Sabtu, 27 Januari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 2)

 


Setibanya di kamar, Indah melempar tas selempangnya ke atas meja rias, lalu membanting diri di tempat tidur. Wajahnya masih ditekuk, jengkel dengan sikap kontra Mama. Ia baru hendak bangkit untuk ganti pakaian saat ponsel di saku jinsnya bergetar. Ia mengeluarkan benda pipih persegi itu dan menemukan panggilan dari Farel.

"Mama bilang, lusa kamu berangkat, ya?" Dari seberang sana, Farel langsung menodong dengan nada kaget. Mendengar hal itu, sesaat Indah hanya memutar bola mata malas. Ini kebiasaan Mama yang paling tidak disukai Indah, mengaduh sama lelaki yang dianggap bisa membujuknya.

"Kalau iya, kenapa?" Indah malah bertanya balik dengan nada ogah-ogahan.

"Nggak. Kamu nggak boleh ikut-ikutan dalam ekspedisi itu."

Demi mendengar cegahan itu, Indah sampai bangkit dari baringnya dan terduduk di tepi tempat tidur.

"Cukup, Rel, aku bukan anak kecil lagi yang bisa kamu atur seenaknya. Aku sudah cukup dewasa untuk bisa memilih jalan hidup sendiri. Berhenti mencampuri urusanku!" Tanpa sadar, Indah berucap setengah teriak. Setelah menandaskan kalimatnya, ia membanting asal ponselnya. Ada amarah dan luka diam-diam di balik aksinya barusan. Ini kali pertama ia berkata kasar kepada Farel, lelaki yang diam-diam ia cintai selama ini.

Mau tidak mau ingatan Indah kembali lagi jauh ke belakang, saat pertama kali ia bertemu Farel. Suatu siang sepulang sekolah, Indah yang saat itu baru memulai tahun pertamanya di SMP, ketibang sial. Dari ujung gang yang lengang tiba-tiba muncul seekor anjing hitam yang langsung berlari ke arahnya sambil menggonggong. Indah yang panik langsung berlari ketakutan sambil menangis. Saat anjing itu semakin dekat, Indah hampir menyerah. Beruntung, pertolongan datang tepat waktu. Seorang pengendara motor berhenti beberapa meter di depan Indah.

"Dek, ayo naik!" kata cowok berseragam putih abu-abu itu.

Tanpa pikir panjang, Indah langsung melompat ke boncengan cowok itu. Setelah merasakan gadis kecil di belakangnya duduk dan berpegangan dengan baik, cowok itu kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Kendati sudah selamat dari buruan si anjing, tangis Indah belum reda. Ia bahkan membenamkan wajahnya di punggung cowok yang telah menyelamatkannya itu.

Merasa sudah aman, cowok itu menepikan motornya, bermaksud menenangkan Indah yang masih terus menangis.

"Udah dong nangisnya. Anjingnya udah gak kelihatan, kok."

Tersadar, Indah melerai lingkaran tangannya dari pinggang cowok itu. Kedua tangannya beralih membersihkan air mata di pipinya.

"Rumahmu di mana? Biar sekalian aku anterin."

Sambil berusaha meredam sisa-sisa tangis, Indah menyebutkan sebuah alamat. Cowok itu tersenyum, lalu kembali melajukan motornya. Kali ini pelan saja.

Setibanya di depan rumah, Indah lekas turun dari motor, lalu mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama," balas cowok itu sambil tersenyum ramah.

"Kakak tinggal di mana?" Indah bertanya cepat saat melihat cowok penyelamatnya itu kembali menstarter motornya.

"Tuh." Dengan santainya, cowok itu menunjuk rumah putih berlantai dua di seberang jalan.

Lingkar mata Indah seketika membesar. Ia antara kaget dan senang mendapati kenyataan, bahwa cowok penyelamatnya itu adalah tetangganya. Menurut cerita Mama, rumah di seberang jalan yang sempat kosong beberapa bulan itu, minggu lalu dibeli dan langsung ditempati keluarga Pak Kumar. Mereka datang dari Makassar. Cowok jangkung berlesung pipi ini pasti putra mereka, yakin Indah dalam hati.

"Nama Kakak, siapa?" tanya Indah lagi saat cowok itu sudah mengarahkan setang motornya ke rumah yang tadi ditunjuk.

"Farel." Demikian cowok itu menyebutkan namanya disertai sebaris senyum tipis, sebelum benar-benar berlalu.

Hingga cowok itu menghilang di balik gerbang rumah putih di seberang jalan, Indah tak lepas memandang punggungnya. Tanpa sadar, senyumnya mengembang sempurna. Dan tiba-tiba saja hatinya menghangat disertai denyut aneh.

***


Ponsel yang tadinya dibuang asal, kembali berdering. Malas-malasan, Indah meraihnya. Kali ini nama Sasha yang tertera di layar, kakaknya.

"Halo." Indah menyapa ogah-ogahan.

"Serius lusa kamu berangkat? Pergi dan tidak menghadiri pernikahan Kakak dengan Farel, gitu? Please, Ndah, ini momen paling spesial dalam hidup Kakak. Kamu harus ada. Pokoknya kamu nggak boleh pergi."

"Kak, ekspedisi ini juga nggak kalah spesial dalam hidupku. Aku sudah menunggu lama untuk ini. Dan setelah terpampang nyata di depan mata, Kakak dengan seenaknya minta aku untuk mundur?" Indah mengembuskan napas kasar, yang pasti didengar jelas oleh sang kakak di seberang sana. "Nggak! Nggak bisa! Aku nggak akan melewatkan kesempatan ini."

"Kamu, tuh, ya ...." Sasha tercekat di tengah usahanya menahan luapan kekesalan. "Ya udah, Kakak mau kembali kerja. Nanti kita omongin lagi di rumah." Sasha memutus sambungan telepon tanpa perlu menunggu Indah berucap apa pun.

Tangan Indah yang memegang ponsel terjatuh lemas di pangkuannya. Beragam pemikiran menyesaki ruang kepalanya. Salah satunya perihal pernikahan Sasha dan Farel yang akan dilangsungkan minggu depan. Sebagai adik, seharusnya ia memang menghadiri momen sakral yang tidak hanya membahagiakan untuk pasangan pengantin, tapi juga keluarga besar.

Hanya saja kalau boleh jujur, justru pernikahan itulah yang kian memantapkan hati Indah untuk terbang ke Papua. Sambil memulai sepak terjangnya sebagai arkeolog yang sesungguhnya, diam-diam ada aksi pelarian dari kenyataan di balik keantusiasannya itu. Ia tidak yakin bisa tetap kuat melihat lelaki yang lama bersarang di ruang harapnya malah bersanding dengan sang kakak.

Indah menggeleng cepat, menghalau pikiran-pikiran buruk mengikis lebih dalam energi positif dalam dirinya. Saat ini ia harus fokus pada ekspedisi itu. Lupakan hal-hal lain yang tidak berkaitan. Ia harus bisa membuktikan kepada Prof. Hamdani, bahwa ia memang layak diberi kesempatan.

***


Indah tidak suka seperti ini, diadili di meja makan. Nafsu makannya langsung hilang ketika tanpa basa-basi semua orang seolah kompak mengutarakan kembali kalimat-kalimat kontra perihal keterlibatannya di ekspedisi itu. Termasuk Farel, yang menurut Indah sengaja ikut makan malam di sini untuk misi yang bisa ditebaknya.

"Ndah, please dipikir-pikir lagi. Kakak mau nikah, loh. Bukan sekadar ulang tahun yang bisa dirayain lagi tahun depan." Meski sangat hati-hati, Sasha tetap menekankan beberapa kata di kalimatnya.

Ranti memasang pendengaran prima sambil pura-pura tetap menikmati makanannya.

"Papua itu, kan, jauh. Siapa yang akan jagain kamu di sana?" Padahal sebentar lagi Indah akan menyelesaikan kuliahnya, tapi nada bicara Farel masih memperlakukan gadis itu seperti waktu pertama kali mengenalnya, gadis SMP yang lincah, cerewet, dan ngegemesin.

"Aku bisa jaga diri." Indah menyapukan pandangan, seolah perkataannya ditujukan ke semuanya, bukan sebatas menjawab pertanyaan Farel. "Lagian yang jadi ketua tim Prof. Hamdani, profesor dengan jam terbang paling tinggi di kampus, yang sering aku certain. Sama seperti ekspedisinya yang selalu sukses selama ini, beliau pasti sudah mempersiapkannya matang-matang. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan ini."

Selama Indah bicara, mereka bahkan berhenti mengunyah, lalu saling pandang, seolah saling dukung untuk menemukan kalimat penyanggah.

"Kali ini aku mohon pengertiannya." Indah meletakkan sendok dan garpunya, lalu meneguk isi gelas di sampingnya. Setelahnya, ia menatap Sasha dan Farel bergantian. "Untuk pernikahan kalian, ada atau tanpa aku, sama aja. Selamat, ya, aku turut bahagia." Indah memaksakan sebaris senyum sebelum meninggalkan meja makan itu.

Setibanya di kamar, air mata Indah langsung meruah. Hal ini bukan hanya karena sikap kontra mereka. Indah kalut setelah menemukan dirinya teramat payah untuk sekadar menerima kenyataan, bahwa Farel sebentar lagi resmi menjadi kakak iparnya. Angkat kaki dari kota ini sepertinya memang jalan terbaik, agar Indah tidak bertingkah konyol di hari pernikahan mereka.

Setelah diselamatkan dari kejaran anjing waktu itu, sore harinya Indah menemui Farel di rumahnya. Ia membawakan sekotak es krim sebagai tanda terima kasih. Di luar dugaan, Farel malah membagi es krim itu untuk Indah. Mereka makan bersama di teras. Setelah itu, seiring waktu bergulir, begitu cepat mereka akrab. Hampir setiap hari Indah main ke rumah Farel, begitu pun sebaliknya. Satu hal yang tidak diketahui Indah, diam-diam Farel naksir sama Sasha, kakak Indah yang kebetulan satu sekolah dengannya. Sebagai murid baru, Farel senang punya teman satu sekolah yang tetanggaan.

Di mata Indah, Farel sosok pahlawan di segala cuaca. Kapan pun bisa dimintai tolong. Sedang di mata Farel, Indah adik kecil yang menyenangkan untuk diajak melewati waktu luang. Hingga mereka tumbuh dewasa, Farel tetap menganggap Indah sebatas adik, tak peduli sudah sedekat apa mereka selama ini. Sedang Indah, dengan segala kesempurnaan rasa kagumnya bermetamorfosis menjadi cinta. Yang kemudian menyeretnya pada situasi rumit ini.

Bahkan saat Farel memutuskan untuk menjalani pendidikan masternya di Universitas Malaya, Malaysia, Indah tetap teguh merawat perasaan yang belum tersampaikan itu dari jauh. Indah berusaha berpikir positif, bahwa Farel belum memberikan sinyal-sinyal cinta karena ingin konsen ke pendidikannya.

Sekembalinya Farel ke tanah air setelah berhasil meraih gelar masternya, saat itulah kiamat kecil di hidup Indah terjadi. Indah benar, selama ini Farel tidak menunjukkan sinyal-sinyal cinta karena ingin konsen di pendidikannya. Tapi setelah tiba waktunya memunculkan sinyal-sinyal cinta itu, sayangnya bukan untuk Indah.

Seminggu setelah kedatangannya, Farel yang ditemani kedua orangtuanya mendatangi rumah Indah untuk melamar Sasha. Indah yang saat itu menguping pembicaraan mereka dari bibir pintu ruang tengah, seketika merasakan persendiannya tidak berfungsi. Tubuhnya merosot hingga terduduk tak berdaya di lantai. Tahu-tahu air matanya sudah berlinang.

Sejak hari itu, Indah butuh waktu beberapa hari untuk memahami bentuk rasa sakit yang kini menetap di dadanya. Di lain sisi ia harus tetap bersikap biasa, agar tak seorang pun yang melayangkan tatapan curiga, terlebih tatapan iba.

***


Hari ini Indah menjalani aktivitas di kampus dengan semangat yang belum pernah semenggebu ini. Rasa tak sabar bertemu dengan setumpuk pengalaman baru membuat waktu terasa lebih cepat berlalu. Ekspedisi ini benar-benar ampuh membuatnya lupa pada sakit hati yang sebenarnya masih menganga. Sebelum pulang, Indah dan anggota tim yang sudah terpilih kembali diminta berkumpul di ruangan Prof. Hamdani. Sekadar mematangkan persiapan untuk keberangkatan besok, termasuk merincikan perlengkapan penting yang harus dibawa.

Saat Prof. Hamdani membagikan surat izin dan persetujuan yang harus ditandatangani orangtua atau wali, Indah sempat bingung. Tapi kemudian ia mencoba untuk berpikir positif, ia pasti bisa membujuk Mama untuk menandatanganinya.

***


Kesibukan Indah saat mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke ekspedisi pertamanya ini sempat terhenti, saat ia teringat surat izin yang tadi sore diserahkan ke Mama. Di ruang tengah tadi, Mama tidak berucap sepatah kata pun saat Indah menyerahkan surat itu sambil menjelaskan secara singkat tujuannya. Entah Mama sudah menandatanganinya atau belum. Semoga saja sudah. Besok pagi surat itu harus diserahkan kembali ke Prof. Hamdani sebagai syarat keikutsertaan. Indah tidak bisa membanyangkan bagaimana jadinya jika Mama menolak untuk menandatanganinya.

Indah menggeleng samar, lalu kembali menyusun rapi ke dalam ransel barang-barang yang sudah dipilahnya. Mengingat lokasi ekspedisi di pedalaman hutan, jangan sampai ada yang kurang. Ia sangat detail. Terbayang pengalaman-pengalaman seru yang akan ia dapatkan selama ekspedisi, membuat aktivitas packing Indah menyenangkan. Di sisi lain, ketidaksetujuan orang-orang terdekatnya masih sangat mengganjal di hati. Ia tidak dapat memungkirinya. Tapi besok adalah hari keberangkatan, sebisa mungkin ia menepis pikiran-pikiran yang berpotensi mengganggu konsentrasinya.

Ranti terpaku di depan pintu kamar Indah yang setengah tertutup. Sejak tadi ia di sana, memperhatikan Indah yang begitu antusias mempersiapkan segala sesuatunya. Ia masih sangat kalut. Entah bagaimana harus melepas kepergian putrinya itu.

Ranti melangkah pelan, menghampiri Indah di antara tumpukan barang-barang yang masih berantakan.

"Kamu jadi berangkat besok?" tanyanya hati-hati.

Indah terdiam sejenak. Ia sangat mengerti makna yang tersirat di balik pertanyaan Mama.

Indah menoleh. "Maafkan aku, Ma!" Seketika mata Indah berkaca-kaca.

"Kamu tidak salah, Sayang. Mama yang salah. Mama selalu lupa bahwa putri kecil Mama sudah sebesar ini, sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupnya." Nada getar membuat Ranti tercekat sesaat. "Mama akan berusaha mengikhlaskan kepergianmu. Mama akan selalu mendoakanmu. Selamat berjuang, Sayang. Buktikan ke Mama kalau kamu memang bisa." Ranti sudah tidak mampu menahan air matanya.

Refleks, Indah berdiri dan langsung mendekap Mama sangat erat. Seketika kamar itu diselubungi rasa haru yang pekat. Air mata Indah pun luruh.

Setelah Indah melerai dekapannya, Ranti menyerahkan surat izin yang sudah ditandatanganinya.

"Terima kasih, Ma!" Indah menerimanya dengan kelegaan yang luar biasa.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar