Judul : Aster untuk Gayatri
Penulis : Irfan Rizky
Penerbit : Mazaya Publishing House
Tebal : 160 hlm
ISBN : 978-602-6362-35-3
BLURB
Telah kularungkan
Kepada Gayatri
Tiap-tiap kesedihan
Jua
Perih-pedih
Masa lampau
Dan telah kuwariskan
Kepada Giran
Cerita-cerita luka
Tentang rindu
Yang
Dipandanginya lama-lama
Pun telah kuhidangkan
Kepada kamu
Seorang
Kisah-kisah tentang
Apa-apa
Yang harusnya
Ada
Dan apa-apa
Yang mestinya
Tiada
Buku ini teramat kurang ajar membuatku berkaca-kaca,
menjadi cengeng. Penulis begitu pandai meracik bait-bait luka menjadi sesuatu
yang patut kau sesapi hingga akhir—walau perih. Kisah Giran-Gayatri masih mengangah
di kepala hingga saat ini, entah sampai kapan.
Langit dan laut bersatu
Pada ujung-ujung yang
matamu-mataku
Cerminkan duka-duka
serta
Kenangan-kenangan baik
Kisah ini pun mendekati
ujungnya-ujungmu
Aku? Biar saja. Toh kamu
tak pernah benar-benar mengerti.
Hanya satu yang kusesali;
Aku lupa bertanya; cara
tercepat melupakanmu.
(hal 140)
Salah satu
keunikan buku ini, setiap awal bab dilengkapi ilustrasi dan puisi yang aduhai
membuatku betah membacanya berulang-ulang. Salah satunya yang kutuliskan di
atas, cocok untukku (mungkin juga kamu setelah membacanya), yang tidak akan
lupa dengan kisah ini.
Dibuka dengan
prolog yang memberi clue kepada pembaca, adanya setumpuk luka-kepedihan yang
akan diurai satu persatu sepanjang cerita.
Tak ada apa-apa lagi yang dirasai oleh Gayatri
selain rasa sakit di sekujur tubuhnya, selain pedih luka di hatinya.
Gayatri hanya ingin mati. (hal 3)
Melupakan sejenak
teka-teki akan sosok Gayatri yang langsung menghentak di awal, kita diajak
hanyut oleh perasaan cinta Giran yang teramat sangat dan dibahasakan si empunya
cerita sedikit menggelitik.
Giran girang sendiri. Ia peluk bantal guling
apek di sampingnya erat-erat, gemas. Sebelumnya tak pernah ada wanita yang
hilir mudik segila ini di kepalanya. Dan entah mengapa fajar yang biasanya beku
menjadi memanas karenyanya. (hal 19)
Andai penulis
buku ini bukan lelaki, mungkin aku
sedikit mempermasalahkan adegan privasi kaum adam yang digambarkan
terang-terangan—tanpa canggung. Yang disebutnya ritual sakral. Ah, sudahlah. Ini
hanya bentuk lain dari kekagumanku akan totalitas penulis menyuguhkan kisahnya.
Sampai akar-akar serabutnya pun dibagikan. Hehehe
….
Tangan Giran meraih-raih ke atas nakas,
mencari sesuatu demi meredakan akal sehatnya. Dan tanpa perlu beranjak dari
pembaringan dekilnya, Giran mendapatkan apa yang dia cari; losion beraroma
pinus. (hal 20)
Pagi yang agak muram itu pecah oleh lenguh
Giran yang tertahan. Dan seperti biasa, usai melakukan sakral ritualnya
tersebut, dia berbaring beberapa jenak, memasrahkan hormon oksitosin dan
dopamine-nya untuk bekerja dalam tubuh. Karenanya, sensasi bagai di awang-awang
dapat ia rasakan selama lima sampai sepuluh menit lagi. (hal 75)
Lupakan soal
totalitas penulis yang diungkapkan dengan caranya sendiri. Bila kita
sependapat, ini hanya satu dari sekian jebakan yang telah dipasangnya rapi-rapi
dalam buku ini—sadis.
Dari awal seolah
hanya Gayatri yang memendam lagu luka, tapi jika kita sama jeli, penulis telah
membahasakan dengan cara teramat halus, bahwa sosok Giran pun tak kalah kacau. Ada
sesuatu di masa lalunya, yang mungkin lebih pahit apapun yang kau nilai dari
Gayatri.
Bagi Giran, hujan adalah bajingan yang
paling pandai menghidupkan kenangan. Yang paling pandai mengobarkan memoar,
mengulik cerita. Sebab dulu, dulu sekali, pernah tercium bau tanah basah
dibasuh hujan yang sama, di kampungnya yang jauh, jauh sekali. (hal 79)
Sekali lagi,
penulis sangat total menuhankan dirinya atas karyanya ini. Sampai-sampai ia
menuliskan “Tuhan Maha Romantis” di
halaman 90. Kenapa? Ah, rasanya tidak seru bila kupaparkan semuanya. Izinkan aku
menyisakan ruang yang pada akhirnya mengundang minatmu untuk memiliki buku ini.
Sejujurnya, andai aku punya hak untuk memaksa masing-masing orang, maka aku
akan memaksamu membeli buku ini. Agar bukan hanya aku yang dikurang-ajarinya.
Aster pada judul
sungguh bukan tempelan semata. Cerita ini akan cacat bila tanpa aster. Sebab aster
tak lain adalah sosok tokoh utama perempuan kita, Gayatri.
“Akulah asternya,” bisik Gayatri sarat sakit
hati. “Aku selalu mengerti kalau tiada seorang pun yang akan memilih aster di
tengah rimbun mawar. Termasuk kau.” (hal 110)
Melupakan sejenak
perih-luka yang dihidangkan penulis mentah-mentah, aku ingin mengenalkan sosok
Rustam, yang aku suka karena hadirnya dalam cerita ini kembali mengingatkan,
bahwa arti sahabat dalam hidup teramat penting. Dalam kisah ini, seorang
sahabat kembali mengambil peran penting ketika tokoh utama kita tiba di puncak
kerumitan.
“Aku benci menjadi orang miskin,” keluh
Giran sembari tertawa getir. Namun, tawanya tak berlangsung lama, selembar uang
biru bernilai lima puluh ribu disodorkan Rustam kepadanya.
“Utangku dulu. Kau pernah membayariku makan
siang, ingat? Nah, nanti belilah bunga untuknya.”
Si Kampret ini ….
“Terima kasih, Tam! Terima kasih!”
Mana pernah aku membayarinya makan, pikir
Giran, lalu melipat uang itu rapi-rapi kemudian memasukkannya ke dalam dompet
lusuh yang jua pemberian Rustam. (hal 8)
“Aku mengenalnya seumur hidupku, Gayatri. Dia
lebih dari sekadar sahabat bagiku. Aku mendengar apa-apa yang tak dia ucapkan. Aku
merasa apa-apa yang dia sembunyikan. Dan jika kubilang dia membutuhkanmu, maka
percayalah, dia membutuhkanmu lebih dan lebih lagi.” (hal 127)
Semakin jauh kita
menikmati kisah ini, maka semakin lengkap pula kita merasa apa-apa yang ingin
disampaikan penulis. Sesak di dada Giran, jua Gayatri, jangan heran bila
berpindah di dadamu. Hingga tanpa sadar matamu berkaca-kaca, lalu berbisik
lirih, ah, aku cengeng.
“Mungkin ilmu sabar telah kukhatamkan
jauh-jauh hari. Namun ilmu ikhlas dan lupa, entah di mana dapat kubeli.” (hal
148)
Kutipan di atas
seolah memutar lagu lama, betapa sulit melupakan hal-hal pahit dalam hidup. Terlebih
kisah fiksi yang diramu sedemikian apik ini.
Dan betapa pun tampak
eloknya hal-hal yang telah kubocorkan di atas, sungguh tak ada apa-apanya
dengan apa yang akan kau temui di bagian epilog, dua lembar terakhir sebelum
kisah ini berakhir. Ketika tokoh utama kita telah menemui akhir yang bisa
disebut bahagia, rupanya masih ada satu hal besar lain yang belum diungkap. Sengaja
disimpan rapi penulis untuk dijadikan bom yang meledak sempurna di akhir,
membuat pembacanya sulit lupa. Apa itu? Jika penulis berpayah-payah
menyimpannya sangat rapi, maka aku pun tidak akan membocorkannya di sini.
rasanya terlalu lancang. Jika kau tak
betah berteman penasaran, maka dengan mudahnya kau bisa menghubungi penerbit
atau penulisnya, minta dikirimi sepaket kisah luar biasa ini, tentu saja
setelah kau melakukan pembayaran. Hehehe ….
Telah kuserahkan
Pada semesta
Cerita-cerita patah
hatiku
Dan telah kuserahkan
Padamu
Hati
Yang tak mau jua
Menanggalkan
Meninggalkan kenang-kenangan
Berbahagia sana, Mpret.
(hal 157)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar