Rabu, 20 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 5)

 


Kabut masih membatik di setiap sisi sebuah indekos yang lengang, jauh dari aktivitas penghuninya. Tiba-tiba suara ketukan pintu kamar nomor tiga memecah keheningan. Lelaki itu mengetuk berkali-kali sambil meneriakkan nama penghuninya.

"Dir ... Dirga ...!"

Tak ada jawaban.

Tampaknya yang bersangkutan masih dibuai mimpi di dalam sana. Lelaki bersarung kotak-kotak itu pun mengulangi lagi dengan nada yang lebih tinggi.

Tak lama kemudian pintu kamar bercat abu-abu itu terkuak. Dari baliknya Dirga muncul sembari menguap dan mengucek matanya.

"Aduh, Wan, ada apa, sih? Memangnya enggak bisa nanti? Ini, kan, masih pagi buta."

"Enggak bisa. Ini penting banget!" Wawan mempertegas dengan gerakan tangan.

"Paling cuma mau bilang kalau kamu punya pacar baru lagi," malas Dirga. Ia bersandar di sisi kanan pintu.

"Wah, Man, jangan main tebak gitu, dong! Kali ini topiknya benar-benar eksklusif, sama sekali enggak ada hubungannya dengan cewek-cewek yang naksir sama aku."

"Naksir dari mana? Kamunya aja, tuh, yang ngaku-ngaku."

"Ok! Cukup! Sekarang tolong dengarkan baik-baik!" Wawan seolah ingin membekap mulut Dirga. "Kamu masih ingat lowongan guru ekskul di sekolah omku?" tanyanya setelah Dirga diam sempurna.

"Oh, jadi kamu mau bilang kalau lowongannya sudah terisi?" Raut kekecewaan tergambar di wajah Dirga.

"Ayolah, Man. Stop thinking negative! Ya udah, lebih baik kamu baca sendiri." Wawan menyodorkan sebuah amplop.

Tanpa menoleh, Dirga meraihnya. Ia malas-malasan mengeluarkan isinya dan langsung membacanya. Seketika keningnya mengerut dan menarik kertas itu lebih dekat ke wajahnya. Matanya memelotot, senyumnya mengembang kemudian.

"Ini beneran?" Dirga terus memelototi kertas itu.

"Menurutmu?"

"Wan, ini beneran, kan?" Dirga memegang kedua pundak Wawan, sedikit mengguncangnya seraya berucap tadi.

"Kamu gimana, sih? Ini memang sungguhan, balasan surat lamaran yang kamu kirim kemarin."

"Aku diterima?" Dirga berbinar-binar.

Wawan mengangguk. "Pihak sekolah memutuskan kamu yang jadi guru ekskul musik di sekolah itu."

Rasa bahagia tak terkira sesaat menenggelamkan kosakata di benak Dirga. Entah apa yang harus diucapkannya. "Ini luar biasa. Aku masih belum bisa percaya." Dirga mengguncangkan tubuh Wawan sekali lagi, kegirangan.

"Kamu pantas mendapatkannya. Kamu, kan, violis andal." Wawan memberikan senyum pujian plus acungan jempol.

"Thanks, ya, Man!" Dirga mendekap tubuh Wawan.

"Woe, jangan lama-lama meluknya! Kalau ada yang lihat nanti dikira sedang berbuat maksiat." Wawan menepuk punggung Dirga.

Keduanya tertawa kecil.

"Sebenarnya surat ini datangnya dari kemarin sore, tapi aku lupa menyampaikannya. Aku sengaja membangunkanmu pagi-pagi biar bisa siap-siap."

"Siap-siap?" Dirga mengernyit.

"Hari ini juga kamu langsung mulai kerja."

Lingkar mata Dirga membesar.

"Ini hari Sabtu, waktunya ekskul, kan?"

"Terus ... kuliahku?"

"Soal kuliah bisa diatur. Lagipula kamu enggak mau, kan, melewatkan kesempatan ini?"

Dirga mengalihkan pandangan, terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Baiklah. Nanti aku susun ulang jadwal," ucapnya kemudian. Senyum kembali terlukis di wajah Dirga. Ia masih betah memandangi surat yang menyatakan penerimaan dirinya itu. Semua ini berkat bantuan dan dukungan Wawan yang telah merekomendasikannya dengan baik.

"Kamu siap dengan kabar selanjutnya?"

"Kayak acara berita di tivi aja." Dirga menoleh ke arah Wawan.

"Aku serius!" tegas Wawan. Ia kembali menyerahkan selembar kertas—tetapi dengan ukuran yang lebih kecil—setelah melihat semburat rasa penasaran mengalun di sorot mata sahabatnya itu.

"Apa ini?" Dirga meraihnya dengan kening mengerut.

"Di situ ada alamat tiga temanku, mereka lagi butuh jasa guru les biola privat. Ada yang buat adik, keponakan, dan ia sendiri. Nanti sore kuantar ke alamat-alamat itu. Jadi kalau memang cocok, kamu bisa langsung atur jadwalnya. Dan karena mereka rata-rata maunya hari Minggu, siap-siap aja besok kerja lagi."

"Tapi serius, nih, langsung dapat tiga?" Dirga terperangah.

Wawan mengangguk mantap.

"Wah, ini benar-benar luar biasa," girang Dirga.

"Kamu pantas mendapatkannya." Wawan menepuk pundak Dirga.

"Semua ini berkat bantuan kamu."

"Kita, kan, sahabat. Sesama sahabat wajib saling membantu, kan?"

"Kalau begitu, kamu memang sahabat yang paling the best, deh!" Kepakan senyum Dirga melebar sempurna.

"Baru sekarang, kan, kamu bilang the best? Kemarin-kemarin aku cuma playboy, buaya darat, ular sawah, atau apalah nama lain dari makianmu itu," ungkap Wawan dengan ekspresi khasnya.

"Kalau itu, sih, tetap. Tapi di balik semua itu, ternyata kamu bisa jadi sahabat yang benar-benar sahabat," ujar Dirga dengan tawa tertahan. "Aku jadi bingung, bagaimana caranya membalas semua ini?"

"Kalau soal itu gampang, cukup dengan mau mendengarkan semua cerita-ceritaku ketika sedang jatuh cinta."

"Wah, bakalan sering, dong. Kamu, kan, jatuh cintanya setiap hari."

Mereka kompak terbahak.

"Sekali lagi terima kasih, Man. Tanpa bantuanmu, aku enggak tahu harus ngapain." Ucapan Dirga penuh makna kali ini.

"Iya, sama-sama!"

Tak ada lagi yang bisa Dirga lakukan selain mendekap tubuh Wawan erat-erat. Wawan senyum-senyum saja diperlakukan seperti itu oleh sahabatnya. Ia tahu persis, hari ini hatinya sedang bahagia.

Di indekos itu Dirga memang paling dekat dengan Wawan. Mereka kenal sejak hari pertama masuk kuliah. Mereka sekampus, tapi beda fakultas. Dirga memilih seni, sementara Wawan lebih memilih jalur ekonomi untuk menentukan masa depannya. Sebenarnya ia berasal dari keluarga yang berada, orangtuanya juga masih di Jakarta, tetapi ia sedang belajar hidup mandiri. Persahabatan mereka unik, berlandaskan dua kepribadian yang sangat kontras. Namun, justru itulah yang membuat mereka saling melengkapi.

***

Sore hari memang selalu menyertakan ketenangan, meski tidak untuk hati Mia kali ini. Ia bertemankan gelisah menantikan Dirga. Sapu lidi di tangan kanannya lebih banyak dianggurkan ketimbang berfungsi sebagaimana mestinya. Ia celingukan kiri-kanan. Bahkan sesekali berlari melintasi pagar TPU, berharap orang yang ia nantikan muncul di pertigaan sana. Namun, semua itu sia-sia. Sosok yang tengah mengacaukan konsentrasinya tak kunjung datang.

Pak Warto mulai merasa aneh dengan sikap putrinya. "Ada apa, sih, Mia? Dari tadi mondar-mandir tidak jelas." Ia ikut menghentikan aktivitasnya.

"Kok, hari ini Dirga enggak datang, ya?" Alih-alih menjawab pertanyaan ayahnya, Mia malah bergumam.

Pak Warto baru kali ini mendengar nama itu, yang kemudian diyakininya milik lelaki yang kerap bermain biola di TPU itu. Sore ini memang sedikit berbeda tanpa alunan nada-nada syahdu darinya.

"Oh, jadi namanya Dirga?" Senyum geli Pak Warto melebar melihat tingkah putrinya yang diyakininya sedang kasmaran.

Mia sadar ayahnya sedang menggoda, tetapi pandangannya tetap awas ke arah gerbang TPU.

"Tapi kenapa kamu yang pusing kalau ia tidak datang?" Pak Warto kembali menggoda putrinya.

"Ih, siapa yang pusing?" Mia mengelak.

"Atau kangen?"

Seketika Mia merasa ditodong. Ia hanya menunduk tanpa jawaban.

"Mia, kamu suka dengan lelaki itu?" Kali ini nada yang tersusun di kalimat Pak Warto agak berbeda. Mia merasakan keseriusan di sana.

"Enggak tahu, Yah. Mia hanya ingin selalu melihatnya memainkan biola itu."

"Hanya itu?"

Mia mengangguk.

"Yakin?"

Mia mendalami sorot mata ayahnya, kali ini tanpa jawaban ataupun anggukan.

Pak Warto menghela napas panjang. "Berhati-hatilah, karena terkadang apa yang kita inginkan tak selalu bisa kita dapatkan. Ayah takut kamu kecewa." Pak Warto menepuk pelan pundak putrinya.

Mia diam saja.

"Ya sudah, lebih baik sekarang kita lanjut kerja lagi biar cepat selesai." Pak Warto menyunggingkan sebaris senyum penyemangat.

Mia kembali melanjutkan aktivitasnya setelah mengangguk lemah, tanpa mampu atau sekadar mencoba menepis bayangan Dirga dari ingatannya. Bayangan wajah manis violis itu ikut berlompatan bersama daun-daun kering yang terusik ujung sapunya.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar