Senin, 05 Juni 2017

Review Novel: Klik & Klop




Judul                 : Klik & Klop

Penulis               : Rose Diana

Penerbit             : RWTC

Tebal                 : 228 hlm

ISBN                 : 978-602-60123-8-8

Jika Tuhan menakdirkan kita bersama, pasti akan tiba waktunya, tidak hari ini, mungkin suatu hari nanti.

BLURB
Hubungan persahabatan memang sangat sensitif. Terlebih lagi jika urusan cinta sudah memasuki hubungan itu. Dilema kerap menghampiri insan yang mengalaminya. Antara memilih persahabatan ataukah mempertahankan cinta dan perasaan. Meskipun itu bisa dilakukan secara bersamaan, idealnya mereka tidak mau mencampuradukkan keduanya.
Mita gadis periang, usia enam tahun pindah bersama orangtuanya. Di tempat tinggal barunya, ia mendapatkan seorang sahabat bernama Bayu. Mereka tumbuh dan menjadi dewasa bersama. Hubungan mereka terlalu dekat sehingga membuat orang lain menganggap mereka ada hubungan spesial.
Bagaimanakah kelanjutan cerita persahabatan mereka? Apakah mereka akan terlibat dengan urusan cinta?

Novel ringan dan alurnya tidak berbelit. Kisahnya bikin baper, terbawa suasana sampai mengkhayal punya pacar seperti Bayu.
(Chairitta – Frontliner)

Jika tidak bisa menciptakan yang baru, maka ciptakanlah yang berbeda. Rose, kamu berhasil Klik & Klop bisa menjadi inspirasi bahwa cerita klasik mampu menjadi menarik di tangan penulis hebat.
(Fajarsari – Novelis)

Secara tampilan novel ini unik, ukurannya tidak lazim. Dari judul ketahuan, bahwa penulis hendak menyuguhkan sesuatu yang simpel, ringan dan tidak menyita banyak pikiran ketika mengikuti kisahnya. Gambar amplop pada cover, juga sepeda di setiap nomor halaman dan judul bab serupa penanda, bahwa kisah ini identik dengan masa lalu, kenangan, serta rindu yang begitu kompak bikin baper pembacanya.
Tak ada hal baru dalam novel ini. Tema yang diangkat cukup umum. Namun justru di situlah letak kekagumanku terhadap penulis, berani mengolah kisah klasik dengan aroma kekinian, tentu saja dengan gaya tulisan yang khas. Kisah berpusat pada persahabatan Mita dan Bayu, hingga hadirnya Dila yang mengancam kedekatan mereka. Ini tentang persahabatan yang dihuni cinta, terbungkus oleh komitmen, serta rasa takut kehilangan yang lebih besar dari cinta itu sendiri. Ah, sepertinya rumit. Di sinilah peran batin dimulai.

“Ternyata benar, Adit memang menyukaiku. Mengapa ia pura-pura bercanda ketika aku menolaknya? Apakah dia hanya menutupi rasa kecewanya dariku? Ataukah dia tidak ingin aku merasa bersalah telah menolaknya? Adit, kamu begitu baik sekali, tetapi maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu, bukan karena aku tidak menyukaimu, tetapi takut kehilanganmu. Bagiku cinta dalam hubungan pacaran tidak tulus. Jika kamu memang benar-benar menyukaiku, tunggu aku hingga lulus kuliah, lalu nikahi aku. Jika tidak, kamu pasti sudah pacaran dengan gadis lain. Let’s see!” (hal 26)

Hampir tidak ada kejutan berarti dalam novel ini, kecuali perubahan sikap Bayu menjelang ending. Mungkin memang seperti itu konsep yang diusung penulis, konflik ringan dengan sesuatu yang berhasil dibangunnya untuk membuat pembaca betah. Salah satu kekuatan novel ini, setiap deskripsi kejadian dijabarkan sangat detail, setiap adegan terasa nyata. Namun saking detailnya, banyak terjadi pengulangan kata di beberapa bagian, serta kalimat-kalimat yang mungkin lebih menarik bila dipangkas.
Untuk kamu yang baper-an, sebaiknya berhati-hati dengan novel ini. Aku bukan tipe orang baper-an, tapi tak mampu mengelak di beberapa halaman menuju ending, ketika kenangan menjadi teman paling tepat untuk menampung gemuruh yang menghujam dada.

Kamar ini sudah banyak memberikan sejarah dalam hidupnya selama 23 tahun. Matanya terhenti pada foto yang tertempel di stereofoam. Deretan kenangan bersama lelaki yang selalu singgah di hatinya. Ia mendekati stereofoam dan mengusap foto lelaki itu. Foto kebersamaan mereka sejak masih kecil, belajar sepeda, ketika masih memakai seragam putih biru, putih abu-abu. Senyum tipisnya melengkung ketika melihat foto dengan wajah konyol. Ia mengusap lagi foto itu, tepat di wajah lelaki itu. “Aku akan selalu merindukanmu. Always,” lirihnya parau, “semoga kamu mau bersabar menungguku, seperti aku bersabar menunggumu,” Mita menitikkan air mata tanpa disadari. “I love you!” (hal 212)

Aku suka banget bagian epilog, kegelisahan memuncak, mencakar-cakar emosi. Di sini aku seolah berada di posisi Bayu, ikut merasakan, ketika apapun yang sudah diperjuangkan selama ini sepertinya sudah terlambat.

“Aku telat.” Lelaki itu melangkah gontai. Ia duduk di bangku besi yang merekam banyak kisah bersama Mita. Bayu menyapu sekeliling taman itu. Sepi. Bahkan pedagang es krim pun hanya duduk santai di dekat dagangannya. “Mita, bukankah kita mau makan es krim lagi? Kenapa kamu tidak mau menungguku? Di mana kamu, Mita? Aku sudah di sini, di tempat kenangan kita. Aku menunggumu.” (hal 222)

Namun, apakah Bayu benar-benar terlambat? Bagaimana mereka menjaga atau malah melepas perasaan yang terlanjur mengakar? Semua itu tentu saja tidak akan kubeberkan di sini. Silakan baca dan temukan sendiri jawabannya.

Berteman denganmu, aku nyaman
Jalan denganmu, aku merasa senang
Bercerita denganmu, aku merasa lega
Melihat senyummu, aku bahagia
Tanpa kamu, aku hampa
Tampaknya aku jatuh cinta padamu
(Bayu)

Aku mengenalmu sudah lama
Sejak kamu belum mengetahui apa itu cinta
Aku suka berteman denganmu, aku suka perhatianmu
Dengan kehadiranmu, aku merasa memiliki saudara
Kamu tahu aku anak tunggal, bukan?
Dengan menerimamu sebagai pacarku, aku takut
Aku takut kata putus akan mengecewakanmu
Aku takut, kamu membenciku
Aku takut tidak bisa melihat senyumanmu lagi
Aku takut tidak bisa lagi mendapatkan perhatianmu
Aku takut kehilanganmu
(Mita)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar