Selasa, 20 Juni 2017

Review Kumcer: Menghimpun Butir Waktu




Judul             : Menghimpun Butir Waktu

Penulis          : Pangerang P. Muda

Penerbit        : LovRinz Publishing

Tebal             : 248 hlm

ISBN            : 978-602-6652-26-3

Cerpen-cerpen Pangerang P. Muda sudah kuat sejak gagasan. Ia bukan sekadar menulis tema cinta kaum remaja, tetapi di dalamnya terkandung hubungan anak dan orang tua, bahkan sejarah dan rahasia. Gaya ungkapnya serupa sungai di pegunungan: mengalir lancar dan memercik segar. Kejutan di letakkan di berbagai tempat untuk membangun cerita sehingga pembaca terjerat sampai akhir.
(Kurnia Effendi, penulis cerpen dan puisi)

Saya membaca kumpulan cerpen Menghimpun Butir Waktu & Sehimpun Cerita lainnya dengan perasaan nyaman. Cerita ditulis dengan bahasa yang rapi dan indah. Hubungan percintaan antar tokoh di beberapa cerpen ditulis dengan paparan yang menyenangkan dan bikin hanyut.
Tidak hanya mengenai percintaan, beberapa cerpen bercerita tentang hubungan keluarga, juga beberapa cerpen berlatar misteri. Namun, semuanya tetap dikemas manis, khas cerpen remaja.
Dengan lembut dan manis, Pangerang P. Muda mengajak kita merayakan cinta dengan bersahaja.
(Palris Jaya, penulis cerpen)

Dear kamu,
Telah kujanjikan padamu banyak cerita, bahkan kamu bilang, kalau bisa sampai pada seribu satu cerita.
Sehimpun di antaranya ada di sini: cerita tentang teman-temanmu, keluargamu, tetanggamu, kenalanmu, juga cerita tentangmu.
Mulailah membacanya ….
(hal 1)

Sehimpun cerita dalam buku ini pernah tayang di majalah ANITA Cemerlang periode 1988-1997. Artinya, keseluruhan cerpen secara kualitas tidak diragukan lagi. Maka jangan heran, begitu mulai membaca, kau seolah menemukan pemanis yang meminta keikhlasanmu untuk mencecap hingga akhir. Secara konsep buku ini sangat matang, terbukti dengan munculnya tiga pembagian yang mengatasnamakan cinta, misteri, dan keluarga sebagai elemen utama. Saya rasa penulis juga sengaja menyusun cerpen berdasarkan kekuatan. Jadi semakin ke belakang semakin gereget saja.
Dibuka dengan cerpen pertama berjudul “Selamat Datang Cinta” yang saya artikan sebagai gapura, menyambutmu untuk mulai menjelajahi keseluruhan isi buku. Tak heran jika cerpen pertama ini datar-datar saja, kita anggap sebagai pemanasan.
Tenang, penulis tak suka lama-lama pemanasan. Di cerpen kedua, “Sandiwara di Hari Kamis” saya langsung suka. Di balik judul yang unik, penulis membangun suasana cerita yang tegang-tegang lucu dan berakhir manis. Rasanya seperti menikmati lollipop coklat susu bersalut caramel. Maka bayangkan betapa lidahmu enggan berhenti menjilatinya. Hehehe ….
Selain bahasa yang lugas, ringan dan mudah dicerna, keunggulan lain dari buku ini adalah opening yang selalu menarik. Misal pada cerpen “Benang-Benang Merah”,

Setiap menginap di vila, bila ia terbangun di pagi hari yang langsung teringat adalah kabut tipis yang mengapung di atas atap rumah-rumah penduduk. Dia suka melihat kabut itu, yang terus menipis mengiringi gerak matahari, dan perlahan menampakkan atap-atap rumah di bawah sana. dia merasa melihat selendang sutera putih yang dibentangkan lalu dikoyak-koyak. (hal 161)

Cerpen-cerpen dalam buku ini tidak melulu tentang cinta. Beberapa cerpen berbau misteri terangkum di bagian kedua, membacanya membuat saya sesekali bergidik. Saya yakin tidak sedang memegang buku horor—kovernya malah hijau telur asin yang menenangkan—tapi penulis berhasil membangun ketegangan dengan takaran pas. Bahkan, hubungan manusia dengan binatang pun tak luput dari imajinasi penulis. Karenanya saya sangat suka cerpen “Anak Rusa Berbulu Emas”, pesan sosialnya tersampaikan dengan baik.

“Kalian tamak, selalu tidak puas dengan satu nyawa! Kembalikan bapakku, kembalikan kepalanya. Kalau tidak, akan kami ambil pula kepalamu ….” (hal 116)

Kita tinggalkan bagian kedua, beranjak ke bagian ketiga yang aduhai banjir air mata. Keseluruhan cerita di bagian ini melibatkan peran keluarga, mengharu biru. Penulis kita pintar memainkan emosi pembaca. Dari awal dielus-elus, lalu dicabik-cabik di bagian terakhir ini. Seumpama sebuah rumah, maka bagian ketiga ini ruangan khusus tempat penulis menyimpan semua hartanya, dalam hal ini cerita terbaiknya. Tujuh kisah berbalut teka-teki dalam kehangatan keluarga sukses membuat saya terpukau.
Karena bertemakan keluarga, cerita-cerita di bagian ketiga ini lebih bersinggungan dengan lingkungan sosial dan sarat makna. Cerpen “Istana di Atas Bukit” misalnya.

“Banyak orang membangun hunian serupa istana yang besar dan megah, indah dan mewah, tapi tidak betah berada di dalamnya. Sudah lama saya ingin punya hunian kecil dan berada di atas bukit, walau sederhana tapi terasa serupa istana, yang membuat betah berada di dalamnya.” (hal 153)

Terakhir, saya acungkan dua jempol untuk kepiawaian penulis melahirkan cerita, bahkan dari objek yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Dalam hal ini perasaan bunga pada cerpen “Bunga-Bunga Ayela”. Ah, bunga saja punya perasaan, apalagi dia yang kamu taksir! Hehehe ….

“Perasaan bunga-bunga tidak pernah bohong. Orang yang membawa aura kelembutan dan kebaikan, ketika mendekati bunga-bunga, maka warna bunga-bunga itu seperti berubah lebih cerah dan geraknya semakin mekar. Sebaliknya, bila yang mendekat itu orang yang membawa aura buruk, kasar atau jahat, bunga-bunga itu seakan mengkerut dan mau layu.” (hal 210)

Pertanyaannya, bagaimana reaksi bunga jika kamu yang mendekat? bertambah mekar atau malah menggkerut? Sambil mencari tahu, mending baca dulu buku kumpulan cerpen ini.

Aku tidak berharap kamu berhenti memintaku agar terus bercerita padamu, karena masih hampir seribu cerita yang pernah kujanjikan padamu belum kuceritakan.

Aku.
(hal 243)

3 komentar:

  1. Kak boleh tanya.
    Berapa biaya terbit di LoveRinz?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan kontak langsung penerbitnya.

      Terima kasih sudah mampir.

      Hapus
    2. Silakan kontak langsung penerbitnya.

      Terima kasih sudah mampir.

      Hapus