Jumat, 08 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 5)

 


SELAMAT DATANG DI KOTA WATAMPONE

KOTA BERADAT BUMI ARUNG PALAKKA

Tiara melongok ke luar demi membaca kalimat itu pada gapura yang dibangun di perbatasan Kota Watampone. Senyumnya merekah. Dulu, sempat bercokol niatan di benaknya untuk tidak kembali lagi ke kota ini selamanya. Tidak akan melihat lagi gapura bermodel songkok recca[1] itu.

Tiara menarik napas dalam-dalam ketika mobil yang ditumpanginya mulai memasuki kawasan Desa Bajoe, membiarkan aroma khas kampung halaman memenuhi rongga dadanya. Dia mulai memikirkan kalimat pertama yang akan dia ucapkan kepada Ibu nanti. Haruskah dia menangis dan langsung berlari mendekap perempuan itu? Atau bersikap biasa-biasa saja? Dia mendadak gelisah.

Tiara penumpang terakhir yang diantar ke tempat tujuan. Penumpang lain sudah turun satu per satu sebelumnya. Mobil yang kini hanya berisikan dia dan sang sopir berhenti di depan Masjid Nurul Huda. Di samping masjid itu ada jalan setapak. Di ujung jalan itulah rumah kontrakan yang pernah dia tempati bersama Ibu berada.

Tiara melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Dia memang merencanakan akan tiba jam segini, ketika kebanyakan orang di kampung itu masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing atau sedang lelap dalam tidur siangnya. Jadi tidak terlalu banyak orang yang akan menyoroti kedatangannya. Benar saja, sepanjang jalan sepi. Hanya terlihat beberapa bocah di pinggir jalan yang tengah sibuk dengan permainannya, dunia yang hanya dimengerti oleh mereka.

Langkah Tiara berhenti di halaman sebuah rumah petak yang tampak tidak terurus dan terkesan kumuh. Dindingnya masih telanjang, memperlihatkan susunan batu bata tanpa lapisan semen dan cat atau apa pun. Daun-daun kering serta sampah plastik berserakan.

Ada apa dengan Ibu? Kenapa jadi tidak sempat mengurus rumah seperti ini?

Tiara melanjutkan langkah hingga tiba di teras. Setelah menimbang beberapa detik, akhirnya dia mengetuk pintu sambil mengucap salam. Berselang lama, tidak ada jawaban. Diulanginya lagi setelah bola matanya berputar sejenak mengamati langit-langit teras yang dipenuhi sarang laba-laba. Masih tidak terdengar jawaban. Tiara mengintip lewat jendela yang setengahnya tertutup gorden dengan warna yang mulai pudar. Tidak ada tanda-tanda Ibu sedang di dalam. Kemudian dia teringat dengan Tante Siska, rekan kerja Ibu sesama biduan. Perempuan yang gemar mewarnai rambutnya itu juga mengontrak sepetak rumah tepat di samping rumah mereka. Dia pasti bisa memberitahukan keberadaan Ibu. Tiara bergegas beranjak ke rumah sebelah. Setibanya, dia mendapati hal serupa. Rumah Tante Siska juga kosong.

Atau mereka sedang ada job siang?

"Tiara ...?" Seseorang menyapa dengan ekspresi setengah tercengang, ketika Tiara hendak mengulang mengetuk pintu rumah itu sekali lagi.

Tiara menoleh dan mendapati wajah yang sangat dia kenal. Perempuan paruh baya yang gemar berdaster itu adalah Bu Hasna, pemilik warung kelontong yang hanya berjarak tujuh rumah dari rumahnya. Dulu, Tiara sering belanja kebutuhan sehari-hari di sana.

"Kamu benar Tiara, kan?" Tatapan perempuan bertubuh gempal itu masih menyemburkan tanda tanya.

Tiara mengangguk seraya tersenyum. Kemudian dia mendekat untuk menjabat tangan Bu Hasna, menepis riak-riak heran di wajahnya yang mulai mengeriput itu.

"Kamu dari mana aja? Kenapa lama sekali baru pulang?"

"Kerjaka di Makassar, Bu."

Bu Hasna hanya ber-o panjang, meski dia yakin jawaban itu bukan alasan yang sebenarnya. Bagaimanapun, dia sangat mengenal Ibu. Dia paham benang merah yang melintang di tengah hubungan pasangan ibu-anak itu. Sering kali dia menyaksikan langsung hari-hari sulit yang terpaksa dilalui Ibu pasca ditinggal kabur sang anak.

"Kita[2] lihat makku?"

Mendadak raut wajah Bu Hasna berubah.

"Sudah beberapa minggu ini makmu sakit parah. Dia dirawat di rumah sakit."

"Ha? Sakit?" Penuturan itu membuat gemuruh di dada Tiara lebih kacau dari sebelumnya. Matanya berkaca-kaca kemudian. Dia benar-benar bingung harus bagaimana sekarang. "Rumah sakit mana, Bu?"

"Rumah Sakit Umum Tenriawaru. Sebaiknya kamu lekas ke sana."

"Iye[3]. Langsungma[4] ke sana, Bu."

"Tasnya simpan aja dulu di rumah. Nanti biar diantar sama Imran."

Sepintas, Tiara teringat masa lalunya dengan Imran. Dia sudah bersahabat dengan putra bungsu Bu Hasna itu sejak kecil. Bahkan, kedekatan mereka sudah seperti saudara. Imran cowok baik-baik, taat beribadah dan sangat patuh terhadap orangtua. Dia alumni SMA Negeri 1 Watampone, sekolah menengah atas terbaik di kota itu.

Tiara menunggu Imran yang tengah siap-siap. Dia duduk di depan warung, kolong rumah panggung yang telah disulap jadi tempat mencari nafkah. Bu Hasna baru saja mengambil alih dan membawa barang-barangnya ke dalam. Dia sedang menikmati sebotol minuman dingin ketika Imran sudah siap dan sedang menuruni tangga. Karena lama tidak bertemu, cowok itu terlihat canggung. Tiara sampai harus berdiri dan menyapa duluan. Tiara tidak heran, tetangganya itu memang agak pemalu.

"Apa kabar?" Tiara mengulurkan tangan.

"Alhamdulillah, baik," jawab Imran setelah menjabat tangan Tiara. "Mau berangkat sekarang?" imbuhnya sambil pura-pura merapikan kancing kemejanya.

Tiara hanya mengangguk. Imran beranjak menyiapkan kendaraan, sebuah motor matic warna merah yang telah menemani kesehariannya sejak SMA.

***

Di koridor rumah sakit, Tiara dan Imran berpapasan dengan Tante Siska. Dia bersama beberapa orang perawat yang tengah membawa pasien di atas brankar. Mereka panik dan tampak tergesa-gesa.

"Tante Siska?" hadang Tiara.

"Tiara?" Langkah tergesa-gesa Tante Siska mendadak terkunci demi memastikan seseorang yang baru saja menggaet tangannya.

"Tante, mana makku?"

Bibir Tante Siska malah bergetar hebat, tidak mampu bersuara. Dia hanya menunjuk ke arah rombongan perawat tadi yang telah menjauh. Tiara paham, kondisi Ibu pasti sedang mengkhawatirkan. Mereka lekas menyusul para perawat tadi. Tiara berlari demi bisa lekas melihat Ibu yang terbaring lemah di atas brankar itu. Air matanya tumpah ruah setelah melihat tubuh yang dulunya tegap berisi, kini begitu lemah dan ringkih.

"Mak ...!" panggil Tiara di sela tangis yang kian hebat. Dia sangat berharap mata Ibu bisa terbuka walau hanya sedetik demi melihat kepulangannya. Namun, mata itu malah seolah semakin rapat mengatup. Tiara baru berhenti memanggil-manggil setelah seorang perawat menahan dan memintanya menunggu di luar. Ibu akan ditangani di ruang ICU. Tubuhnya merosot di kursi tunggu. Dia menopang kepala dengan kedua tangannya. Air matanya terus berjatuhan, membasahi lantai rumah sakit yang dipasangi ubin putih bersih.

Tangan Tante Siska mendarat di punggung Tiara. Mengelus, menenangkan. Tiara beralih bersandar, berbagi kekalutan dengan teman seperjuangan ibunya itu. Imran yang kebingungan melihat pemandangan itu hanya bisa diam.

"Kenapa kamu tega ninggalin makmu?"

Tiara kian terenyuh mendengar pertanyaan itu.

"Apa pun yang dia lakukan, semua demi melihatmu bahagia. Sampai-sampai dia lupa memilah cara yang benar dan salah."

Entah apa yang harus diucapkan Tiara. Dia hanya terus sesenggukan.

Seorang dokter perempuan keluar dari ruang ICU, langsung disambut oleh Tiara dan Tante Siska. Keduanya sigap berdiri.

"Dokter, bagaimana keadaan Mak saya?" Suara terbata Tiara nyaris tidak terdengar.

"Saya harap, kamu bisa tabah. Kami sudah mengupayakan yang terbaik, tapi Tuhan lebih dulu menetapkan kehendak."

Deg!

Jantung Tiara seakan terhenti. Kepalanya mendadak terasa berat. Ribuan bintik cahaya yang menyerupai kunang-kunang serta-merta mengacaukan penglihatannya, sebelum semuanya berubah gelap dan tubuhnya ambruk.

***

[Bersambung]

Catatan kaki:

[1] Peci khas Bugis.

[2] Makna kata 'kita' dalam bahasa pergaulan orang Makassar melebur menjadi 'Anda' (sopan).

[3] Iya.

[4] Akhiran 'ma' berfungsi menggantikan kata "aku".


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya.

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar