Sabtu, 20 Januari 2024

Benih Terlarang (Bab 6)

 


Lelaki itu ... aku selalu tidak mengerti bagaimana caranya mencintaiku.


---


Aku bangun, mengikuti ritual sarapan bersama mereka. Aku tak yakin benar-benar tidur tadi. Setelah puas menemani Ruwanta menikmati bintang, aku memang kembali ke kamar menjelang pagi, memaksakan untuk tidur. Sepertinya memang berhasil tidur sebentar, meski bayangan senyum si pemilik mata elang itu tak pernah beranjak.

Sarapan pun ada aturannya, tidak boleh makan seenaknya. Sesuatu yang dimakan harus seragam dan serentak, sesuai urutan yang telah ditentukan. Pertama-tama makan buah, minum susu, dan diakhiri sepotong roti bakar tanpa selai. Selainya menyusul setelah rotinya tandas. Gila. Lama-lama liburan ini tak ubahnya sebuah pelatihan militer. Tapi ide yang tercetus entah dari kepala siapa ini, kami berhasil menikmatinya. Ini benar-benar bukan liburan biasa.

Aku mengecek ponsel setelah menghabiskan makananku. Aku hanya menemukan ucapan selamat pagi dari Yudit di WA. Mama benar-benar tidak mencariku.

Agenda hari ini outbound. Karena lokasinya tidak terlalu jauh, kami memilih berangkat menggunakan motor sewaan. Aku berharap bisa berangkat bareng teman berkudaku kemarin. Tapi Tio-si lelaki kribo-sudah lebih dulu meloncat ke boncengan Ruwanta. Aku lekas mengambil alih salah satu sepeda motor yang masih nganggur, alih-alih meredam kekecewaan. Nila serta-merta meloncat ke boncenganku dengan girang. Tangannya langsung melingkar di pinggang, meminta segera berangkat.

"Yuk!" ucapnya, kemudian nyengir.

Kami menyusuri hamparan kebun teh sebelum tiba di jalan raya yang cukup padat. Kami sengaja memilih pusat outbound yang ramai agar bisa berbaur dengan pengunjung lain. Setibanya, kami menyewa pondok berkamar satu untuk sekadar mengamankan barang-barang berharga. Setelahnya, kami langsung berbaur, mencoba berbagai wahana yang ditawarkan. Nila sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut, nyaris mengabadikan setiap langkah kami.

Aku tidak begitu suka aktivitas luar ruangan semacam ini. Namun, kali ini mereka berhasil membuatku menikmatinya. Setelah ketagihan dengan beberapa wahana sebelumnya, kecelakaan ringan pun terjadi saat mencoba wahana sky run. Keseimbanganku tidak begitu bagus ketika meniti balok besi yang dipasang setinggi delapan meter. Aku pun terpeleset. Untunglah, tali pengaman yang dipasang oleh instruktur tadi benar-benar berguna.

Meski demikian, sepertinya ada sedikit masalah di kaki kiriku. Kurasakan pergelangannya berdenyut-denyut. Sakit. Ternyata benar, setelah diturunkan, aku kepayahan untuk berjalan. Kakiku terkilir.

"Kamu nggak apa-apa? Bagian mana yang sakit?" telisik Nila saat melihat mimik tak beres di wajahku. Ia memang selalu menyimpan rasa khawatir berlebih terhadap segala hal.

Aku hanya menggeleng, kemudian memintanya memapahku kembali ke pondok penyimpanan barang-barang kami. Sebisa mungkin aku tidak ingin merusak kesenangan teman-teman yang lain.

Melihat tubuh mungil Nila agak kewalahan, Ruwanta berinisiatif menggantikannya. Ia meraih tangan yang kutumpangkan di pundak Nila.

"Sini, biar aku saja," ucapnya kemudian.

Bukannya memapah, Ruwanta malah menggendongku.

"Mau aku temani?" tanya Nila sebelum Ruwanta mengawali langkah, masih dengan ekspresi sekhawatir tadi.

"Nggak usah. Kamu sama yang lain lanjut aja. Setelah baikan, aku gabung lagi, kok."

"Kalau butuh apa-apa, langsung telepon, ya."

Aku mengangguk. Ruwanta mulai melangkah.

Ruwanta menggendongku hingga ke dalam kamar. Kemudian perlahan-lahan mendudukkanku di tepi ranjang. Ia keluar sebentar. Sekembalinya, ia membawa segelas air putih dan kotak P3K. Setelah menyodorkan segelas air tadi, ia langsung beraksi dengan kotak berwarna putih yang entah di mana menemukannya. Barangkali memang sengaja dipersiapkan oleh pihak pengelola.

Ia mengeluarkan sebotol minyak urut dan langsung mengoleskannya ke bagian yang tampak mulai bengkak. Ruwanta mulai mengurut pergelangan kakiku yang terkilir. Lumayan sakit, membuatku meringis.

"Tahan, ya. Ini nggak akan lama," ucapnya sambil menuang beberapa tetes lagi minyak urut tadi ke telapak tangannya.

Setelah beberapa menit terasa sakit, bahkan nyaris tak tertahankan, perlahan-lahan berangsur membaik. Sekarang benar-benar tidak sakit lagi. Lelaki ini cukup berpengalaman rupanya. Ia masih melanjutkan aksinya, dengan senyum yang sesekali ditunjukkan padaku. Entah sengaja atau tidak, senyuman itu terlalu indah untuk seseorang yang tengah mengurut. Setelah melewati rasa sakit tadi, aku baru mampu membalas senyumannya. Terima kasih yang tersirat.

Tatapan kami terpaut kemudian. Waktu mendadak terasa lambat, seiring gerakan tangan Ruwanta di pergelangan kakiku yang terasa berbeda dari sebelumnya. Ada hal aneh yang mengaliri tatapan kami, dengan cepat menyesaki rongga dada. Sesuatu yang tak mampu kurangkai dengan kata. Senyum kami redam, meski tatapan masih saling mendalami. Tarikan itu merangsek tanpa aba-aba, seketika mempertemukan bibir kami. Entah bagaimana mulanya. Selanjutnya, kami punya cara untuk menepis hawa dingin yang setia menunggangi Kota Bogor.



Perih itu, tak seharusnya kurasakan sekarang. Air mataku meleleh. Penyesalan dan sejumput rasa bahagia mengilhaminya di saat bersamaan. Aku merasakan tubuhku dilumuri dosa paling akut.

Ruwanta baru saja beranjak ke kamar mandi. Tampak tergesa-gesa setelah berhasil mencapai puncak permainan. Ia sedang membersihkan diri. Dari sini, suara guyuran air terdengar jelas. Aku bangkit, meski masih letih. Kupunguti pakaianku yang berserakan di lantai. Setelah terpasang rapi, aku kembali menjatuhkan diri ke pembaringan. Aku tidak berselera melanjutkan aktivitas hari ini. Aku benar-benar kalut. Semuanya terjadi begitu cepat dan di luar kendali.

Bagaimanapun terpesonanya aku sama Ruwanta, tak seharusnya kuserahkan kado terindah yang kupersiapkan untuk lelaki yang menikahiku di malam pertama nanti. Lantas, siapa yang harus disalahkan? Ruwanta sama sekali tidak memaksaku. Aku? Cinta jelas-jelas menolak untuk disalahkan.

"Aku minta maaf. Seharusnya aku bisa mengontrol diri." Ruwanta berucap sambil berpakaian sekembalinya dari kamar mandi.

Posisiku memunggungi Ruwanta. Aku menutup wajah dengan bantal. Ada dua hal yang kusembunyikan di sana: tangis dan malu. Tak perlu kulihat raut penyesalan, rasa bersalah, atau apa pun yang ingin ia tunjukkan. Semuanya sudah terjadi. Aku tak mampu berkata apa-apa.

Kudengar derap kaki Ruwanta menjauh. Entah akan kembali bergabung dengan rombongan, atau sekadar keluar untuk menenangkan pikiran.

***


"Bagaimana kakimu?"

"Udah nggak apa-apa, kok." Aku memaksakan tersenyum.

"Kirain parah. Sampai-sampai kamu nggak bisa gabung lagi."

Udara tidak terlalu dingin malam ini. Aku dan Nila tengah menikmati teh hangat di balkon. Yang lain sedang nonton tivi di bawah. Aku melirik dipan di pojok halaman. Kali ini tak ada Ruwanta di sana. Sedang apa ia sekarang? Apa yang ia pikirkan? Rasa ingin tahuku segala hal tentang Ruwanta berlipat ganda dari sebelumnya, sebelum kejadian tadi siang.

"Padahal tadi seru banget, loh. Masih banyak banget wahana yang sayang jika dilewatkan."

Bukan Nila namanya jika tak heboh. Ia hanya tak tahu bencana yang telah menimpaku tadi. Aku yakin, ia membaca ketidakberesan di wajahku, makanya lebih memilih menemaniku ketimbang ikut seru-seruan dengan yang lain di bawah. Mungkin di pikirannya, penyebab murungku masih sisa insiden terkilir tadi siang. Benar, semua memang berawal dari insiden itu. Ah, sudahlah. Sebisa mungkin kucoba untuk tidak menyesal, atau aku akan hancur dengan sendirinya.

***


Kupastikan gagal menikmati hari libur yang tersisa, seperti apa pun agenda yang telah disusun. Rasanya mau pulang saja. Butuh waktu untuk merenung, memahami dosa besar yang telah kuperbuat. Terlebih hari ini. Kami mengunjungi salah satu pasar tradisional untuk hunting berbagai jajanan khas penduduk setempat. Aku suka kue-kue tradisional, hanya saja perubahan sikap Ruwanta membuatku hilang selera. Meski tak terbaca oleh yang lain, ia seolah menghindariku. Ia mendadak asing, bukan si pemilik mata elang yang kukenal selama ini.

Aku membayangkan ia akan menawariku beberapa jenis kue untuk dicicipi bersama, meminta pendapatku sebelum memutuskan untuk membeli. Biasanya selalu seperti itu. Tapi kali ini, melihatku saja jarang. Ia tampak jaga jarak dan keseringan sok sibuk dengan hal-hal yang tidak penting. Aku juga kehilangan tingkah konyolnya. Liburan ini tidak asyik lagi.

Di hari berikutnya, di berbagai kesempatan aku berusaha mendekati Ruwanta. Aku mulai muak. Tingkahnya sangat biasa. Ia berhasil menganggap kejadian itu tidak pernah ada. Semudah itukah? Setelah sesuatu paling berharga dari diriku ia koyak, tidak bisakah ia memedulikan perasaanku? Yang kami perbuat itu bukan permainan, yang setelah usai lantas dilupakan atau beralih ke permainan lain. Aku harus mengajaknya bicara serius, tentang aku di matanya setelah ia menyesapi keindahan tubuhku. Tapi susah, ia tak pernah terlihat sendiri. Sedang aku tak ingin siapa pun tahu masalah ini. Termasuk Nila.

Aku menyendiri di balkon, tempat yang semakin kusuka sejak Ruwanta membuatku kalut dengan sikapnya yang tak biasa. Senja segera tiba, meracuni langit dengan semburat jingga yang memesona. Pikiranku melambung jauh, kembali ke awal pertemuan dengan Ruwanta. Namun, sulit kutemukan awal ia menjadikanku tawanan pesonanya. Serentetan kenangan lucu, manis, dan segala hal berkelebat kemudian. Kurasa kisah kami telah memasuki babak baru setelah sama-sama larut dalam dekapan setan. Setelah ini ... entahlah! Aku tak menemukan titik terang untuk hubungan kami. Lebih tepatnya, ikatan yang kuperjuangkan selama ini.

Ponselku bergetar. WA dari Yudit mengangkatku dari lamunan.

Yudit: Bagaimana liburannya? Semoga menyenangkan. Cuaca di Bogor tentu selalu dingin. Kalau mau beraktivitas di luar ruangan, jangan lupa pakai sweter, ya! Ditambah syal pemberianku juga boleh. Hehehe .... Jaga diri kamu baik-baik!

Dari mana Yudit tahu aku ada di sini? Ah, sudahlah. Ia memang selalu tahu segala hal tentangku. Lelaki itu ... aku selalu tidak mengerti bagaimana caranya mencintaiku. Ia tetap baik dan perhatian seperti dulu, bahkan setelah jelas-jelas aku membohongi sekaligus menolak ajakannya ke Bali. Sepintas aku teringat syal yang ia maksud. Syal ungu bermotif kelopak petunia. Entah kusimpan di mana benda malang itu. Aku tidak pernah memakainya.

Kali ini jemari tanganku tergerak untuk mengetik pesan balasan.

Senja: Terima kasih!

Terkirim. Tiba-tiba air mataku menderas.

Aku gagal jaga diri, Yud ....

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar