Senin, 29 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 3)

 


Hari ini adalah hari keberangkatan. Indah akan mulai benar-benar bersentuhan langsung dengan dunia arkeologi yang sesungguhnya. Gadis penggemar warna hijau itu sangat bersemangat.

Tim ekspedisi yang ditemani keluarga masing-masing terlebih dahulu berkumpul di kampus, kemudian bersama-sama berangkat ke bandara menggunakan bus. Indah hanya ditemani Mama, Farel dan Rina. Sepagi ini, Sasha punya kesibukan di kantor yang tidak bisa ditunda. Ya, jauh lebih penting ketimbang melepas kepergian sang adik. Tidak heran, karena sejak awal ia memang tidak pernah setuju dengan keputusan Indah.

Seperti biasa, hiruk-pikuk khas menyambut mereka setibanya di Bandara Soekarno-Hatta. Sebentar lagi pesawat mereka akan take off. Semua anggota tim memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berpamitan dengan kerabat masing-masing, termasuk Indah.

"Ma, Indah berangkat, ya!" Indah memeluk Mama. Tak banyak yang bisa diucapkannya.

"Jaga dirimu baik-baik, ya, Sayang!" Suara Ranti bergetar. Ia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.

Indah mengangguk disertai senyum yang ia harap bisa menegaskan, bahwa ia akan baik-baik saja.

"Jangan lama-lama, ya, di sana! Nanti nebeng sama siapa kalau mobil gue masuk bengkel lagi?" Rina meraih dan menggenggam tangan sahabatnya.

"Lo ada-ada aja, deh!" Indah tertawa kecil sambil menyeka air matanya.

Saat menoleh ke Farel, rambut Indah langsung diacak di bagian pucuk kepala, hal yang memang selalu lelaki itu lakukan padanya. Waktu kecil Indah sangat menyukainya, tapi setelah mengerti bahwa perlakuan itu bentuk kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, Indah tak lagi menyukainya. Ia benci menerima kenyataan, bahwa posisinya di sisi Farel selama ini tak lebih dari seorang adik.

"Di sana jangan nakal, ya!"

"Siap!" Indah mengacungkan kedua jempolnya. Meski tersenyum lebar, suasana hatinya berbanding terbalik. Jika boleh memilih, lebih baik Farel tidak usah turut mengantarnya. Ia khawatir usaha penerimaannya lebih payah setelah ini.

Dari sudut lain, tingkah akrab Indah dan Farel secara tidak sengaja disaksikan oleh Kevin. Lelaki berwajah oriental itu seolah punya indera keenam yang bisa menembus ruang hati Indah. Sebagai seseorang yang pernah sangat dekat dengan Indah, tak heran jika Kevin tahu banyak seluk-beluk perasaan Indah ke Farel. Bagaimana tidak, di setiap kesempatan, pembahasan Indah ketika mereka bersama tidak jauh-jauh dari lelaki yang kini jadi calon suami kakaknya.

Sama Kevin, tidak ada yang Indah tutup-tutupi. Sejak kapan ia menyukai Farel, bagaimana ia menjaga perasaan yang tak pernah tersampaikan itu, semuanya diceritakan. Pun patah hatinya kemudian, setelah mendapati perasaannya bertepuk sebelah tangan dan Farel malah melabuhkan hati ke kakaknya.

Setiap kali mendengar Indah memaparkan kekagumannya kepada Farel, hati Kevin seperti ditaburi bibit luka. Bukan tanpa disadari, tapi Kevin selalu punya cara untuk mematikannya sebelum bibit itu berkembang.

Namun pada akhirnya Kevin mengakhirinya. Bukan tidak kuat lagi. ia hanya tidak ingin bernasib sama seperti Indah, merasakan kehilangan sebelum melakukan apa-apa untuk mendapatkan. Karena itu, Kevin mengutarakan perasaannya, meski tahu betul konsekuensinya.

Imbauan agar segera naik ke pesawat sudah menggema. Lekas, Indah mendekap mamanya sekali lagi.

"Mama jangan terlalu khawatir. Indah akan baik-baik saja!"

Upaya menahan tangis membuat Ranti tak mampu berucap. Ia hanya mengangguk.

Sambil berjalan menjauh, Indah menoleh dan melambai. Senyumnya mengembang sempurna. Sekali lagi berusaha menegaskan, bahwa ia akan baik-baik saja.

***


Prof. Hamdani beserta rombongan menempuh perjalanan udara yang cukup melelahkan. Setelah transit di Makassar sekitar 30 menit, penerbangan berlanjut hingga mendarat di tanah Papua, tepatnya di Kota Biak. Dari Biak mereka masih harus menempuh perjalanan udara sekitar sejam untuk tiba di Nabire. Setidaknya mereka mengudara sekitar 6,5 jam.

Mereka tiba di Nabire menjelang senja. Karena itu mereka langsung menyewa penginapan agar bisa lekas beristirahat. Besok petualangan yang sesungguhnya baru akan dimulai. Mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya, terutama stamina.

"Besok kita akan melakukan perjalanan darat yang jauh lebih menguras tenaga. Malam ini tolong jangan ada yang begadang. Tidur yang cukup agar besok bisa bangun dalam kondisi lebih fit. Ingat, jangan berpikir ini akan mudah!"

"Baik, Prof!" seru mereka serentak.

Prof. Hamdani bernapas lega melihat semangat timnya tetap berkobar sejauh ini.

***


Angin yang berembus dari arah Pantai MAF menebar hawa sejuk di setiap sudut Kota Nabire. Hal ini mengundang rasa malas untuk beranjak dari pembaringan. Tapi Prof. Hamdani beserta rombongan harus segera bergerak. Menikmati keindahan Kota Nabire bukan tujuan mereka.

Pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju Kabupaten Paniai menggunakan angkutan umum. Mereka tiba di sana menjelang sore, setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh jam. Tujuan selanjutnya adalah Sugapa, sebuah desa kecil di kaki Pegunungan Carstensz. Untuk tiba di Sugapa, mereka harus melintasi beberapa desa kecil. Dari desa satu ke desa lainnya mereka naik ojek dengan tarif yang cukup mahal. Yang lebih parah, beberapa desa harus dilintasi dengan berjalan kaki. Sama sekali tidak ada cara lain. Hal ini semakin menegaskan ucapan Prof. Hamdani, "Ini tidak akan mudah!"

Prof. Hamdani sudah lama merancang ekspedisi ini. Ia tahu akan mendapati kondisi seperti ini. Bahkan, ia sudah bersiap untuk hal-hal buruk yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Salah satu hal yang sudah melalui tahap perancangan yang cukup matang, adalah orang-orang yang tergabung dalam tim itu sendiri. Ia benar-benar tidak salah pilih. Setidaknya untuk sejauh ini.

Perjalanan dari Paniai ke Sugapa memakan waktu tiga hari. Tentu saja dengan segala tantangan yang tidak biasa bagi orang kota seperti mereka. Indah sangat menikmati perjalanannya. Tekad untuk menjadi arkeolog terkenal mampu menjadi penawar setiap kali rasa capek mulai menguasai raganya.

Mereka memutuskan untuk menginap di Sugapa. Mereka harus memulihkan stamina sebelum melanjutkan perjalanan. Berkat pendekatan yang baik oleh Prof. Hamdani, mereka beruntung bisa diterima dengan baik dan diberi tumpangan oleh Kepala Suku.

Malam ini Indah susah tidur. Setelah meninggalkan Kota Jakarta selama beberapa hari, ia mulai merindukan orang-orang terdekat, terutama Mama. Indah merasa semakin dekat dengan impiannya setelah berhasil menaklukkan berbagai rintangan dan tiba di titik ini. Indah sadar, sekarang ia bagai terisolasi di pedalaman Papua. Sebisa mungkin ia tidak akan membiarkan rindu mengganggu konsentrasinya. Akan ia simpan rindu itu untuk nanti. Ia harus pulang membawa kesuksesan.

***

Pagi-pagi sekali mereka harus bergerak ke Desa Ugimba, desa terdalam di tanah Papua. Desa yang jauh dari peradaban modern, bahkan belum tersentuh jaringan listrik dan sinyal telepon. Untuk mencapai Ugimba, mereka harus berjalan sejauh 20 kilometer. Sebelum berangkat mereka membeli persediaan bahan makanan. Di sana tidak ada pasar atau semacamnya.

"Hari ini kita akan menempuh medan menanjak. Sugapa ini merupakan titik awal pendakian menuju Puncak Carstensz. Tujuan kita adalah Desa Ugimba, sekitar 20 kilometer di atas sana. Setelah memasuki Ugimba tidak ada jaringan telepon. Jadi setelah ini, saya beri kesempatan kepada kalian untuk menelepon keluarga masing-masing. Harapannya, semoga kalian bisa lebih semangat setelah mendengar suara mereka." Prof. Hamdani menjelaskan.

Mereka sangat antusias menyambut kesempatan ini. Setelah dibubarkan, mereka langsung memencar mencari posisi yang enak untuk menelepon. Orang pertama yang dihubungi Indah tentu saja Mama. Obrolan mereka singkat. Karena berusaha keras menyembunyikan tangisnya, Ranti tidak bisa berkata banyak. Dan walau sudah disembunyikan, nada sedu sedan itu masih tertangkap oleh pendengaran Indah. Indah memaklumi sekaligus prihatin sebenarnya. Karena itu, ia berusaha menegaskan, bahwa ia baik-baik saja.

Selanjutnya Indah menghubungi Rina. Seketika obrolan panjang penuh gelak tawa terjalin begitu saja. Dari dulu mereka memang tidak pernah kehabisan topik. Sampai-sampai Indah melupakan batas waktu yang diberikan oleh Prof. Hamdani. Indah mengakhiri obrolannya ketika Prof. Hamdani memberikan aba-aba untuk berkumpul kembali.

Sejenak Indah tertegun. Seharusnya tadi ia menyisihkan sedikit waktu untuk menghubungi Farel. Tidak! Indah menggeleng cepat, membuang pikiran salah yang baru saja menyambangi otaknya. Untuk apa lagi, coba?

Saat hendak kembali ke titik Prof. Hamdani meminta mereka berkumpul kembali, tanpa sengaja pandangan Indah bertautan dengan Kevin. Lelaki itu sedari tadi hanya asyik merokok, tidak terlihat menelepon siapa pun.

Sejak mengetahui perasaan Kevin yang sesungguhnya, Indah memang mulai jaga jarak. Tapi sekarang mereka ada di satu tim ekspedisi penting. Mereka harus bisa mengesampingkan hal-hal pribadi. Dan lagi, Indah yakin tahu penyebab Kevin tampak murung. Karena itu Indah menghampirinya, saat lelaki berkemeja dongker itu baru saja menjatuhkan puntung rokoknya, lalu mematikannya dengan cara diinjak.

"Lo nggak hubungi keluarga lo?"

"Nggak ada yang tahu gue di sini," jawab Kevin sekenanya.

"Lah, memangnya nggak pamit?" Indah mengernyit.

"Lo kayak nggak tahu aja." Tawa getir Kevin mengudara sesaat.

Ya, bisa dibilang Indah bertanya seperti tadi sekadar basa-basi. Ia tahu betul bagaimana hubungan Kevin dengan kedua orangtuanya. Mereka sibuk menyembah uang. Selalu seperti itu Kevin menggambarkan kesibukan orangtuanya. Wajar, mereka mengelola bisnis berskala internasional. Kevin keseringan ditinggal sendiri di sebuah apartemen mewah. Kevin sampai beranggapan bahwa kedua orangtuanya memperlakukannya seperti hewan peliharaan, yang cukup diberi makan setiap hari. Mereka ingin menggantikan perannya dengan uang.

"Mereka masih di luar negeri. Mungkin sampai kita balik dari sini, mereka belum pulang."

Meski ucapannya terdengar santai, Indah tahu persis bagaimana perasaan Kevin setiap kali membicarakan orangtuanya. Kalau sudah seperti ini, Indah selalu bingung bagaimana harus merespons. Sebagai gantinya, ia menepuk pelan pundak lelaki yang pernah sangat dekat dengannya itu.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar