Rabu, 14 Juni 2017

Review Novel: Aster untuk Gayatri




Judul             : Aster untuk Gayatri

Penulis          : Irfan Rizky

Penerbit        : Mazaya Publishing House

Tebal             : 160 hlm

ISBN            : 978-602-6362-35-3

BLURB
Telah kularungkan
Kepada Gayatri
Tiap-tiap kesedihan
Jua
Perih-pedih
Masa lampau

Dan telah kuwariskan
Kepada Giran
Cerita-cerita luka
Tentang rindu
Yang
Dipandanginya lama-lama

Pun telah kuhidangkan
Kepada kamu
Seorang
Kisah-kisah tentang
Apa-apa
Yang harusnya
Ada
Dan apa-apa
Yang mestinya
Tiada

Buku ini teramat kurang ajar membuatku berkaca-kaca, menjadi cengeng. Penulis begitu pandai meracik bait-bait luka menjadi sesuatu yang patut kau sesapi hingga akhir—walau perih. Kisah Giran-Gayatri masih mengangah di kepala hingga saat ini, entah sampai kapan.

Langit dan laut bersatu
Pada ujung-ujung yang matamu-mataku
Cerminkan duka-duka serta
Kenangan-kenangan baik

Kisah ini pun mendekati ujungnya-ujungmu
Aku? Biar saja. Toh kamu tak pernah benar-benar mengerti.

Hanya satu yang kusesali;
Aku lupa bertanya; cara tercepat melupakanmu.
(hal 140)

Salah satu keunikan buku ini, setiap awal bab dilengkapi ilustrasi dan puisi yang aduhai membuatku betah membacanya berulang-ulang. Salah satunya yang kutuliskan di atas, cocok untukku (mungkin juga kamu setelah membacanya), yang tidak akan lupa dengan kisah ini.
Dibuka dengan prolog yang memberi clue kepada pembaca, adanya setumpuk luka-kepedihan yang akan diurai satu persatu sepanjang cerita.

Tak ada apa-apa lagi yang dirasai oleh Gayatri selain rasa sakit di sekujur tubuhnya, selain pedih luka di hatinya.
Gayatri hanya ingin mati. (hal 3)

Melupakan sejenak teka-teki akan sosok Gayatri yang langsung menghentak di awal, kita diajak hanyut oleh perasaan cinta Giran yang teramat sangat dan dibahasakan si empunya cerita sedikit menggelitik.

Giran girang sendiri. Ia peluk bantal guling apek di sampingnya erat-erat, gemas. Sebelumnya tak pernah ada wanita yang hilir mudik segila ini di kepalanya. Dan entah mengapa fajar yang biasanya beku menjadi memanas karenyanya. (hal 19)

Andai penulis buku ini bukan lelaki, mungkin aku sedikit mempermasalahkan adegan privasi kaum adam yang digambarkan terang-terangan—tanpa canggung. Yang disebutnya ritual sakral. Ah, sudahlah. Ini hanya bentuk lain dari kekagumanku akan totalitas penulis menyuguhkan kisahnya. Sampai akar-akar serabutnya pun dibagikan. Hehehe ….

Tangan Giran meraih-raih ke atas nakas, mencari sesuatu demi meredakan akal sehatnya. Dan tanpa perlu beranjak dari pembaringan dekilnya, Giran mendapatkan apa yang dia cari; losion beraroma pinus. (hal 20)

Pagi yang agak muram itu pecah oleh lenguh Giran yang tertahan. Dan seperti biasa, usai melakukan sakral ritualnya tersebut, dia berbaring beberapa jenak, memasrahkan hormon oksitosin dan dopamine-nya untuk bekerja dalam tubuh. Karenanya, sensasi bagai di awang-awang dapat ia rasakan selama lima sampai sepuluh menit lagi. (hal 75)

Lupakan soal totalitas penulis yang diungkapkan dengan caranya sendiri. Bila kita sependapat, ini hanya satu dari sekian jebakan yang telah dipasangnya rapi-rapi dalam buku ini—sadis.
Dari awal seolah hanya Gayatri yang memendam lagu luka, tapi jika kita sama jeli, penulis telah membahasakan dengan cara teramat halus, bahwa sosok Giran pun tak kalah kacau. Ada sesuatu di masa lalunya, yang mungkin lebih pahit apapun yang kau nilai dari Gayatri.

Bagi Giran, hujan adalah bajingan yang paling pandai menghidupkan kenangan. Yang paling pandai mengobarkan memoar, mengulik cerita. Sebab dulu, dulu sekali, pernah tercium bau tanah basah dibasuh hujan yang sama, di kampungnya yang jauh, jauh sekali. (hal 79)

Sekali lagi, penulis sangat total menuhankan dirinya atas karyanya ini. Sampai-sampai ia menuliskan “Tuhan Maha Romantis” di halaman 90. Kenapa? Ah, rasanya tidak seru bila kupaparkan semuanya. Izinkan aku menyisakan ruang yang pada akhirnya mengundang minatmu untuk memiliki buku ini. Sejujurnya, andai aku punya hak untuk memaksa masing-masing orang, maka aku akan memaksamu membeli buku ini. Agar bukan hanya aku yang dikurang-ajarinya.
Aster pada judul sungguh bukan tempelan semata. Cerita ini akan cacat bila tanpa aster. Sebab aster tak lain adalah sosok tokoh utama perempuan kita, Gayatri.

“Akulah asternya,” bisik Gayatri sarat sakit hati. “Aku selalu mengerti kalau tiada seorang pun yang akan memilih aster di tengah rimbun mawar. Termasuk kau.” (hal 110)

Melupakan sejenak perih-luka yang dihidangkan penulis mentah-mentah, aku ingin mengenalkan sosok Rustam, yang aku suka karena hadirnya dalam cerita ini kembali mengingatkan, bahwa arti sahabat dalam hidup teramat penting. Dalam kisah ini, seorang sahabat kembali mengambil peran penting ketika tokoh utama kita tiba di puncak kerumitan.

“Aku benci menjadi orang miskin,” keluh Giran sembari tertawa getir. Namun, tawanya tak berlangsung lama, selembar uang biru bernilai lima puluh ribu disodorkan Rustam kepadanya.
“Utangku dulu. Kau pernah membayariku makan siang, ingat? Nah, nanti belilah bunga untuknya.”
Si Kampret ini ….
“Terima kasih, Tam! Terima kasih!”
Mana pernah aku membayarinya makan, pikir Giran, lalu melipat uang itu rapi-rapi kemudian memasukkannya ke dalam dompet lusuh yang jua pemberian Rustam. (hal 8)

“Aku mengenalnya seumur hidupku, Gayatri. Dia lebih dari sekadar sahabat bagiku. Aku mendengar apa-apa yang tak dia ucapkan. Aku merasa apa-apa yang dia sembunyikan. Dan jika kubilang dia membutuhkanmu, maka percayalah, dia membutuhkanmu lebih dan lebih lagi.” (hal 127)

Semakin jauh kita menikmati kisah ini, maka semakin lengkap pula kita merasa apa-apa yang ingin disampaikan penulis. Sesak di dada Giran, jua Gayatri, jangan heran bila berpindah di dadamu. Hingga tanpa sadar matamu berkaca-kaca, lalu berbisik lirih, ah, aku cengeng.

“Mungkin ilmu sabar telah kukhatamkan jauh-jauh hari. Namun ilmu ikhlas dan lupa, entah di mana dapat kubeli.” (hal 148)

Kutipan di atas seolah memutar lagu lama, betapa sulit melupakan hal-hal pahit dalam hidup. Terlebih kisah fiksi yang diramu sedemikian apik ini.
Dan betapa pun tampak eloknya hal-hal yang telah kubocorkan di atas, sungguh tak ada apa-apanya dengan apa yang akan kau temui di bagian epilog, dua lembar terakhir sebelum kisah ini berakhir. Ketika tokoh utama kita telah menemui akhir yang bisa disebut bahagia, rupanya masih ada satu hal besar lain yang belum diungkap. Sengaja disimpan rapi penulis untuk dijadikan bom yang meledak sempurna di akhir, membuat pembacanya sulit lupa. Apa itu? Jika penulis berpayah-payah menyimpannya sangat rapi, maka aku pun tidak akan membocorkannya di sini. rasanya terlalu lancang. Jika kau tak betah berteman penasaran, maka dengan mudahnya kau bisa menghubungi penerbit atau penulisnya, minta dikirimi sepaket kisah luar biasa ini, tentu saja setelah kau melakukan pembayaran. Hehehe ….

Telah kuserahkan
Pada semesta
Cerita-cerita patah hatiku

Dan telah kuserahkan
Padamu
Hati
Yang tak mau jua
Menanggalkan
Meninggalkan kenang-kenangan

Berbahagia sana, Mpret.
(hal 157)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar