Judul : Klik & Klop
Penulis : Rose Diana
Penerbit : RWTC
Tebal : 228 hlm
ISBN : 978-602-60123-8-8
Jika Tuhan menakdirkan
kita bersama, pasti akan tiba waktunya, tidak hari ini, mungkin suatu hari
nanti.
BLURB
Hubungan persahabatan
memang sangat sensitif. Terlebih lagi jika urusan cinta sudah memasuki hubungan
itu. Dilema kerap menghampiri insan yang mengalaminya. Antara memilih
persahabatan ataukah mempertahankan cinta dan perasaan. Meskipun itu bisa
dilakukan secara bersamaan, idealnya mereka tidak mau mencampuradukkan
keduanya.
Mita gadis periang,
usia enam tahun pindah bersama orangtuanya. Di tempat tinggal barunya, ia
mendapatkan seorang sahabat bernama Bayu. Mereka tumbuh dan menjadi dewasa
bersama. Hubungan mereka terlalu dekat sehingga membuat orang lain menganggap
mereka ada hubungan spesial.
Bagaimanakah
kelanjutan cerita persahabatan mereka? Apakah mereka akan terlibat dengan
urusan cinta?
Novel ringan dan
alurnya tidak berbelit. Kisahnya bikin baper, terbawa suasana sampai mengkhayal
punya pacar seperti Bayu.
(Chairitta – Frontliner)
Jika tidak bisa
menciptakan yang baru, maka ciptakanlah yang berbeda. Rose, kamu berhasil Klik
& Klop bisa menjadi inspirasi bahwa cerita klasik mampu menjadi menarik di
tangan penulis hebat.
(Fajarsari – Novelis)
Secara tampilan
novel ini unik, ukurannya tidak lazim. Dari judul ketahuan, bahwa penulis
hendak menyuguhkan sesuatu yang simpel, ringan dan tidak menyita banyak pikiran
ketika mengikuti kisahnya. Gambar amplop pada cover, juga sepeda di setiap nomor
halaman dan judul bab serupa penanda, bahwa kisah ini identik dengan masa lalu,
kenangan, serta rindu yang begitu kompak bikin baper pembacanya.
Tak ada hal
baru dalam novel ini. Tema yang diangkat cukup umum. Namun justru di situlah
letak kekagumanku terhadap penulis, berani mengolah kisah klasik dengan
aroma kekinian, tentu saja dengan gaya tulisan yang khas. Kisah berpusat pada
persahabatan Mita dan Bayu, hingga hadirnya Dila yang mengancam kedekatan
mereka. Ini tentang persahabatan yang dihuni cinta, terbungkus oleh komitmen,
serta rasa takut kehilangan yang lebih besar dari cinta itu sendiri. Ah,
sepertinya rumit. Di sinilah peran batin dimulai.
“Ternyata benar, Adit memang menyukaiku.
Mengapa ia pura-pura bercanda ketika aku menolaknya? Apakah dia hanya menutupi
rasa kecewanya dariku? Ataukah dia tidak ingin aku merasa bersalah telah
menolaknya? Adit, kamu begitu baik sekali, tetapi maaf, aku tidak bisa membalas
perasaanmu, bukan karena aku tidak menyukaimu, tetapi takut kehilanganmu.
Bagiku cinta dalam hubungan pacaran tidak tulus. Jika kamu memang benar-benar
menyukaiku, tunggu aku hingga lulus kuliah, lalu nikahi aku. Jika tidak, kamu
pasti sudah pacaran dengan gadis lain. Let’s see!” (hal 26)
Hampir tidak
ada kejutan berarti dalam novel ini, kecuali perubahan sikap Bayu menjelang
ending. Mungkin memang seperti itu konsep yang diusung penulis, konflik ringan dengan
sesuatu yang berhasil dibangunnya untuk membuat pembaca betah. Salah satu
kekuatan novel ini, setiap deskripsi kejadian dijabarkan sangat detail, setiap
adegan terasa nyata. Namun saking detailnya, banyak terjadi pengulangan kata di
beberapa bagian, serta kalimat-kalimat yang mungkin lebih menarik bila
dipangkas.
Untuk kamu yang
baper-an, sebaiknya berhati-hati dengan novel ini. Aku bukan tipe orang baper-an,
tapi tak mampu mengelak di beberapa halaman menuju ending, ketika kenangan
menjadi teman paling tepat untuk menampung gemuruh yang menghujam dada.
Kamar ini sudah banyak memberikan sejarah
dalam hidupnya selama 23 tahun. Matanya terhenti pada foto yang tertempel di
stereofoam. Deretan kenangan bersama lelaki yang selalu singgah di hatinya. Ia
mendekati stereofoam dan mengusap foto lelaki itu. Foto kebersamaan mereka
sejak masih kecil, belajar sepeda, ketika masih memakai seragam putih biru,
putih abu-abu. Senyum tipisnya melengkung ketika melihat foto dengan wajah
konyol. Ia mengusap lagi foto itu, tepat di wajah lelaki itu. “Aku akan selalu
merindukanmu. Always,” lirihnya parau, “semoga kamu mau bersabar menungguku,
seperti aku bersabar menunggumu,” Mita menitikkan air mata tanpa disadari. “I
love you!” (hal 212)
Aku suka banget
bagian epilog, kegelisahan memuncak, mencakar-cakar emosi. Di sini aku seolah
berada di posisi Bayu, ikut merasakan, ketika apapun yang sudah diperjuangkan
selama ini sepertinya sudah terlambat.
“Aku telat.” Lelaki itu melangkah gontai. Ia
duduk di bangku besi yang merekam banyak kisah bersama Mita. Bayu menyapu
sekeliling taman itu. Sepi. Bahkan pedagang es krim pun hanya duduk santai di
dekat dagangannya. “Mita, bukankah kita mau makan es krim lagi? Kenapa kamu
tidak mau menungguku? Di mana kamu, Mita? Aku sudah di sini, di tempat kenangan
kita. Aku menunggumu.” (hal 222)
Namun, apakah
Bayu benar-benar terlambat? Bagaimana mereka menjaga atau malah melepas
perasaan yang terlanjur mengakar? Semua itu tentu saja tidak akan kubeberkan di
sini. Silakan baca dan temukan sendiri jawabannya.
Berteman denganmu, aku
nyaman
Jalan denganmu, aku
merasa senang
Bercerita denganmu,
aku merasa lega
Melihat senyummu, aku
bahagia
Tanpa kamu, aku hampa
Tampaknya aku jatuh
cinta padamu
(Bayu)
Aku mengenalmu sudah
lama
Sejak kamu belum
mengetahui apa itu cinta
Aku suka berteman
denganmu, aku suka perhatianmu
Dengan kehadiranmu,
aku merasa memiliki saudara
Kamu tahu aku anak
tunggal, bukan?
Dengan menerimamu
sebagai pacarku, aku takut
Aku takut kata putus
akan mengecewakanmu
Aku takut, kamu
membenciku
Aku takut tidak bisa
melihat senyumanmu lagi
Aku takut tidak bisa
lagi mendapatkan perhatianmu
Aku takut kehilanganmu
(Mita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar