Minggu, 10 Desember 2023

Bukan Anak Pelacur (Bab 6)

 


"Tiara, akhirnya kamu pulang, Nak." Ibu menatap Tiara dengan rasa bahagia yang membuncah. Ayunan bening membuat sepasang bola matanya berkilau.

Tiara tak kuasa menahan tangis, bahunya terguncang hebat.

"Pelukka, Nak!" pinta Ibu dengan suara yang semakin tipis. Maka, serta-merta Tiara mendekap tubuh ringkih yang tampak kian lemah itu. Tangan Ibu melingkar di punggung Tiara. Mereka berbagi kehangatan dada.

"Minta maafka, Nak. Mak sudah mengecewakan kamu. Mak gagal jadi Ibu yang bisa dibanggakan." Suara tersendat-sendat Ibu mengalun pilu. Tiara mengeratkan dekapannya, bermaksud mencegah Ibu bicara lebih jauh. Dia pulang bukan untuk mempermasalahkan hal itu lagi.

Lamat-lamat terdengar suara lain yang memanggil Tiara. Semakin jelas, hingga Tiara bisa mengenali suara itu milik Imran. Tiara membuka mata perlahan-lahan, menemukan wajah panik cowok beralis tebal itu.

"Kenapa aku di sini?" Tiara mengedarkan pandangan. Dia berada di kamar rumah sakit.

"Tadi kamu pingsan."

Serta-merta air mata kembali membanjiri kedua pipi Tiara setelah menyadari pertemuannya dengan Ibu tadi hanya terjadi di alam bawah sadar.

"Mana makku?"

"Sudah dipulangkan pakai ambulans. Tante Siska terpaksa ninggalin kamu. Dia ikut di ambulans untuk mengurus segala sesuatunya. Kita juga harus segera pulang untuk menyiapkan pemakaman makmu."

Sesuatu yang bergemuruh di hati Tiara saat ini sangat sulit diuraikan dengan kata-kata. Bukan sekadar sesal. Lebih dari sekadar sedih. Dan lebih akut dari rasa bersalah. Semuanya terpilin jadi satu dan membuatnya kesulitan untuk berpikir jernih. Dia bahkan tidak sempat memeluk Ibu, mencium tangannya, meminta maaf, mendengar suaranya, atau bahkan sekadar menerima tatapannya. Hal itu yang membuat air mata Tiara semakin deras seiring detik-detik pilu yang terangkai di sisinya.

***

Jasad Ibu dikebumikan menjelang magrib. Tiara tidak akan beranjak dari pusara itu jika saja tidak dipaksa oleh Tante Siska. Dia berniat menemani Ibu sepanjang malam. Butuh waktu sekitar sejam sebelum Tante Siska dan Imran berhasil membujuknya untuk pulang.

Setelah para pelayat pamit pulang, Tiara menyendiri di teras. Imran yang tidak tega melihat kondisi Tiara seperti itu bermaksud menemani. Namun kemudian pamit juga setelah menyadari Tiara butuh ruang untuk sendiri, berdamai dengan takdir seraya meredakan apa pun yang membuat dadanya masih sesak.

Setelah selesai beres-beres di dalam, Tante Siska menemui Tiara di teras.

"Jangan terlalu lama larut dalam kesedihan. Sekarang makmu sudah menemukan tempat yang jauh lebih tenang. Daripada dia harus tetap di sini melawan penyakit yang memangsa sel-selnya dengan sadis. Di samping itu, hidupnya memang tidak pernah tenang karena memikirkan kamu setiap hari." Meski tidak bermaksud, kalimat barusan kian menyudutkan Tiara.

Tiara tidak menoleh, tatapannya menerawang hampa. Seolah mencari secercah cahaya yang mampu membuatnya lebih tenang.

"Sebenarnya makmu sudah lama tahu ada benjolan di payudaranya yang sesekali terasa sakit. Tapi dikiranya hanya benjolan biasa. Dia baru cerita setelah benjolan itu semakin sering sakit. Sebagai orang kampung yang minim pengetahuan, kami hanya berobat ke orang pintar. Hanya dikasih ramu-ramuan yang ternyata tidak membantu sama sekali. Aku sering memintanya agar periksa ke dokter. Tapi katanya sayang uangnya, mending ditabung untuk keperluan kamu nantinya. Dia selalu yakin bahwa penyakitnya bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Pasti akan sembuh dengan sendirinya."

Hati Tiara semakin ngilu, terbayang hari-hari sulit yang dilalui Ibu.

"Tapi pada akhirnya kondisinya semakin memburuk dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Barulah kami tahu bahwa dia terkena kanker payudara yang sudah teramat akut. Dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Pengobatan apa pun katanya sudah terlambat. Setiap hari dia hanya diberi obat penghilang rasa sakit. Hanya agar dia tidak merasakan sakit berlebih di saat-saat terakhirnya." Kalimat Tante Siska basah oleh linangan air mata yang ikut terurai di setiap tarikan napasnya. Dia dan Ibu memang tidak ada hubungan keluarga, tapi perjuangan hidup yang dilalui bersama menjadikan mereka seperti saudara. Begitu banyak tawa dan tangis yang mereka ukir bersama.

Tiara terenyuh. Rasa bersalah semakin giat mengimpit dari segala arah. Andai dia tidak pergi waktu itu, Ibu tidak perlu menanggung dan menyembunyikan penyakit ganas itu sendirian. Dia tentu bisa bertindak sebagaimana mestinya.

"Setelah pergi, kamu nggak tahu betapa sulit hari-hari yang dilalui makmu. Dia terus mencarimu setiap hari. Aku pernah menemaninya mencari seharian penuh keliling kota, tanpa hasil apa-apa. Pada akhirnya kami menyimpulkan, kamu berada jauh dari kota ini. Mungkin di tempat yang sulit dijangkau oleh orang kampung seperti kami ini." Tante Siska jeda, meredam tangis.

"Dia bekerja keras mengumpulkan uang. Katanya untuk kamu yang sangat ingin jadi dokter. Meski dia sendiri nggak paham berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk kuliah kedokteran. Bahkan kamu sendiri nggak jelas akan pulang atau tidak. Dan untuk semua itu, pada akhirnya dia mengorbankan kesehatannya. Bahkan nyawanya." Tante Siska tercekat. Sungguh tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Sedang Tiara masih menerawang hampa dengan bahu yang semakin hebat terguncang. Sedu-sedannya turut mewarnai malam yang belum pernah terasa semencekam ini.

"Dia memutuskan untuk berhenti jadi biduan. Agar saat kamu kembali, kamu nggak akan kecewa untuk kedua kalinya. Dia jadi buruh cuci sebelum kami memulai usaha bersama demi mengumpulkan uang untuk anak yang telah meninggalkannya."

Setiap kalimat yang diucapkan Tante Siska menjelma ribuan anak panah yang kemudian menghunjam jantung Tiara secara brutal. Dia tidak sanggup membayangkan betapa berat perjuangan yang dilalui Ibu. Demi dirinya yang saat itu tengah memupuk benih kebencian. Menyesal sekarang sungguh tidak akan mengubah keadaan.

Tuhan ... takdir macam apa ini?

"Satu hal yang selalu dia takutkan, nggak punya kesempatan untuk membuktikan ketulusannya sebagai ibu, membuatmu memaafkan dan menerima semua masa lalunya. Dan ternyata benar. Keras hatimu membuatnya kehilangan kesempatan itu. Kamu pulang hanya untuk menyaksikan pemakamannya. Tapi itu jauh lebih baik dibanding nggak sama sekali."

Ucapan Tante Siska kembali membuat seisi hati Tiara semakin tidak keruan. Tangisnya benar-benar pecah sekarang, bergaung memenuhi rona malam yang sesekali dihiasi embusan angin.

"Makmu nggak punya apa-apa untuk diwariskan." Tante Siska menghela napas panjang seraya menyusut air matanya. "Hanya ini." Kemudian dia menyerahkan sebuah kotak perhiasan dan buku usang.

Tangan Tiara gemetar menerimanya.

"Kotak perhiasan itu berisi uang yang berhasil dia kumpulkan selama ini. Sebenarnya dia teramat ingin memberikannya secara langsung." Tante Siska jeda, melirik Tiara yang terpaku menatap kedua benda di tangannya. "Sedang di buku itu, diam-diam dia menulis kisah hidupnya yang nggak diduga akan sedramatis ini. Dia ingin kamu membacanya. Semoga dengan buku itu, kamu bisa mengenal sosok makmu yang sesungguhnya. Dan semoga nggak lagi menyesal terlahir dari rahimnya."

Tiara mengabaikan kotak perhiasan yang sudah jelas isinya. Dia lebih tertarik pada buku usang bersampul biru itu. Diusapnya perlahan, seolah merasakan kehangatan di sana. Masih dengan tangan gemetar, dia membuka halaman pertama setelah Tante Siska kembali ke dalam, membiarkannya leluasa bercengkerama dengan sejuta kenangan Ibu. Pada lembaran yang mulai menguning, serta tinta pulpen yang agak luntur, Tiara melihat bayangan senyum Ibu.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya.

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar