Kamis, 21 Desember 2023

Calon Besanku Cinta Pertamaku (Bab 6)

 


Hari berikutnya sama saja. Sore membentang tanpa sentuhan getaran dawai-dawai biola Dirga. Kegelisahan sempurna merengkuh Mia dengan cara teramat sadis. Ia takut tak bisa lagi bertemu dengan pemilik alis tebal itu, dan banyak ketakutan lainnya. Semua itu hanya bentuk lain dari kerinduan yang bahkan telah menggunung meski baru dua hari tak bertemu, melihat lebih tepatnya.

Mia mencoba membunuh ketakutannya dengan membangun keyakinan bahwa Dirga akan muncul kembali di TPU itu. Karena jika tidak, entah bagaimana ia bisa ikhlas menjalani hari-hari selanjutnya. Hatinya telanjur tercuri oleh pesona violis yang baru ia tahu namanya. Alamat dan lainnya entah.

***

Hari yang melelahkan. Dirga tiba di indekos setelah bumi berlindung di bawah payung hitam Sang Pencipta. Dengan lesu ia membuka pintu kemudian melangkah ke kamarnya. Namun, sesuatu menarik perhatiannya.

Kok, pintunya terbuka? gumamnya dalam hati.

Penuh rasa heran, Dirga bergegas masuk. Ia menemukan Wawan dengan santainya rebahan di tempat tidur.

Dirga menghela napas lega sambil mengelus dada. Sementara Wawan senyum-senyum saja menyambut kedatangan tuan kamar.

"Kamu ngapain, sih, di sini? Bikin panik aja. Tadinya kupikir ada maling, tahu!" Dirga memasukkan tasnya ke laci meja komputer yang berada di pojok ruangan, kemudian mengenyakkan diri di atas kursi plastik tepat di depan meja tadi.

"Ya ampun, Man, jam segini mana ada maling? Yang lain juga pada belum tidur, kok!" Wawan bangun, kemudian bersandar di tumpukan bantal.

"Gimana caranya kamu bisa masuk? Perasaan, sebelum berangkat pintunya kukunci." Dirga tampak berpikir.

"Kan, bisa minta kunci cadangannya sama ibu kos," timpal Wawan sesantainya.

"Terus, kenapa? Kamu mau curhat lagi? Kamu jatuh cinta lagi?"

"Iya, nih, dan kali ini ceweknya benar-benar sempurna," ucap Wawan dengan sebentuk nada antusias.

"Kemarin-kemarin kamu juga selalu bilang gitu." Dirga membumbui sedikit penekanan di ujung kalimatnya.

"Tapi kali ini ekstra sempurna, benar-benar beda, Man," timpal Wawan lagi dengan nada meyakinkan.

"Pacar-pacarmu yang kemarin mau dikemanain?"

"Sudah kuputusin semua," tandas Wawan.

"Apa?" Dirga refleks meluruskan punggung yang sedari tadi melekat di sandaran kursi. "Kamu, tuh, ya, enggak ada kapoknya. Kapan, sih, kamu bisa sedikit saja menghargai cewek? Mereka bukan mainan, mereka juga manusia yang punya hati dan perasaan."

"Salah mereka sendiri. Terlalu ribet, banyak maunya."

"Udah tahu gitu kenapa masih dipacarin?"

"Aku, kan, dalam tahap pencarian seseorang yang nantinya akan mendampingiku selamanya. Jadi kalau ada yang lebih baik, kenapa enggak?"

"Terus, kapan kamu akan merasa menemukan yang terbaik?"

"Kapan-kapan aja, kali, ya? Selama wajah gantengku ini masih mampu memikat hati para cewek cantik di luar sana, nikmatin aja dulu." Wawan tersenyum lebar dengan dagu terangkat sedikit-gaya khas saat memuji diri sendiri.

"Ganteng dari mana? Capek, deh, ngomong sama kamu. Ujung-ujungnya malah narsismu yang kumat."

Wawan cengar-cengir.

Sejenak hening. Dirga kembali menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Ia menjulurkan kaki ke depan dan membenturkan pandangan di langit-langit kamar. Sesekali terdengar embusan napasnya yang berat.

"Kamu kenapa, sih? Tampangnya lesu begitu. Capek, ya? Atau jangan-jangan, ada masalah di kerjaan kamu?"

"Enggak, kok! Aku senang-senang aja dengan pekerjaan baruku. Hanya saja ... ada yang mengganggu pikiranku saat lagi kerja," terang Dirga tanpa menoleh.

"Apa itu, Man?"

"Seharian ini aku teringat sama TPU."

"Ada apa dengan TPU? Ada yang bongkar makam ayahmu?" Wawan memasang respons berlebihan.

"Hus...! Kamu ini kalau ngomong sembarangan aja," timpal Dirga dan melempari Wawan dengan lirikan tajam.

"Bukannya begitu, Man. Aku heran, kenapa harus TPU itu yang mengganggu pikiranmu?"

"Terakhir ke sana aku ketemu cewek, Man," pelan Dirga. Meski samar, terdengar nada malu-malu di ujung kalimatnya.

"Wah ... wah ... wah ... tumben banget, nih, sahabatku yang anti cewek ini tiba-tiba ngomongin cewek." Wawan memperlihatkan reaksi berlebih.

"Anti cewek gimana? Gini-gini aku masih normal, tahu. Tapi, kita beda. Kamu yang aneh, masa tiada hari tanpa jatuh cinta?"

"Itu memang wajar untuk seseorang yang memesona sepertiku ini." Wawan menegakkan kepala di ujung kalimatnya, seperti biasa.

"Nah, mulai deh!" ketus Dirga dengan nada dibuat-buat.

"Eh, tapi ngomong-ngomong, cewek itu cantik, enggak? Jangan-jangan cewek jadi-jadian. Kok, ketemunya di kuburan?"

Kali ini Dirga tak tahan. Ia menyentil telinga sahabatnya itu.

"Auw...!" Wawan menyeringai.

"Omongan, tuh, disaring dulu sebelum keluar. Mana ada cewek jadi-jadian pas hari masih terang?"

"Kan, zaman terus bergeser. Siapa tahu aja makhluk jadi-jadian juga sudah berubah jam operasional?" tutur Wawan sembari masih menggosok-gosok daun telinganya.

Sesaat hening. Dirga enggan menanggapi.

"Cantik, enggak?" Rasa penasaran Wawan telanjur tersita.

"Aku, sih, enggak begitu ahli menilai kecantikan seorang cewek. Tapi yang pasti, aku nyaman di dekatnya. Caranya bertingkah ... menurutku beda dengan kebanyakan cewek yang pernah kutemui." Tanpa sadar, nada suara Dirga yang agak puitis itu menggelitik Wawan.

"Sepertinya ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama, nih," ledek Wawan.

"Aku enggak percaya cinta pada pandangan pertama."

"Buktinya, sekarang kamu enggak bisa lupa. Itu artinya kamu merindukannya."

Sesaat Dirga terdiam.

"Masa, sih?" ucapnya kemudian. Otaknya masih memproses omongan Wawan.

"Makanya, Man, sekali-sekali pacaran biar tahu rasanya jatuh cinta."

Dirga tak berkomentar lagi. Sesuatu yang lebih penting ketimbang menanggapi omongan Wawan sedang menjamah pikirannya.

"Ya sudah, sekarang kembali ke kamarmu. Atau mau ke mana aja terserah. Yang penting jangan di sini. Aku harus melanjutkan artikelku."

"Ini, kok, malah ngusir, sih? Soal cewek tadi gimana?"

"Aku bukan kamu, ya, yang enggak ada habis-habisnya kalau bahas cewek."

"Memangnya ganggu banget, ya, kalau aku di sini sementara kamu menulis?"

"Tergantung, sih. Tapi, kalau ada kamu sepertinya otakku enggak berfungsi."

"Sesadis itu?"

Dirga yang mulai sibuk dengan laptopnya diam saja.

"Memangnya enggak capek, ya, baru pulang langsung nulis lagi?" Wawan menyela lagi.

"Capek, sih. Tapi, mau gimana lagi? Tadi redaksi telepon, besok sudah deadline. Jadi, mau enggak mau harus selesai malam ini." Jemari tangan Dirga tampak lincah menari-nari di atas keyboard. "Lagian kalau enggak seperti ini, mana bisa aku kuliah? Kamu, sih, enak, mau apa aja tinggal minta sama orangtua." Mata Dirga tetap fokus pada monitor.

Wawan mengangguk lemah, mengiyakan. "Tapi sebenarnya aku iri. Kamu bisa menghadapi semua persoalan hidup seorang diri. Luar biasa, Man." Kali ini nada suara Wawan sedikit berbeda. Dirga bisa merasakannya.

"Semua ini faktor nasib, keadaan yang membuatku seperti ini," ucap Dirga disusul helaan napas berat yang tertahan.

Seketika timbul rasa prihatin di hati Wawan. Keduanya bungkam sejenak.

"Aku keluar bentar, ya." Wawan turun dari tempat tidur.

"Eh, maksudnya masih mau balik lagi?" sergap Dirga.

"Khawatir banget, sih, kalau aku balik lagi. Tenang, aku janji enggak akan ganggu." Wawan yang sudah di ambang pintu menoleh kembali. "Aku mau cari makanan. Memangnya kamu enggak lapar?"

"Nah, ide bagus, tuh." Dirga menampakkan cengiran iseng.

"Soal makanan cepat tanggap, giliran ngusir cepat juga," cibir Wawan sembari berjalan keluar.

"Itu, sih, beda topik, Man," timpal DiHrga setengah teriak.

Sesaat Dirga dibuat senyum-senyum sendiri oleh ulah sahabatnya itu. Kemudian pandangannya kembali fokus pada monitor. Ia berusaha merangkai kata demi kata untuk menyelesaikan artikelnya malam ini juga.

***

[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar