Sudi, yang bersangkutan malah menyebutkannya tanpa kuminta. Apakah Tuhan memang selalu memudahkan takdir-Nya untuk mereka yang sedang jatuh cinta?

***


Malam pun tiba setelah puas melihatku bergelut dengan suasana hati yang tak keruan. Ada bahagia, penasaran, malu, tidak sabar, dan entah apa lagi yang terpilin jadi satu, membuatku seperti orang kebingungan dari siang hingga saat ini. Dan sekarang, aku harus bisa meredam semua itu agar tidak terlihat bego. Pemuda bernama Hasan itu kini tengah duduk di samping Puang Sudi, berhadapan denganku dan Mak. Ia mengenakan kemeja biru malam dan dipadukan dengan jeans berwarna senada. Rambutnya tersisir rapi. Dalam keadaan seperti ini, tentu saja ia terlihat jauh lebih tampan dibandingkan yang kulihat di sawah waktu itu. Aku semakin gugup dibuatnya.

Mak yang selalu bertanya apa-apa tentangnya, aku hanya mendengarkan. Sebab itu, ia lebih sering melihat ke arah Mak daripada ke arahku. Dari suaranya yang berat namun bernada sopan, akhirnya aku tahu banyak tentang dirinya. Ia tinggal di Sengkang. Menjadi yatim piatu setelah ambonya juga meninggal belum lama ini. Sedang maknya sudah tiada sejak ia masih kecil. Ia menempati rumah peninggalan orangtuanya seorang diri karena memang tidak memiliki saudara. Katanya, ambonya memilih tidak menikah lagi hingga maut pun menjemputnya. Sesaat, aku kagum dengan kesetiaan ambonya. Semoga kesetiaan itu pun menurun padanya, pemuda yang sepertinya akan menjadi jodohku.

Nada suaranya berubah jadi sedikit malu-malu saat menyampaikan pekerjaan sehari-harinya yang hanya seorang kuli bangunan. Mak sama sekali tidak mempermasalahkannya, mengingat kami juga bukan dari kalangan berada. Aku justru suka, ia benar-benar pekerja keras seperti yang Puang Sudi katakan.

"Yang penting, kamu bersungguh-sungguh mencintai anak saya," timpal Mak demi meredam mimik malu-malu yang diperlihatkan Hasan setelah mengutarakan pekerjaannya.

"Saya bersungguh-sungguh, Puang[1]. Saya berjanji tidak akan menyia-nyiakannya!" Setelah senyuman, kini perkataannya yang membuat hatiku mendadak sejuk.

Setelah meladeni semua pertanyaan Mak, obrolan yang awalnya kaku itu mulai lebih cair saat Puang Sudi turut bicara dan menyelipkan berbagai lelucon yang mampu mengundang tawa. Puang Sudi memang ahli melucu. Hasan tidak sungkan terbahak, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang diapit sepasang bibir berwarna merah tua. Sesekali ia bertanya padaku sesuatu hal, dan aku menjawabnya sangat singkat. Seperlunya saja.

***


[Bersambung]


Catatan kaki:
[1] Selain panggilan kepada om dan tante, 'puang' juga bisa digunakan untuk menyapa orang tua atau yang dituakan.


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar