Rabu, 03 Januari 2024

Rahasia Idola (Bab 4)

 


"Halo, Rat." Alea baru saja turun dari angkot ketika Ratih meneleponnya.

"Lo lagi di mana, kok, banyak suara kendaraan?"

"Gue baru tiba di mal tempat biasa kita jalan. Gue mesti nyari beberapa properti buat keperluan konsep foto-foto baru."

"Kebetulan banget. Gue nitip beliin bukunya Gilang, ya!"

"Lo serius mau pedekate sama Gilang?"

"Alea sayang, Gilang itu satu-satunya Song Joong Ki versi Indonesia, masa iya gue anggurin?"

Alea hanya memutar bola mata.

"Pokoknya, kalau lo nggak beliin, gue nyuri punya lo."

"Iyya!" tegas Alea, lalu memutus sambungan telepon.

***

"Jadi selama ini, lo belum punya buku gue?" Suara barusan dari arah samping, tepat ketika tangan kanan Alea meraih salah satu buku puisi bersampul merah dari rak yang dipasangi header "Best Seller".

"Gilang?" Mulai sekarang sepertinya Alea harus belajar memasang tampang biasa saja setiap kali Gilang ada di dekatnya. Terlebih untuk kemunculan tak terduga seperti sekarang. "Ini titipan teman," imbuhnya dengan kekikukan luar biasa kental.

Gilang hanya ber-o panjang tanpa suara.

"Lo ngapain di sini?" Sial. Pertanyaan bodoh macam apa itu? jelas-jelas ini tempat umum. Alea beralih pura-pura sibuk memilih buku.

"Jalan-jalan aja, sih."

Sejenak tak ada yang bersuara. Gilang mengikuti gerak Alea yang bergeser perlahan-lahan sambil mengamati deretan buku di rak di depannya.

"Lo tahu, nggak, sampai sekarang terkadang gue masih belum percaya kalau buku yang sampulnya bertuliskan nama gue sudah beredar di toko buku seluruh Indonesia. Memandangnya langsung terpajang di sana, ada kebahagiaan yang tak bisa dirangkai dengan kata-kata. Ini tentang mimpi yang terwujud secara ajaib." Gilang berucap sambil menoleh ke arah rak buku-bukunya terpajang, yang sudah mereka tinggalkan beberapa langkah.

Alea sadar, ucapan barusan rasanya terlalu dalam untuk diucapkan ke orang yang baru dikenal. Sepertinya Gilang sedang berusaha mengakrabkan diri.

"Pada dasarnya semua mimpi berhak untuk terwujud. Dan lo sudah bertanggung jawab atas mimpi itu."

"Baru sebagian kecil, masih banyak mimpi-mimpi selanjutnya." Tatapan Gilang beralih dari jejeran buku ke manik mata Alea.

"Tetap lakukan yang terbaik, seperti yang lo lakuin selama ini."

"Lo sendiri, punya mimpi apa?" Mereka kembali melangkah, kali ini berdampingan.

"Simpel, sih. Sekolah tinggi-tinggi, lulus dengan nilai memuaskan, dapat kerja sesuai passion yang menghasilkan uang banyak, ketemu pangeran tampan, terus nikah, punya anak, dan hidup bahagia selamanya." Alea berucap sepanjang itu tanpa sekali pun menoleh ke cowok di sampingnya.

"Kayaknya lo cocok nulis dongeng, deh!"

Alea tergelak. Meski sesaat, tapi itulah pertama kalinya Gilang mendengar tawa Alea. Sungguh renyah dan sukses membuat dadanya berdesir.

"Habis ini mau ke mana lagi?" tanya Gilang saat mereka tiba di meja kasir.

"Mau langsung pulang, sih."

"Kita nggak makan dulu atau apa ... gitu? Mumpung telanjur ketemu di sini, loh."

"Lain kali aja, Lang! Utang review gue numpuk, nih. Ini juga dipaksain keluar karena ada properti yang harus dibeli demi memperindah tampilan feed." Alea tersenyum lebar di ujung kalimatnya.

"Duh, gue lupa sedang berhadapan dengan bookstagramer kece." Gilang terkekeh.

"Apaan, sih?" Alea menerima struk dan uang kembaliannya.

"Gue anterin pulang, ya!"

"Nggak usah. Lo di sini aja, tawarin buku-buku lo. Sesekali jadi SPB buat buku sendiri, nggak masalah, kan?" Alea berucap sambil menahan tawa.

"Tanpa gue tawarin udah laku banget, kali. Apalagi kalo gue terjun langsung buat nawarin?" Gilang menoleh ke arah Alea sambil memasang tampang kepedean dengan menggerakkan alisnya naik turun.

"Sombong ...."

Mereka terbahak.

Bisa dibilang ini interaksi langsung pertama mereka tanpa perantara apa atau siapa pun. Tidak buruk. Gilang tidak menyangka bisa mengakrabkan diri secepat itu. Dan sikap Alea yang cenderung jaga jarak justru menjadi poin pertama alasan ketertarikannya.

Meski belum pernah diakuinya kepada siapa pun, setidaknya Gilang harus jujur pada diri sendiri, bahwa ia memang tertarik pada kesederhanaan cewek yang kini masih ia temani melangkah keluar mal. Sedang bagi Alea, cowok di sampingnya cukup asyik diajak ngobrol, tapi belum senyaman ketika ia membaca puisi-puisinya dalam hening. Fakta bahwa sekarang mereka satu sekolah dan bisa berteman, entah kenapa masih terasa biasa.

***

"Ke kelas Gilang, yuk!"

Alea yakin tak salah dengar, tapi ini kali pertama Ratih mengajaknya ke tempat lain selain kantin saat jam istirahat.

"Ngapain?"

Alih-alih menjawab, Ratih malah mengacungkan buku puisi bersampul merah sambil cengar-cengir tidak jelas.

"Harus sampai segitunya, ya?"

Ratih menarik tangan Alea untuk berdiri. "Please, deh, Al. Di mana-mana emang gitu. Yang namanya fans ketemu idola, wajar kalau minta tanda tangan. Lagian, lo kenapa, sih? Perasaan kemarin-kemarin lo yang paling heboh kalau ngebahas Gilang."

"Puisinya, Rat, bukan orangnya."

"Sama aja!" Tanpa persetujuan, Ratih menyeret Alea menuju kelas Gilang.

"Eh, pada mau ke mana?" Delon menghadang mereka di pintu.

Ratih menerobos pertahanan Delon tanpa menjawab.

"Kita nggak makan siang hari ini?" teriakan Delon juga tidak direspons. Cowok itu mengernyit sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

Setibanya di kelas XII IPS 3, Gilang sedang dikerumuni cewek-cewek yang kebanyakan adik kelas. Sama seperti Ratih, mereka juga membawa buku puisi sang idola dan minta ditandatangani.

Merasa tak terima, Ratih langsung beraksi. "Dasar! Baru juga kemarin lepas seragam putih biru, eh, sekarang sudah berani keganjenan sama senior." Mereka kompak menoleh ke arah Ratih. Saat itulah Ratih melototinya satu per satu.

"Sekarang juga kalian keluar!" Sadar sedang berhadapan dengan Ratih, serigala betina, junior-junior itu langsung berhamburan ke arah pintu sambil mencebik dan merutuk tidak jelas.

Merasa tidak enak dengan sikap Ratih, Alea pura-pura sibuk dengan ponselnya.

Sesaat Gilang tercengang melihat pengaruh kekuasaan cewek yang gemar mengenakan softlens biru barusan. Tapi bagaimana pun juga, mereka yang berhamburan ketakutan tadi adalah sebagian penggemar puisi-puisinya. Gilang bermaksud meladeninya sebelum dikacaukan kemunculan Ratih.

Selanjutnya, tanpa rasa bersalah dan canggung sedikit pun, Ratih menyodorkan buku di tangannya, minta ditandatangani. Ia memasang senyum terbaiknya, yang justru menurut Gilang aneh.

"Oh ya, Al, selamat, ya, lo kepilih jadi host untuk booktour buku kedua gue."

Jelas saja mood Ratih langsung hancur. Ia yang minta tanda tangan tapi malah Alea yang diajak bicara.

Alea yang sebenarnya ingin segera meninggalkan kelas itu tidak terlalu menyimak. Sekarang ia malah bingung harus merespons seperti apa.

"Kok, lo nggak bilang-bilang, sih?"

"Gue pikir, lo udah tahu duluan."

"Yang nentuin murni dari pihak penerbit. Gue baru tahu tadi pagi."

Alea manggut-manggut tidak jelas.

Merasa diabaikan, Ratih menghambur keluar dengan muka ditekuk sempurna. Sigap, Alea menyambar buku di depan Gilang lalu menyusul Ratih.

Hingga jam pelajaran terakhir, Ratih jadi pendiam. Ia hanya menjawab seperlunya ketika Alea mengajukan pertanyaan basa-basi. Alea sangat tidak nyaman dengan perubahan itu.

"Lo marah, ya, sama gue?" Akhirnya Alea mengajukan pertanyaan itu ketika mereka tengah berjalan menuju area parkir.

Ratih hanya mengembuskan napas secara kasar.

Alea meraih pergelangan tangan Ratih. "Rat, kita nggak bisa kayak gini. Gue nggak suka lo diemin."

Ratih menghela napas berat, lalu berbalik memandang Alea.

"Gue nggak marah, kok, sama lo. Gue cuma kesal sama diri gue sendiri. Kenapa, sih, semua cowok kayaknya lebih suka sama lo dibanding gue? Gue kurang apa, coba?"

Melihat sepasang mata Ratih berkaca-kaca, perlahan-lahan Alea melepaskan cengkramannya. Alea sadar, ini bukan hanya soal Gilang, tapi juga yang sudah lalu. Ini memang bukan kali pertama persahabatan mereka retak karena cowok. Dan seperti yang sudah-sudah, Alea tak pernah menginginkan situasi seperti ini.

"Lo beneran suka sama Gilang?"

Ratih mengedarkan pandangan ke tak tentu arah tanpa menjawab.

Alea bertanya seperti itu karena paham betul watak Ratih. Sahabatnya itu memang selalu heboh setiap kenal cowok yang menurutnya ganteng. Tapi tidak bertahan lama. Biasanya akan reda dalam waktu dua sampai tiga minggu. Sejatinya, ia memang Miss Drama yang suka melebih-lebihkan segala hal, termasuk rasa suka yang belum pasti.

Alea tersentak. Tiba-tiba saja seorang cewek tinggi semampai menghampiri dan langsung mencengkram pundaknya.

"Lo ada hubungan apa sama Gilang?"

Alea berusaha mengingat-ingat, tapi ia yakin belum pernah bertemu sebelumnya dengan cewek yang kini melototinya penuh rasa tidak suka.

"Apa-apaan, sih, lo?" Meski mood-nya sedang hancur, Ratih tidak terima sahabatnya diperlakukan seenaknya seperti itu. Ia menepis tangan cewek itu dari pundak Alea.

"Lo jangan ikut campur!" Cewek cantik berkulit putih bersih itu mengacungkan telunjuk ke arah Ratih. Saat itulah Alea membaca nama sekolah lain di badge seragamnya.

Terang saja emosi Ratih langsung tersulut. Ia hendak maju, tapi Alea menahannya.

"Maksud lo apa, sih?"

"Jangan pura-pura bego. Gue lihat lo di toko buku sama Gilang tadi malam."

"What? Jadi tadi malam lo jalan sama Gilang?" Ratih menimpali dengan kening penuh kerutan. Ia butuh penjelasan dari Alea secepatnya.

"Kami ketemu di sana, sama sekali nggak janjian."

"Di depan gue, lo selalu nunjukin sikap seolah tidak tertarik sama Gilang, tapi kalian malah jalan di belakang gue?" Kali ini Ratih tak perlu menunggu sanggahan dari Alea, ia berlari ke arah mobilnya.

Alea hendak menyusul, tapi cewek itu lebih dulu meraih pergelangan tangannya.

"Gue belum selesai sama lo!" semburnya setengah membentak.

"Aira, lepasin!" teriak Gilang sambil berlari menghampiri dua cewek yang sedang bersitegang.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar