Rabu, 07 Juni 2017

Review Novel: DCTN


Sebuah Melodi Cinta nan Melodius
By : Gita Fetty Utami

Judul                        : Dawai Cinta Tanpa Nada
Penulis                     : Ansar Siri
Penerbit                    : Mazaya Publishing House
Cetakan  Pertama   : Oktober 2016
Tebal Buku               : 278 halaman
ISBN                          : 978-602-6362-09-4

Novel perdana dari Ansar Siri ini 'eye-catching' dengan warna dominan merah muda. Ilustrasi kaver menggambarkan seorang lelaki duduk di bawah pohon ranggas, dan sebuah biola tergeletak di dekatnya. Ada tagline di bawah judul yaitu, "Ketika Tuhan menunjukkan akhir sebuah kisah yang dianggap usai". Mengundang rasa penasaran pembaca.

Alur ceritanya menggunakan alur campuran. Di bagian pertama pembaca langsung dikenalkan pada tokoh utama beserta awal kisah. Ketika memasuki konflik, penulis mengilas balik berbagai latar peristiwa. Perpindahannya cukup halus dan mengalir. Setting tempat di Jakarta dan seputar Bandung. Sementara latar waktu terbagi dua, masa lalu dan masa kini para tokoh.

Diceritakan Mia seorang gadis muda putri dari juru kunci sebuah pemakaman umum, bersua seorang violis muda bernama Dirga. Semua dimulai oleh alunan merdu  biola sang pemuda setiap ia menziarahi makam ayahnya. Tiap kali Mia mendengar lagu itu, jiwanya serasa ikut terbang bersama nada-nada syahdu. Hingga kemudian ia memberanikan diri untuk berkenalan langsung (halaman 2-3). "Desau angin, lambaian ilalang, bahkan derik daun gugur pun, semua serupa seruan kepada Mia untuk mengakhiri drama berkepanjangan. Ragu, tapi serupa ada kekuatan magis yang mampu menggerakkan seluruh anggota tubuh Mia ke arah pemuda berwajah teduh itu."

Jalan cerita selanjutnya, sepasang muda-mudi ini mulai menyimpan ketertarikan satu sama lain. Rasa yang membuat mereka menjadi lebih dekat untuk menyelami kehidupan masing-masing. Dirga menyimpan rahasia tentang ibu kandungnya. Yaitu sejak kematian ayahnya, sang ibu limbung secara kejiwaan sehingga harus dirawat di sebuah rumah sakit jiwa. Lalu untuk membiayai hidup dan pengobatan ibunya, ia melakoni kuliah sembari bekerja paruh waktu, memanfaatkan kemahirannya bermain biola (halaman 61-63). Mia sendiri seorang gadis piatu, membuatnya semakin bersimpati pada Dirga.

Dirga berencana menjelaskan perasaan hatinya pada Mia, sayang ia tak cukup berani mengungkapkannya. Hingga teguran seorang kawan dekatnya membulatkan tekad Dirga. Ia akan mengatakan cinta pada Mia usai  festival musik tingkat nasional (halaman 79). "Tubuhnya terasa lelah, tapi matanya enggan terpejam. Ia tak sabar menanti hari esok".

Namun sebuah ujian  memisahkan mereka, bahkan sebelum ada kepastian pernyataan cinta dari Dirga. Keluarga Andri Wijaya hadir membawa babak baru dalam kehidupan Mia (halaman 80). Andri seorang pengusaha ternama ibukota, di suatu hari yang nahas menabrak ayah Mia dalam ketergesaannya melaju ke kantor. Sungguh pun demikian, lelaki tersebut mau bertanggungjawab penuh atas pengobatan ayah Mia. Roda nasib Mia berputar ke arah yang tak disangka oleh gadis itu.

Lewat serangkaian keterlibatan Mia dengan keluarga Andri Wijaya, tanpa dinyana membuat putra sulung Andri jatuh hati pada sosok Mia. Pemuda yang selama dua tahun sebelumnya dilanda depresi berat akibat kematian tunangannya, berhasil pulih kembali berkat kehadiran Mia (halaman 177). "Aku tidak takut lagi mengejar kebahagiaanku, karena kebahagiaan itu sekarang ada di hadapanku. Jika memang harus ada Sandra yang lain, maka aku telah menemukannya. Aku merasa lahir kembali, dan aku ingin menjalani hari-hari baru bersamamu".

Mia terpojokkan. Dirga yang dinanti kepastiannya tak kunjung ada kabar berita. Sementara Andri Wijaya dan istrinya memohon agar Mia mau membuka hati untuk putra mereka. Seakan belum cukup, ayahnya sendiri cenderung berpihak pada keluarga Andri. Semua hal tersebut akhirnya membuat Mia menerima pinangan putra Andri Wijaya itu (halaman 200).

Berakhirkah kisah cinta Mia dan Dirga? Pada bagian kedua novel, pembaca akan menemukan kejutan sekaligus jawabannya. Sebuah ending yang membawa pencerahan.

Kekuatan utama novel ini terletak pada gaya bahasa Ansar Siri yang cenderung puitis. Misalkan pada halaman 63, "Waktu menyemir lembut kotak hari, beriringan mengitari poros bumi". Amat sesuai untuk novel bertema cinta seperti ini.

Sayangnya, setting tempat dan waktu kurang dieksplor lebih dalam. Sehingga pembaca dibuat meraba-raba, di Jakarta bagian mana peristiwa berlangsung. Serta tidak ada petunjuk mengenai tahun kejadian, yang sebetulnya bisa dikaitkan dengan mode yang berlaku di masyarakat saat itu.

Bagaimanapun  sebagai sebuah novel, Ansar Siri berhasil mencuatkan kemampuan menulisnya ke ranah publik. Pesan moral mengenai penerimaan takdir, berbakti kepada orang tua, bisa terserap oleh pembaca. Novel ini layak untuk dimiliki.(*)

C, 060617
#NulisRandom2017

Note: kabar terbaru dari Ansar Siri, akan segera terbit New DCTN. Layak ditunggu buat kamu yang mupeng ingin punya novel ini.😉

Tidak ada komentar:

Posting Komentar