Senin, 18 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 3)

 


Di dalam sebuah mobil mewah yang meluncur di jalanan mendaki dan berkelok, Mia terlihat cemas. Berkali-kali ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ingin segera tiba di tempat tujuan.

Selawat bergaung memenuhi kawasan perbukitan, panggilan untuk menunaikan ibadah salat Magrib pun terdengar. Sedari tadi Fahran menyendiri di halaman kantor, ia duduk di undakan. Sesekali tangannya memainkan ilalang yang tumbuh liar di sisi undakan, atau melemparkan batu kerikil sejauh mungkin sebagai penyaluran kekesalannya.

Tiba-tiba ia bangkit dengan senyum sempurna ketika sebuah mobil mewah yang sangat dikenalinya melintasi gerbang utama pondok pesantren tempatnya menimba ilmu hampir tiga tahun terakhir. Seolah tak sabaran, Fahran langsung menuruni undakan dan berlari menghampiri mobil tersebut.

Mia pun demikian, sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan putranya itu. Ia bergegas turun dari mobil dan menyambut Fahran dalam dekap hangatnya. "Mama kangen banget sama kamu!"

"Fahran juga, Ma!"

Selama beberapa saat dekapan mereka belum terlerai. Dari balik punggung mamanya, Fahran mengintai ke dalam mobil.

"Kok, Mama disopirin sama Mang Dadang? Kenapa Papa enggak ikut?"

"Tadi Papa sudah di mobil sama Mama, tapi tiba-tiba rekan bisnisnya telepon, mendadak mereka harus menghadiri meeting penting di luar negeri. Makanya Mama baru tiba karena nganterin Papa dulu ke bandara."

"Ah, Papa selalu gitu." Fahran menekuk mukanya. "Memangnya enggak bisa diwakili sama bawahannya?"

"Mama juga tadi tanya begitu, tapi katanya kali ini benar-benar enggak bisa. Harus Papa yang ke sana." Mia mengelus lembut tengkuk putranya. "Kamu jangan sewot begitu, dong, Sayang. Papa kerja keras, kan, buat kita juga."

Tampaknya Fahran belum bisa menerima ketidakhadiran Papa.

"Fahrul?"

"Adikmu ikut pelatihan PMR. Ia sedang camping di luar kota. Lusa baru pulang."

"Padahal aku sudah kangen banget sama tuh bocah." Sepintas terbayang di benak Fahran wajah sang adik yang super jail.

"Adikmu juga pasti begitu, tapi mau gimana lagi? Lagipula, musim liburan nanti kamu bisa pulang menemuinya, kan?"

"Iya sih ...," pelan Fahran, wajahnya memetakan sesuatu yang masih mengganjal.

"Kenapa lagi?" Mia menangkap raut yang tidak beres di wajah putranya itu.

"Gimana, dong, Ma?"

"Gimana apanya?"

"Mama bisa, kan, bicara sama Ustaz Ansara tanpa Papa?" khawatir Fahran.

"Oh ...." Mia tampak berpikir sejenak. "Mama juga enggak yakin, sih, tapi Mama akan usahain buat kamu. Lagian kamu ini ada-ada aja, deh. Anak gurunya, kok, dipacarin?"

"Boleh, dong. Salah sendiri punya anak secantik Aida."

"Hus, enggak boleh ngomong gitu!"

Fahran terkekeh saat Mama mencolek pinggangnya.

"Emangnya Aida itu kayak apa, sih? Mama jadi penasaran."

"Nanti biar Mama lihat sendiri. Pokoknya, cantiiik ... banget!" Ucapan Fahran didramatisir, dipanjang-panjangin.

"Percaya, deh. Kalau enggak, mana mungkin anak Mama yang ganteng ini dibuatnya bertekuk lutut?" Mia membelai lembut pipi sulungnya.

"Ah, Mama bisa aja." Senyum Fahran melebar.

Mereka jalan beriringan memasuki lebih dalam pekarangan pondok pesantren Nurul Taqwa. Fahran merangkul Mama. Mereka masuk ke kantor setelah menapaki undakan tempat Fahran menyendiri tadi. Mereka harus mematuhi peraturan-tamu wajib lapor.

***

Ketenangan mengendap di sisi perbukitan, ketika hati berucap takbiratulihram.

Allahu Akbar!

Pondok pesantren Nurul Taqwa larut dalam kekhusyukan menghadap Sang Pencipta. Desau angin serta gemericik air telaga seolah mengantarkan alam turut bersujud. Bukit, pepohonan, bahkan rerumputan pun membentangkan syukur atas nikmat hari ini.

Bulan menggantung sempurna di punggung langit. Kelembutan cahayanya menerawang langkah Fahran ketika mengantar Mama ke kediaman keluarga Kiai Maulana.

"Mama enggak nyangka kondisi kamar kamu seperti itu."

"Namanya juga asrama. Enggak mungkin, dong, kamarnya sebagus kamar Fahran di rumah."

"Sepertinya kamu semakin betah di sini. Bukannya dulu sempat kabur dari rumah begitu tahu akan diasramakan di sini?"

"Itu dulu, Ma. Sekarang Fahran sadar, bahwa semua ini demi kebaikan Fahran juga."

"Semoga ucapan kamu itu tulus, bukan karena ada Aida." Mia melayangkan lirikan menggoda ke arah putranya.

"Termasuk itu juga, sih." Fahran tersenyum nakal.

"Huuu ... dasar!" Mia menyikut pinggang putranya.

Berbagai obrolan hangat lainnya mengantarkan mereka tiba di kediaman keluarga Kiai Maulana.

"Mama siap, kan?" desis Fahran di telinga Mama.

"Insya Allah!"

Setelah sempat ragu, Fahran mengetuk pintu tiga kali.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" Terdengar jawaban dari dalam.

Tak berselang lama, seorang perempuan berkerudung putih-yang tak lain adalah Sakina-hadir membuka pintu.

"Eh, Fahran!"

Fahran menghadirkan gambaran sesantun mungkin.

Sepintas Sakina memandang Mia, keduanya bertukar tersenyum. "Mari, silakan masuk!"

Mereka berpindah dari teras ke ruang tamu yang tidak begitu luas. Fahran duduk berdampingan dengan mamanya di sofa panjang.

"Sebelumnya kami minta maaf sudah mengganggu ketenangan Nyai."

"Ah, tidak apa-apa!"

"Ini Mama saya dari Jakarta, baru tiba menjelang magrib tadi." Tatapan Fahran beralih ke mamanya. "Ma, ini Nyai Sakina, istri Ustaz Ansara."

Keduanya pun bangkit mempertemukan jabat tangan dan bergantian menyebutkan nama masing-masing. Mereka kembali duduk setelahnya.

"Nyai, apakah boleh malam ini Mama istirahat di sini? Itu juga kalau Nyai tidak keberatan."

"Fahran, kamu ini ngomong apa, sih?" Sakina mengibaskan tangan untuk menghalau omongan Fahran. "Tentu bolehlah. Malah Nyai senang ada temannya." Sakina berucap diiringi senyum yang mengepak sempurna.

"Terima kasih sebelumnya atas kesediaannya," tanggap Mia sembari merundukkan kepala.

"Sama-sama!" Sakina pun demikian. "Anda tidak perlu sungkan, anggap saja rumah sendiri."

"Oh ya, Nyai, Ustaz ada? Kami perlu bicara dengan beliau."

"Ustaz belum pulang. Beliau sedang ada rapat dengan guru-guru lainnya di aula. Memangnya kamu tidak tahu?"

"Tahu, kok, Nyai. Tapi, saya kira rapatnya sudah bubar."

"Ditunggu saja dulu, paling sebentar lagi juga pulang." Untuk kesekian kalinya Sakina menampilkan senyum khas tuan rumah yang ramah. "Tapi kalau boleh saya tahu, ada perlu apa, ya, ingin menemui Ustaz?"

Tiba-tiba Fahran merasakan tekanan dari segala arah. Ia sungguh tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Fahran yakin, perempuan bermata teduh itu tidak mungkin lupa dengan kejadian tadi sore, tapi bagaimanapun juga ia wajib menjawab pertanyaan istri gurunya itu. Detik-detik selanjutnya Fahran sangat bingung bagaimana harus menjawab. Sementara ia yakin, Sakina tahu persis maksud dan tujuannya.

"Fahran, kamu yakin tidak perlu bicara juga dengan Nyai?"

"Perlu juga, sih!" Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Fahran, padahal ia tidak menangkap sepenuhnya maksud perkataan Sakina.

"Kalau Nyai terserah Ustaz saja," Sakina menutup kalimat singkatnya dengan senyum yang mampu membuat Fahran sedikit lebih tenang.

Fahran menghela napas lega. "Terima kasih, Nyai!"

Akhirnya, sepihak telah melapangkan jalan untuk hubungannya dengan Aida. Namun, itu belum cukup untuk meredakan perasaan was-was yang menyesakkan dadanya sedari tadi. Menghadapi Ustaz Ansara takkan semudah ini.

"Aduh, saya sampai lupa ambil minum. Saya permisi ke belakang dulu." Sakina berucap dengan sedikit terkekeh. Ia hendak beranjak.

"Tidak usah repot-repot, Nyai," cegah Mia. "Boleh nginap saja sudah cukup, kok."

"Ah, tidak apa-apa. Lagian cuma minuman, tidak repot, kok. Saya tinggal sebentar, ya." Sakina beranjak dari ruang tamu setelah melepas senyum selayaknya tuan rumah yang ramah.

Detik selanjutnya jelas sekali kegelisahan tampak menguasai Fahran. Hampir setiap detik ia menoleh ke arah pintu, berharap Ustaz Ansara segera hadir di ruangan itu-meskipun ia belum tahu apa yang akan ia lakukan dalam usahanya kali ini.

Hanya beberapa menit kemudian suara Ustaz Ansara terdengar dari ambang pintu, membuat Fahran terkesiap.

"Assalamualaikum!" Ustaz Ansara melangkah pelan memasuki kediamannya. Di tangan kanannya butir-butir tasbih bergulir dalam balutan asma Allah. Seketika langkahnya terhenti saat menyadari kehadiran Fahran. Ia mengernyit.

Tatapan khas itu menyusutkan wajah Fahran. Ia mulai berpikir keras tentang apa yang akan dikatakannya.

Selanjutnya tak hanya langkah Ustaz Ansara yang terhenti, tetapi jemari tangannya pun seakan kaku dalam lingkaran tasbih ketika pandangannya sedikit bergeser ke arah Mia. Desir darah bergejolak, dada sesak oleh entakan jantung yang meronta. Dan mata itu beku, tak berkedip dalam tatapan panjang. Secepat sambaran kilat, Ustaz Ansara merasakan dirinya terempas jauh dari tempatnya berdiri, mendarat di suatu masa dalam tumpukan lembar-lembar hidup yang pernah dilaluinya. Suatu masa yang kembali hadir dalam bingkai ketidaksengajaan, tetapi sarat akan kepastian takdir Tuhan.

Hal serupa juga dirasakan oleh Mia, ketika jiwanya mampu merasakan detak jantung seseorang yang terdiam di balik penampilan yang kini sangat berbeda. Tanpa disadarinya ia bangkit berdiri dalam gerakan pelan. Bahasa tubuhnya seolah menafsirkan perasaan absurd yang menikam seketika. Ia berusaha untuk mengelak dari sesuatu yang terpatri di hadapannya, setangkai bunga rindu yang berakar di masa lalu.

Desah-desah kedamaian tiba-tiba merangkul perempuan beranak dua itu. Dirasakannya sesuatu yang telah lapuk-bahkan hancur-dalam dirinya perlahan-lahan kembali indah dan nyata. Namun, waktu telah membentangkan jurang yang teramat dalam. Ini bukan masanya lagi. Sangat tidak mungkin!

Mia menggeleng tidak habis pikir, berusaha untuk tidak percaya. Sebuah nama meletup-letup di hati, menggantung di antara keraguan dan keyakinannya. Namun, bibirnya terkatup rapat. Tak berdaya untuk berucap.

Fahran tercengang melihat pemandangan itu. Ia seperti sedang menyaksikan adegan slowmotion dalam sebuah film. Ada apa dengan Mama dan Ustaz? pikirnya.

"Fahran ...." Sebisa mungkin Ustaz Ansara mengalihkan pandangannya ke arah Fahran. "Kembali ke asrama!"

"Tapi, Ustaz ...?" Fahran sigap berdiri.

Mia mengernyit tajam ke arah Fahran, dan Fahran sangat mengerti maksud isyarat tersebut. Mau tidak mau ia harus kembali ke asrama, bahkan sebelum mengutarakan maksud kedatangannya.

Sepeninggal Fahran, ruang tamu itu menghadirkan suasana yang semakin mencekam. Sisi ruangan seakan menyempit. Rasanya tidak ada celah untuk bergerak. Detik-detik bergulir menguntai kekakuan yang teramat sangat. Tatapan mereka memang sudah lerai, tetapi perasaan-perasaan aneh yang mengalir seiring darah tak lantas reda. Jelas sekali keduanya terlihat salah tingkah.

Sebuah kelegaan, Sakina hadir mencairkan suasana.

"Eh, Mas, sudah pulang, toh," sambut Sakina dengan nampan berisi dua cangkir teh hangat di kedua tangannya. Kemudian ia melongo ke arah sofa yang tadi diduduki Fahran. "Lah, Fahran ke mana?"

Tak ada yang merespons ucapan Sakina. Ustaz Ansara malah beranjak ke dalam.

"Ada tamu, kok, Mas malah langsung masuk aja? Ini mamanya Fahran, datang jauh-jauh dari Jakarta karena perlu bicara dengan Mas."

Ustaz Ansara menoleh ke arah istrinya. "Saya ganti baju dulu."

Sakina sedang meletakkan teh suguhannya di atas meja ketika ia mencuri-curi pandang ke arah Mia yang masih terus menatap ke arah tirai tempat Ustaz Ansara menghilang ke ruang tengah.

"Ehem ...!" Sakina berdeham. "Kenapa berdiri begitu? Mari, silakan duduk."

"Oh, iya," Mia baru menyadari posisinya.

Di ruang tengah, Ustaz Ansara menindihkan punggung ke daun pintu kamar yang baru saja ditutupnya.

Kenapa harus seperti ini? Hatinya berbisik penuh kebimbangan.

Setelah berganti pakaian yang lebih rapi ketimbang koko yang sedikit lusuh setelah menemani aktivitasnya seharian, Ustaz Ansara kembali ke ruang tamu, bergabung bersama Mia dan Sakina, juga atmosfer aneh yang belum sepenuhnya reda. Meski sangat sulit, ia upayakan menatap ke arah Mia, lalu tersenyum seadanya. Hanya sesaat, tatapan kaku itu kemudian bermuara pada cangkir berisi teh hangat di atas meja. Tanpa sepengetahuan Sakina yang ikut-ikutan kikuk, isi kepala keduanya memutar kenangan sewarna, meski pada poros berbeda.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar