Selasa, 20 Juni 2017

Review Kumcer: Menghimpun Butir Waktu




Judul             : Menghimpun Butir Waktu

Penulis          : Pangerang P. Muda

Penerbit        : LovRinz Publishing

Tebal             : 248 hlm

ISBN            : 978-602-6652-26-3

Cerpen-cerpen Pangerang P. Muda sudah kuat sejak gagasan. Ia bukan sekadar menulis tema cinta kaum remaja, tetapi di dalamnya terkandung hubungan anak dan orang tua, bahkan sejarah dan rahasia. Gaya ungkapnya serupa sungai di pegunungan: mengalir lancar dan memercik segar. Kejutan di letakkan di berbagai tempat untuk membangun cerita sehingga pembaca terjerat sampai akhir.
(Kurnia Effendi, penulis cerpen dan puisi)

Saya membaca kumpulan cerpen Menghimpun Butir Waktu & Sehimpun Cerita lainnya dengan perasaan nyaman. Cerita ditulis dengan bahasa yang rapi dan indah. Hubungan percintaan antar tokoh di beberapa cerpen ditulis dengan paparan yang menyenangkan dan bikin hanyut.
Tidak hanya mengenai percintaan, beberapa cerpen bercerita tentang hubungan keluarga, juga beberapa cerpen berlatar misteri. Namun, semuanya tetap dikemas manis, khas cerpen remaja.
Dengan lembut dan manis, Pangerang P. Muda mengajak kita merayakan cinta dengan bersahaja.
(Palris Jaya, penulis cerpen)

Dear kamu,
Telah kujanjikan padamu banyak cerita, bahkan kamu bilang, kalau bisa sampai pada seribu satu cerita.
Sehimpun di antaranya ada di sini: cerita tentang teman-temanmu, keluargamu, tetanggamu, kenalanmu, juga cerita tentangmu.
Mulailah membacanya ….
(hal 1)

Sehimpun cerita dalam buku ini pernah tayang di majalah ANITA Cemerlang periode 1988-1997. Artinya, keseluruhan cerpen secara kualitas tidak diragukan lagi. Maka jangan heran, begitu mulai membaca, kau seolah menemukan pemanis yang meminta keikhlasanmu untuk mencecap hingga akhir. Secara konsep buku ini sangat matang, terbukti dengan munculnya tiga pembagian yang mengatasnamakan cinta, misteri, dan keluarga sebagai elemen utama. Saya rasa penulis juga sengaja menyusun cerpen berdasarkan kekuatan. Jadi semakin ke belakang semakin gereget saja.
Dibuka dengan cerpen pertama berjudul “Selamat Datang Cinta” yang saya artikan sebagai gapura, menyambutmu untuk mulai menjelajahi keseluruhan isi buku. Tak heran jika cerpen pertama ini datar-datar saja, kita anggap sebagai pemanasan.
Tenang, penulis tak suka lama-lama pemanasan. Di cerpen kedua, “Sandiwara di Hari Kamis” saya langsung suka. Di balik judul yang unik, penulis membangun suasana cerita yang tegang-tegang lucu dan berakhir manis. Rasanya seperti menikmati lollipop coklat susu bersalut caramel. Maka bayangkan betapa lidahmu enggan berhenti menjilatinya. Hehehe ….
Selain bahasa yang lugas, ringan dan mudah dicerna, keunggulan lain dari buku ini adalah opening yang selalu menarik. Misal pada cerpen “Benang-Benang Merah”,

Setiap menginap di vila, bila ia terbangun di pagi hari yang langsung teringat adalah kabut tipis yang mengapung di atas atap rumah-rumah penduduk. Dia suka melihat kabut itu, yang terus menipis mengiringi gerak matahari, dan perlahan menampakkan atap-atap rumah di bawah sana. dia merasa melihat selendang sutera putih yang dibentangkan lalu dikoyak-koyak. (hal 161)

Cerpen-cerpen dalam buku ini tidak melulu tentang cinta. Beberapa cerpen berbau misteri terangkum di bagian kedua, membacanya membuat saya sesekali bergidik. Saya yakin tidak sedang memegang buku horor—kovernya malah hijau telur asin yang menenangkan—tapi penulis berhasil membangun ketegangan dengan takaran pas. Bahkan, hubungan manusia dengan binatang pun tak luput dari imajinasi penulis. Karenanya saya sangat suka cerpen “Anak Rusa Berbulu Emas”, pesan sosialnya tersampaikan dengan baik.

“Kalian tamak, selalu tidak puas dengan satu nyawa! Kembalikan bapakku, kembalikan kepalanya. Kalau tidak, akan kami ambil pula kepalamu ….” (hal 116)

Kita tinggalkan bagian kedua, beranjak ke bagian ketiga yang aduhai banjir air mata. Keseluruhan cerita di bagian ini melibatkan peran keluarga, mengharu biru. Penulis kita pintar memainkan emosi pembaca. Dari awal dielus-elus, lalu dicabik-cabik di bagian terakhir ini. Seumpama sebuah rumah, maka bagian ketiga ini ruangan khusus tempat penulis menyimpan semua hartanya, dalam hal ini cerita terbaiknya. Tujuh kisah berbalut teka-teki dalam kehangatan keluarga sukses membuat saya terpukau.
Karena bertemakan keluarga, cerita-cerita di bagian ketiga ini lebih bersinggungan dengan lingkungan sosial dan sarat makna. Cerpen “Istana di Atas Bukit” misalnya.

“Banyak orang membangun hunian serupa istana yang besar dan megah, indah dan mewah, tapi tidak betah berada di dalamnya. Sudah lama saya ingin punya hunian kecil dan berada di atas bukit, walau sederhana tapi terasa serupa istana, yang membuat betah berada di dalamnya.” (hal 153)

Terakhir, saya acungkan dua jempol untuk kepiawaian penulis melahirkan cerita, bahkan dari objek yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Dalam hal ini perasaan bunga pada cerpen “Bunga-Bunga Ayela”. Ah, bunga saja punya perasaan, apalagi dia yang kamu taksir! Hehehe ….

“Perasaan bunga-bunga tidak pernah bohong. Orang yang membawa aura kelembutan dan kebaikan, ketika mendekati bunga-bunga, maka warna bunga-bunga itu seperti berubah lebih cerah dan geraknya semakin mekar. Sebaliknya, bila yang mendekat itu orang yang membawa aura buruk, kasar atau jahat, bunga-bunga itu seakan mengkerut dan mau layu.” (hal 210)

Pertanyaannya, bagaimana reaksi bunga jika kamu yang mendekat? bertambah mekar atau malah menggkerut? Sambil mencari tahu, mending baca dulu buku kumpulan cerpen ini.

Aku tidak berharap kamu berhenti memintaku agar terus bercerita padamu, karena masih hampir seribu cerita yang pernah kujanjikan padamu belum kuceritakan.

Aku.
(hal 243)

Rabu, 14 Juni 2017

Review Novel: Aster untuk Gayatri




Judul             : Aster untuk Gayatri

Penulis          : Irfan Rizky

Penerbit        : Mazaya Publishing House

Tebal             : 160 hlm

ISBN            : 978-602-6362-35-3

BLURB
Telah kularungkan
Kepada Gayatri
Tiap-tiap kesedihan
Jua
Perih-pedih
Masa lampau

Dan telah kuwariskan
Kepada Giran
Cerita-cerita luka
Tentang rindu
Yang
Dipandanginya lama-lama

Pun telah kuhidangkan
Kepada kamu
Seorang
Kisah-kisah tentang
Apa-apa
Yang harusnya
Ada
Dan apa-apa
Yang mestinya
Tiada

Buku ini teramat kurang ajar membuatku berkaca-kaca, menjadi cengeng. Penulis begitu pandai meracik bait-bait luka menjadi sesuatu yang patut kau sesapi hingga akhir—walau perih. Kisah Giran-Gayatri masih mengangah di kepala hingga saat ini, entah sampai kapan.

Langit dan laut bersatu
Pada ujung-ujung yang matamu-mataku
Cerminkan duka-duka serta
Kenangan-kenangan baik

Kisah ini pun mendekati ujungnya-ujungmu
Aku? Biar saja. Toh kamu tak pernah benar-benar mengerti.

Hanya satu yang kusesali;
Aku lupa bertanya; cara tercepat melupakanmu.
(hal 140)

Salah satu keunikan buku ini, setiap awal bab dilengkapi ilustrasi dan puisi yang aduhai membuatku betah membacanya berulang-ulang. Salah satunya yang kutuliskan di atas, cocok untukku (mungkin juga kamu setelah membacanya), yang tidak akan lupa dengan kisah ini.
Dibuka dengan prolog yang memberi clue kepada pembaca, adanya setumpuk luka-kepedihan yang akan diurai satu persatu sepanjang cerita.

Tak ada apa-apa lagi yang dirasai oleh Gayatri selain rasa sakit di sekujur tubuhnya, selain pedih luka di hatinya.
Gayatri hanya ingin mati. (hal 3)

Melupakan sejenak teka-teki akan sosok Gayatri yang langsung menghentak di awal, kita diajak hanyut oleh perasaan cinta Giran yang teramat sangat dan dibahasakan si empunya cerita sedikit menggelitik.

Giran girang sendiri. Ia peluk bantal guling apek di sampingnya erat-erat, gemas. Sebelumnya tak pernah ada wanita yang hilir mudik segila ini di kepalanya. Dan entah mengapa fajar yang biasanya beku menjadi memanas karenyanya. (hal 19)

Andai penulis buku ini bukan lelaki, mungkin aku sedikit mempermasalahkan adegan privasi kaum adam yang digambarkan terang-terangan—tanpa canggung. Yang disebutnya ritual sakral. Ah, sudahlah. Ini hanya bentuk lain dari kekagumanku akan totalitas penulis menyuguhkan kisahnya. Sampai akar-akar serabutnya pun dibagikan. Hehehe ….

Tangan Giran meraih-raih ke atas nakas, mencari sesuatu demi meredakan akal sehatnya. Dan tanpa perlu beranjak dari pembaringan dekilnya, Giran mendapatkan apa yang dia cari; losion beraroma pinus. (hal 20)

Pagi yang agak muram itu pecah oleh lenguh Giran yang tertahan. Dan seperti biasa, usai melakukan sakral ritualnya tersebut, dia berbaring beberapa jenak, memasrahkan hormon oksitosin dan dopamine-nya untuk bekerja dalam tubuh. Karenanya, sensasi bagai di awang-awang dapat ia rasakan selama lima sampai sepuluh menit lagi. (hal 75)

Lupakan soal totalitas penulis yang diungkapkan dengan caranya sendiri. Bila kita sependapat, ini hanya satu dari sekian jebakan yang telah dipasangnya rapi-rapi dalam buku ini—sadis.
Dari awal seolah hanya Gayatri yang memendam lagu luka, tapi jika kita sama jeli, penulis telah membahasakan dengan cara teramat halus, bahwa sosok Giran pun tak kalah kacau. Ada sesuatu di masa lalunya, yang mungkin lebih pahit apapun yang kau nilai dari Gayatri.

Bagi Giran, hujan adalah bajingan yang paling pandai menghidupkan kenangan. Yang paling pandai mengobarkan memoar, mengulik cerita. Sebab dulu, dulu sekali, pernah tercium bau tanah basah dibasuh hujan yang sama, di kampungnya yang jauh, jauh sekali. (hal 79)

Sekali lagi, penulis sangat total menuhankan dirinya atas karyanya ini. Sampai-sampai ia menuliskan “Tuhan Maha Romantis” di halaman 90. Kenapa? Ah, rasanya tidak seru bila kupaparkan semuanya. Izinkan aku menyisakan ruang yang pada akhirnya mengundang minatmu untuk memiliki buku ini. Sejujurnya, andai aku punya hak untuk memaksa masing-masing orang, maka aku akan memaksamu membeli buku ini. Agar bukan hanya aku yang dikurang-ajarinya.
Aster pada judul sungguh bukan tempelan semata. Cerita ini akan cacat bila tanpa aster. Sebab aster tak lain adalah sosok tokoh utama perempuan kita, Gayatri.

“Akulah asternya,” bisik Gayatri sarat sakit hati. “Aku selalu mengerti kalau tiada seorang pun yang akan memilih aster di tengah rimbun mawar. Termasuk kau.” (hal 110)

Melupakan sejenak perih-luka yang dihidangkan penulis mentah-mentah, aku ingin mengenalkan sosok Rustam, yang aku suka karena hadirnya dalam cerita ini kembali mengingatkan, bahwa arti sahabat dalam hidup teramat penting. Dalam kisah ini, seorang sahabat kembali mengambil peran penting ketika tokoh utama kita tiba di puncak kerumitan.

“Aku benci menjadi orang miskin,” keluh Giran sembari tertawa getir. Namun, tawanya tak berlangsung lama, selembar uang biru bernilai lima puluh ribu disodorkan Rustam kepadanya.
“Utangku dulu. Kau pernah membayariku makan siang, ingat? Nah, nanti belilah bunga untuknya.”
Si Kampret ini ….
“Terima kasih, Tam! Terima kasih!”
Mana pernah aku membayarinya makan, pikir Giran, lalu melipat uang itu rapi-rapi kemudian memasukkannya ke dalam dompet lusuh yang jua pemberian Rustam. (hal 8)

“Aku mengenalnya seumur hidupku, Gayatri. Dia lebih dari sekadar sahabat bagiku. Aku mendengar apa-apa yang tak dia ucapkan. Aku merasa apa-apa yang dia sembunyikan. Dan jika kubilang dia membutuhkanmu, maka percayalah, dia membutuhkanmu lebih dan lebih lagi.” (hal 127)

Semakin jauh kita menikmati kisah ini, maka semakin lengkap pula kita merasa apa-apa yang ingin disampaikan penulis. Sesak di dada Giran, jua Gayatri, jangan heran bila berpindah di dadamu. Hingga tanpa sadar matamu berkaca-kaca, lalu berbisik lirih, ah, aku cengeng.

“Mungkin ilmu sabar telah kukhatamkan jauh-jauh hari. Namun ilmu ikhlas dan lupa, entah di mana dapat kubeli.” (hal 148)

Kutipan di atas seolah memutar lagu lama, betapa sulit melupakan hal-hal pahit dalam hidup. Terlebih kisah fiksi yang diramu sedemikian apik ini.
Dan betapa pun tampak eloknya hal-hal yang telah kubocorkan di atas, sungguh tak ada apa-apanya dengan apa yang akan kau temui di bagian epilog, dua lembar terakhir sebelum kisah ini berakhir. Ketika tokoh utama kita telah menemui akhir yang bisa disebut bahagia, rupanya masih ada satu hal besar lain yang belum diungkap. Sengaja disimpan rapi penulis untuk dijadikan bom yang meledak sempurna di akhir, membuat pembacanya sulit lupa. Apa itu? Jika penulis berpayah-payah menyimpannya sangat rapi, maka aku pun tidak akan membocorkannya di sini. rasanya terlalu lancang. Jika kau tak betah berteman penasaran, maka dengan mudahnya kau bisa menghubungi penerbit atau penulisnya, minta dikirimi sepaket kisah luar biasa ini, tentu saja setelah kau melakukan pembayaran. Hehehe ….

Telah kuserahkan
Pada semesta
Cerita-cerita patah hatiku

Dan telah kuserahkan
Padamu
Hati
Yang tak mau jua
Menanggalkan
Meninggalkan kenang-kenangan

Berbahagia sana, Mpret.
(hal 157)

Rabu, 07 Juni 2017

Review Novel: DCTN


Sebuah Melodi Cinta nan Melodius
By : Gita Fetty Utami

Judul                        : Dawai Cinta Tanpa Nada
Penulis                     : Ansar Siri
Penerbit                    : Mazaya Publishing House
Cetakan  Pertama   : Oktober 2016
Tebal Buku               : 278 halaman
ISBN                          : 978-602-6362-09-4

Novel perdana dari Ansar Siri ini 'eye-catching' dengan warna dominan merah muda. Ilustrasi kaver menggambarkan seorang lelaki duduk di bawah pohon ranggas, dan sebuah biola tergeletak di dekatnya. Ada tagline di bawah judul yaitu, "Ketika Tuhan menunjukkan akhir sebuah kisah yang dianggap usai". Mengundang rasa penasaran pembaca.

Alur ceritanya menggunakan alur campuran. Di bagian pertama pembaca langsung dikenalkan pada tokoh utama beserta awal kisah. Ketika memasuki konflik, penulis mengilas balik berbagai latar peristiwa. Perpindahannya cukup halus dan mengalir. Setting tempat di Jakarta dan seputar Bandung. Sementara latar waktu terbagi dua, masa lalu dan masa kini para tokoh.

Diceritakan Mia seorang gadis muda putri dari juru kunci sebuah pemakaman umum, bersua seorang violis muda bernama Dirga. Semua dimulai oleh alunan merdu  biola sang pemuda setiap ia menziarahi makam ayahnya. Tiap kali Mia mendengar lagu itu, jiwanya serasa ikut terbang bersama nada-nada syahdu. Hingga kemudian ia memberanikan diri untuk berkenalan langsung (halaman 2-3). "Desau angin, lambaian ilalang, bahkan derik daun gugur pun, semua serupa seruan kepada Mia untuk mengakhiri drama berkepanjangan. Ragu, tapi serupa ada kekuatan magis yang mampu menggerakkan seluruh anggota tubuh Mia ke arah pemuda berwajah teduh itu."

Jalan cerita selanjutnya, sepasang muda-mudi ini mulai menyimpan ketertarikan satu sama lain. Rasa yang membuat mereka menjadi lebih dekat untuk menyelami kehidupan masing-masing. Dirga menyimpan rahasia tentang ibu kandungnya. Yaitu sejak kematian ayahnya, sang ibu limbung secara kejiwaan sehingga harus dirawat di sebuah rumah sakit jiwa. Lalu untuk membiayai hidup dan pengobatan ibunya, ia melakoni kuliah sembari bekerja paruh waktu, memanfaatkan kemahirannya bermain biola (halaman 61-63). Mia sendiri seorang gadis piatu, membuatnya semakin bersimpati pada Dirga.

Dirga berencana menjelaskan perasaan hatinya pada Mia, sayang ia tak cukup berani mengungkapkannya. Hingga teguran seorang kawan dekatnya membulatkan tekad Dirga. Ia akan mengatakan cinta pada Mia usai  festival musik tingkat nasional (halaman 79). "Tubuhnya terasa lelah, tapi matanya enggan terpejam. Ia tak sabar menanti hari esok".

Namun sebuah ujian  memisahkan mereka, bahkan sebelum ada kepastian pernyataan cinta dari Dirga. Keluarga Andri Wijaya hadir membawa babak baru dalam kehidupan Mia (halaman 80). Andri seorang pengusaha ternama ibukota, di suatu hari yang nahas menabrak ayah Mia dalam ketergesaannya melaju ke kantor. Sungguh pun demikian, lelaki tersebut mau bertanggungjawab penuh atas pengobatan ayah Mia. Roda nasib Mia berputar ke arah yang tak disangka oleh gadis itu.

Lewat serangkaian keterlibatan Mia dengan keluarga Andri Wijaya, tanpa dinyana membuat putra sulung Andri jatuh hati pada sosok Mia. Pemuda yang selama dua tahun sebelumnya dilanda depresi berat akibat kematian tunangannya, berhasil pulih kembali berkat kehadiran Mia (halaman 177). "Aku tidak takut lagi mengejar kebahagiaanku, karena kebahagiaan itu sekarang ada di hadapanku. Jika memang harus ada Sandra yang lain, maka aku telah menemukannya. Aku merasa lahir kembali, dan aku ingin menjalani hari-hari baru bersamamu".

Mia terpojokkan. Dirga yang dinanti kepastiannya tak kunjung ada kabar berita. Sementara Andri Wijaya dan istrinya memohon agar Mia mau membuka hati untuk putra mereka. Seakan belum cukup, ayahnya sendiri cenderung berpihak pada keluarga Andri. Semua hal tersebut akhirnya membuat Mia menerima pinangan putra Andri Wijaya itu (halaman 200).

Berakhirkah kisah cinta Mia dan Dirga? Pada bagian kedua novel, pembaca akan menemukan kejutan sekaligus jawabannya. Sebuah ending yang membawa pencerahan.

Kekuatan utama novel ini terletak pada gaya bahasa Ansar Siri yang cenderung puitis. Misalkan pada halaman 63, "Waktu menyemir lembut kotak hari, beriringan mengitari poros bumi". Amat sesuai untuk novel bertema cinta seperti ini.

Sayangnya, setting tempat dan waktu kurang dieksplor lebih dalam. Sehingga pembaca dibuat meraba-raba, di Jakarta bagian mana peristiwa berlangsung. Serta tidak ada petunjuk mengenai tahun kejadian, yang sebetulnya bisa dikaitkan dengan mode yang berlaku di masyarakat saat itu.

Bagaimanapun  sebagai sebuah novel, Ansar Siri berhasil mencuatkan kemampuan menulisnya ke ranah publik. Pesan moral mengenai penerimaan takdir, berbakti kepada orang tua, bisa terserap oleh pembaca. Novel ini layak untuk dimiliki.(*)

C, 060617
#NulisRandom2017

Note: kabar terbaru dari Ansar Siri, akan segera terbit New DCTN. Layak ditunggu buat kamu yang mupeng ingin punya novel ini.😉

Senin, 05 Juni 2017

Review Novel: Klik & Klop




Judul                 : Klik & Klop

Penulis               : Rose Diana

Penerbit             : RWTC

Tebal                 : 228 hlm

ISBN                 : 978-602-60123-8-8

Jika Tuhan menakdirkan kita bersama, pasti akan tiba waktunya, tidak hari ini, mungkin suatu hari nanti.

BLURB
Hubungan persahabatan memang sangat sensitif. Terlebih lagi jika urusan cinta sudah memasuki hubungan itu. Dilema kerap menghampiri insan yang mengalaminya. Antara memilih persahabatan ataukah mempertahankan cinta dan perasaan. Meskipun itu bisa dilakukan secara bersamaan, idealnya mereka tidak mau mencampuradukkan keduanya.
Mita gadis periang, usia enam tahun pindah bersama orangtuanya. Di tempat tinggal barunya, ia mendapatkan seorang sahabat bernama Bayu. Mereka tumbuh dan menjadi dewasa bersama. Hubungan mereka terlalu dekat sehingga membuat orang lain menganggap mereka ada hubungan spesial.
Bagaimanakah kelanjutan cerita persahabatan mereka? Apakah mereka akan terlibat dengan urusan cinta?

Novel ringan dan alurnya tidak berbelit. Kisahnya bikin baper, terbawa suasana sampai mengkhayal punya pacar seperti Bayu.
(Chairitta – Frontliner)

Jika tidak bisa menciptakan yang baru, maka ciptakanlah yang berbeda. Rose, kamu berhasil Klik & Klop bisa menjadi inspirasi bahwa cerita klasik mampu menjadi menarik di tangan penulis hebat.
(Fajarsari – Novelis)

Secara tampilan novel ini unik, ukurannya tidak lazim. Dari judul ketahuan, bahwa penulis hendak menyuguhkan sesuatu yang simpel, ringan dan tidak menyita banyak pikiran ketika mengikuti kisahnya. Gambar amplop pada cover, juga sepeda di setiap nomor halaman dan judul bab serupa penanda, bahwa kisah ini identik dengan masa lalu, kenangan, serta rindu yang begitu kompak bikin baper pembacanya.
Tak ada hal baru dalam novel ini. Tema yang diangkat cukup umum. Namun justru di situlah letak kekagumanku terhadap penulis, berani mengolah kisah klasik dengan aroma kekinian, tentu saja dengan gaya tulisan yang khas. Kisah berpusat pada persahabatan Mita dan Bayu, hingga hadirnya Dila yang mengancam kedekatan mereka. Ini tentang persahabatan yang dihuni cinta, terbungkus oleh komitmen, serta rasa takut kehilangan yang lebih besar dari cinta itu sendiri. Ah, sepertinya rumit. Di sinilah peran batin dimulai.

“Ternyata benar, Adit memang menyukaiku. Mengapa ia pura-pura bercanda ketika aku menolaknya? Apakah dia hanya menutupi rasa kecewanya dariku? Ataukah dia tidak ingin aku merasa bersalah telah menolaknya? Adit, kamu begitu baik sekali, tetapi maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu, bukan karena aku tidak menyukaimu, tetapi takut kehilanganmu. Bagiku cinta dalam hubungan pacaran tidak tulus. Jika kamu memang benar-benar menyukaiku, tunggu aku hingga lulus kuliah, lalu nikahi aku. Jika tidak, kamu pasti sudah pacaran dengan gadis lain. Let’s see!” (hal 26)

Hampir tidak ada kejutan berarti dalam novel ini, kecuali perubahan sikap Bayu menjelang ending. Mungkin memang seperti itu konsep yang diusung penulis, konflik ringan dengan sesuatu yang berhasil dibangunnya untuk membuat pembaca betah. Salah satu kekuatan novel ini, setiap deskripsi kejadian dijabarkan sangat detail, setiap adegan terasa nyata. Namun saking detailnya, banyak terjadi pengulangan kata di beberapa bagian, serta kalimat-kalimat yang mungkin lebih menarik bila dipangkas.
Untuk kamu yang baper-an, sebaiknya berhati-hati dengan novel ini. Aku bukan tipe orang baper-an, tapi tak mampu mengelak di beberapa halaman menuju ending, ketika kenangan menjadi teman paling tepat untuk menampung gemuruh yang menghujam dada.

Kamar ini sudah banyak memberikan sejarah dalam hidupnya selama 23 tahun. Matanya terhenti pada foto yang tertempel di stereofoam. Deretan kenangan bersama lelaki yang selalu singgah di hatinya. Ia mendekati stereofoam dan mengusap foto lelaki itu. Foto kebersamaan mereka sejak masih kecil, belajar sepeda, ketika masih memakai seragam putih biru, putih abu-abu. Senyum tipisnya melengkung ketika melihat foto dengan wajah konyol. Ia mengusap lagi foto itu, tepat di wajah lelaki itu. “Aku akan selalu merindukanmu. Always,” lirihnya parau, “semoga kamu mau bersabar menungguku, seperti aku bersabar menunggumu,” Mita menitikkan air mata tanpa disadari. “I love you!” (hal 212)

Aku suka banget bagian epilog, kegelisahan memuncak, mencakar-cakar emosi. Di sini aku seolah berada di posisi Bayu, ikut merasakan, ketika apapun yang sudah diperjuangkan selama ini sepertinya sudah terlambat.

“Aku telat.” Lelaki itu melangkah gontai. Ia duduk di bangku besi yang merekam banyak kisah bersama Mita. Bayu menyapu sekeliling taman itu. Sepi. Bahkan pedagang es krim pun hanya duduk santai di dekat dagangannya. “Mita, bukankah kita mau makan es krim lagi? Kenapa kamu tidak mau menungguku? Di mana kamu, Mita? Aku sudah di sini, di tempat kenangan kita. Aku menunggumu.” (hal 222)

Namun, apakah Bayu benar-benar terlambat? Bagaimana mereka menjaga atau malah melepas perasaan yang terlanjur mengakar? Semua itu tentu saja tidak akan kubeberkan di sini. Silakan baca dan temukan sendiri jawabannya.

Berteman denganmu, aku nyaman
Jalan denganmu, aku merasa senang
Bercerita denganmu, aku merasa lega
Melihat senyummu, aku bahagia
Tanpa kamu, aku hampa
Tampaknya aku jatuh cinta padamu
(Bayu)

Aku mengenalmu sudah lama
Sejak kamu belum mengetahui apa itu cinta
Aku suka berteman denganmu, aku suka perhatianmu
Dengan kehadiranmu, aku merasa memiliki saudara
Kamu tahu aku anak tunggal, bukan?
Dengan menerimamu sebagai pacarku, aku takut
Aku takut kata putus akan mengecewakanmu
Aku takut, kamu membenciku
Aku takut tidak bisa melihat senyumanmu lagi
Aku takut tidak bisa lagi mendapatkan perhatianmu
Aku takut kehilanganmu
(Mita)