Kamis, 18 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 4)

 


Tuhan ... mengapa ciptaan-Mu yang satu ini selalu penuh pesona?


---


Perjalanan Bandung-Bogor benar terjadi sesuai rencana mereka. Satu per satu dari kami maju menceritakan kejadian konyol yang pernah dialami masing-masing. Yang maju pertama tentu saja Nila. Seperti biasa, gadis bertubuh mungil itu bersemangat dalam segala hal. Dengan pede ia menceritakan sifat pelupanya. Lebih tepatnya ia pernah lupa memakai celana dalam waktu SMA. Semua terbahak, termasuk sopir bus yang sedari tadi fokus ke jalanan yang cukup padat. Sahabatku itu memang ajaib. Mungkin ia satu di antara seribu perempuan yang berani menceritakan kejadian se-horor itu di depan umum.

Setelah selesai bercerita, lebih tepatnya mengocok perut kami, Nila kemudian menunjukku untuk maju ke depan. Ternyata memang seperti itu aturannya: menunjuk teman selanjutnya. Sial. Aku belum kepikiran untuk menceritakan apa-apa. Mau tidak mau aku harus bercerita, karena saat ini aku sudah berdiri tepat di posisi Nila tadi.

"Aku pernah salah masuk toilet. Karena disibukkan dengan sesuatu di ponsel, aku jalan sambil nunduk dan malah nyasar ke toilet cowok." Demikian ceritaku yang hanya disambut senyum lebar beberapa orang. Memang sangat klise dan tentu saja tak seheboh cerita Nila tadi.

Setelah selesai, aku berniat menunjuk Ruwanta, yang matanya tak pernah lepas memandangku selama bercerita tadi. Tapi, aku malah menunjuk Tio, lelaki berambut kribo yang duduk di sampingnya. Tio salah satu sahabat terdekat Ruwanta. Mungkin karena mereka kebetulan sekamar di asrama.

Entahlah. Cerita teman-teman yang maju selanjutnya, aku tidak begitu menyimak. Pikiranku masih tersisa di rumah, tentang Mama dan perubahannya yang keterlaluan. Fakta perselingkuhan dan kematian Papa berhasil menyuramkan sebagian masa putih abu-abuku. Setiap hari aku menuai cibiran. Rasanya sesak.

Di masa-masa sulit itu Nila selalu hadir menguatkan. Aku benar-benar beruntung memiliki sahabat sepertinya. Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Karena itu, perihal perubahan sikap Mama, aku tak pernah bercerita kepada siapa pun. Kecuali Nila. Dari dulu aku memang tidak bisa menyembunyikan apa pun dari gadis berambut sebahu itu.

"Maaf, aku tidak punya pengalaman konyol yang bisa kuceritakan. Bisakah kuganti dengan cerita lain?"

Perhatianku tersita sepenuhnya setelah mendengar suara tadi. Aku hafal betul, suara bas milik Ruwanta. Lelaki yang selalu memesona di mataku itu berdiri di depan, tampak tengah menyiapkan sebuah cerita.

"Hari pertama kuliah tentu kalian memiliki pengalaman berkesan yang berbeda-beda. Begitu pun denganku. Bukan karena gelar mahasiswa, lingkungan atau teman-teman baru. Tapi karena hari itu aku menemukan sekuntum bunga di taman, berkelopak kecil dengan semburat warna ungu yang menyejukkan."

Semua mata terfokus pada Ruwanta, bertanya-tanya. Sedang aku, entah apa yang tumbuh di dada saat mulai mengerti ke mana arah kalimat lelaki berdada bidang di depan sana. Entah ada alasan apa ia malah menceritakan pertemuan pertama kami kala itu.

"Selanjutnya, bunga itu kerap muncul di hariku, bermekaran di setiap dinding waktu."

Hanya seperti itu, Ruwanta mengakhiri ceritanya. Hampir seisi bus dibuatnya melongo. Dengan konyol, Nila malah standing applause. Gadis ajaib yang kutemani bersebelahan itu menatapku dengan mata berpijar-pijar. Aku paham maksudnya. Aku menunduk, menyembunyikan senyum simpul yang menguasai sepasang bibir. Perjalanan ini mendadak indah. Katakan bahwa aku sudah gila, tapi aku melihat petunia di mana-mana, memenuhi trotoar sepanjang laju bus.

Hari ini, di atas bus yang mengantarkan kami ke tempat berlibur, lagi-lagi lelaki beralis tebal itu membuatku bertanya-tanya. Ia selalu seperti itu, memberi sinyal, menyampaikan sesuatu secara tersirat. Selama tiga tahun lebih, aku tak pernah mencoba dekat dengan lelaki mana pun. Aku terpenjara dalam dekapan pesona Ruwanta yang terkadang membuatku merasa bodoh. Aku mampu merasa hidup dalam halusinasi, mengikuti alur kisah yang samar-samar tanpa kepastian. Tak bisa disebut bahagia untuk itu. Namun, aku menikmatinya.

Ruwanta pun tak pernah benar-benar menjalin cinta dengan gadis mana pun. Meski sesekali berembus kabar ia tengah dekat dengan seseorang, ia selalu menepis tanpa kuminta setiap kali kami bertemu. Seolah ia paham, aku gerah dengan kabar itu. Bila demikian, bukankah ia menyimpan rasa serupa yang kupendam? Tapi, aku butuh kepastian. Sampai kapan pun kami hanya akan jalan di tempat bila seperti ini. Tidakkah ia mengerti hal ini sungguh menyiksa? Haruskah aku bicara duluan? Itu tidak mungkin.

***


Vila keluarga Nila yang akan kami tempati selama di Bogor tergolong mewah. Bangunan bernuansa putih tulang itu berlantai dua dengan delapan kamar tidur. Kami berkumpul di ruang tengah, baru tiba lima menit yang lalu. Selaku tuan rumah, Nila langsung membagi kamar tidur. Para lelaki menempati kamar di lantai dasar, sementara gadis-gadis di lantai atas. Selaku ketua rombongan, Ruwanta membacakan agenda selama lima hari ke depan. Semua bersemangat. Sepertinya liburan ini benar-benar akan menyenangkan.

Setelah mendapat pembagian kamar, kami langsung istirahat. Ada yang menikmati musik lewat earphone, baca buku, teleponan, main game, dan tak sedikit juga yang memilih tidur. Mengingat sepanjang perjalanan tadi diisi dengan berbagi pengalaman dan dilarang tidur.

Aku menyendiri di balkon, menikmati pemandangan hijau pepohonan yang berdiri kokoh di sekitar vila. Pikiran tentang Mama sesekali masih membekuk, betapa pun keras usahaku untuk mengabaikannya. Aku merindukan Mama yang dulu. Seorang ibu yang tak hanya memiliki peran layaknya ibu pada umumnya, tapi juga bisa diajak berbagi.

"Kita ke sini untuk liburan, kamu malah bengong. Kenapa lagi?" Nila duduk bersisian. Tadi kukira ia sedang tidur.

"Sebenci apa pun kamu terhadap perubahan sikap mama kamu, tapi kita juga tidak pernah tahu sebesar apa luka yang menganga di hatinya. Perempuan mana yang tidak akan gila, kematian dan fakta perselingkuhan suaminya menerpa di saat bersamaan." Nila memang ajaib. Hanya dengan melihat raut wajahku, ia bisa menebak isi pikiranku.

"Mama kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka. Di balik sikap liarnya, tanpa sepengetahuan siapa pun, bisa jadi tangis-tangis perih mewarnai malamnya. Suatu saat ia akan kembali menjadi ibu yang kamu banggakan dulu. Tapi nanti, setelah keadaan memastikan tak satu pun sisa luka di hatinya yang akan bertunas dan tumbuh lagi." Nila berucap pelan, seirama tepukannya di pundakku. Lagi-lagi ia berhasil menenangkanku. Kehadiran Nila adalah salah satu cara Tuhan menyayangiku. Aku patut bersyukur.

"Terkadang kamu teramat bijak. Aku kagum. Tapi tidak jika kamu masih menyembunyikan sosok Beruang Kutub itu."

"Tuh, kan, ujung-ujungnya ...." Tepukan terakhir Nila sengaja dibikin lebih keras dari sebelumnya, karena aku tiba-tiba beralih topik. Nila kembali ke dalam setelah memastikan aku baik-baik saja. Ia paham, aku butuh waktu untuk sendiri.

Sepeninggal Nila, petikan senar gitar menggapai pendengaranku. Aku melongok ke bawah mencari sumber suara. Di pojok halaman, duduk di atas dipan bertemankan secangkir kopi, aku menemukan Ruwanta. Ia sedang memainkan melodi ringan. Tuhan ... mengapa ciptaan-Mu yang satu ini selalu penuh pesona?

Aku menyamankan posisi, bermaksud menikmati permainan gitar Ruwanta dari kejauhan. Aku ingat melodi itu. Ia juga pernah memainkannya di taman kampus. Beberapa kali. Sepertinya irama tak berlirik itu telah menjadi candu baginya.

"Apa judul lagunya?" tanyaku saat pertama kali memergokinya tengah memainkan melodi itu.

"Ini hanya melodi tanpa lirik," jawabnya tanpa berhenti memetik senar. "Aku menemukan melodi ini dalam kegamangan, ketika masa depan tampak abu-abu dan menolak untuk dijajaki," imbuhnya, masih dengan iringan melodi yang semakin didengar semakin enak.

Apa coba maksudnya? Bukan Ruwanta namanya bila tak penuh misteri. Aku memilih turut menikmati melodi yang ia mainkan ketimbang menanyakannya lebih jauh. Sampai sekarang pun, ia tetap misteri.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar