Minggu, 07 Januari 2024

Rahasia Idola (Bab 8)

 


Alea memang jarang membawanya ke sekolah. Tapi mengingat sikap Ratih yang seolah jaga jarak dengannya, hari ini ia benar-benar butuh mobil-mobilan itu selalu di dekatnya sebagai sumber energi. Meski tak ada penjelasan lebih lanjut, mobil-mobilan itu selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.

Alea masih belum tahu pasti kronologis hingga mobil-mobilan itu bisa berada di tangan Gilang.

Alea : Kok, bisa sama lo?

Gilang : Keluar, gih! Nggak seru ngobrol lewat ketikan.

Keluar? Alea mengernyit. Ia merapat ke jendela, lekas menyibak gorden dan menatap lurus ke jalanan depan rumahnya. Meski samar terhalang rimbun tanaman hias, Alea mengenali mobil Gilang di sana, mengilap di bawah penerangan lampu jalan.

Alea bergegas keluar. Kali ini ia tidak terlalu terkejut dengan ulah Gilang. Anggap saja mulai terbiasa, atau malah menyukainya. Lebih dari itu, ia hanya ingin mobil-mobilannya kembali secepatnya.

Gilang menyenderkan sisi kanan tubuhnya di mobil ketika Alea tiba di depannya.

"Mana mobil-mobilan gue?"

"Buru-buru amat." Gilang beralih duduk di kap depan mobil. Ia menepuk tempat di sampingnya sambil tersenyum kepada Alea.

Paham maksudnya, Alea mendekat. Tapi tidak ikut naik, hanya bersandar.

"Nih!" Gilang mengembalikan mobil-mobilan itu kepada tuannya.

Alea menyambarnya dengan ekspresi paling lega.

"Jarang-jarang, loh, ada cewek yang suka main mobil-mobilan. Apalagi udah segede lo. Biasanya juga mainin hati cowok."

Mendengar ucapan barusan, Alea termenung sejenak. Sedetik kemudian, alih-alih merespons omongan melantur cowok di sampingnya, ia malah mendekap mobil-mobilannya dengan ekspresi menggemaskan. Gilang sangat menikmati pemandangan yang berlangsung sekitar lima detik itu.

"Pengen, deh, jadi mobil-mobilan itu, biar bisa didekap sama lo." Gilang belum pernah merasa sedamai ini, melihat tingkah polos Alea yang belum pernah ditemukannya di cewek lain.

"Apaan, sih, lo?" Alea meninju lengan Gilang.

Gilang pura-pura kesakitan, buru-buru menggosok bekas tinju Alea. "Lo harus tanggung jawab kalau sampai tulang gue retak."

"Nggak usah lebay!"

Mereka terbahak. Dan sekali lagi, tawa lepas Alea mengacaukan kerja jantung Gilang.

"Mobil-mobilan itu penting banget, ya, buat lo?" suara Gilang agak serius kali ini.

Alea mengangguk mantap. "Banget!"

"Kalau gitu, dijaga, ya! Gimana kalau jatuhnya bukan di mobil gue?"

"Thanks, ya! Tapi, kok, lo tahu, sih, ini punya gue?"

"Lo yang terakhir naik mobil gue. Dan gue nggak sempat memikirkan kemungkinan lain selain lo." Gilang merebahkan tubuhnya di kaca depan mobil, membantali kepalanya dengan lengan kanan. Tatapannya langsung menemukan langit malam yang kosong. Kilau bintang tersamarkan oleh pantulan cahaya lampu jalan.

Kendaraan masih lalu-lalang di samping mereka, tapi ada hening yang menggantung sesaat.

"Lo nggak lupa untuk ngasih gue jawaban, kan?"

Seketika Alea meluruskan punggungnya, mendadak kaku dan seolah lupa caranya bicara. Ia beranjak tiga langkah mendekati pintu pagar rumahnya. "Lo mau masuk dulu atau langsung pulang?" tanyanya tanpa menoleh.

"Langsung pulang aja kalo gitu cara lo nawarin. Salam buat mama-papa lo." Gilang turun dari kap mobil.

Sepintas Alea menoleh, mengangguk dan tersenyum seadanya.

"Selamat malam, Alea. Sampai jumpa besok."

Lagi-lagi Alea hanya mengangguk, lalu mengambil langkah panjang-panjang melewati pagar dan halaman. Dari balik jendela ruang tamu, Alea mengintip, memastikan cowok itu benar-benar sudah menyingkir dari sana sebelum melanjutkan langkah ke kamar.

Alea tersentak saat berbalik, Mama-Papa tepat di belakangnya—ikut mengintip Gilang.

"Ih, Mama-Papa bikin kaget aja."

"Siapa, sih?" tanya Hadi pura-pura penasaran.

"Papa kepo, deh!" Alea mencolek manja dagu Hadi.

"Itu Gilang, Pa, cowok tampan dan santun itu."

"Yang tadi sore bawain bakmi Jawa?"

Rahma mengangguk.

"Kok, nggak diajak masuk?" Tatapan menuntut penjelasan Hadi bergeser ke arah Alea.

"Hati-hati, Pa, Mama naksir, tuh!"

Hadi pura-pura melototi istrinya sambil berkacak pinggang.

Alea memasang senyum kemenangan, lalu beranjak ke kamar, meninggalkan sepasang suami istri yang tidak pernah bosan menjailinya. Hadi dan Rahma adalah segalanya bagi Alea. Ia sangat bersyukur memiliki orangtua yang bisa memosisikan diri sebagai sahabat seperti mereka.

Alea meletakkan mobil-mobilan itu di tempat seharusnya, di pojok meja belajar. Setelah hari ini ia akan berpikir dua kali untuk membawanya ke mana-mana.

Ia mengeluarkan ponsel dari saku samping piamanya, lalu menjatuhkan diri di tempat tidur. Ia membuka Wattpad, membaca puisi-puisi terbaru Gilang. Kemungkinan puisi-puisi itu akan termaktub di buku keduanya nanti.

Alea memang selalu senyum-senyum sendiri saat berhadapan dengan puisi-puisi Gilang, tapi belum pernah selebar ini. Keusilan serta senyum renyah pemilik mata sipit itu mulai menghantuinya akhir-akhir ini.

Alea menolak mengartikan debar tak wajar di dadanya. Tapi sampai kapan?

***

Delon menghentikan motornya sedepa di depan Alea. Ia membuka helm lalu mengernyit, menyadari cewek itu tampak tidak berniat naik ke boncengannya.

"Kok masih diam di situ? Ratih masih ngambek, kan? Buruan naik, entar telat, loh."

Terdengar decitan lembut mesin mobil yang perlahan mereda dari arah belakang. Delon menoleh, mendapati Gilang baru saja muncul dari balik pintu kemudi. Ia melangkah mendekat dengan kepakan senyum sempurna.

"Sori, Man, mulai hari ini, Alea pergi-pulang sekolah bareng gue." Gilang menepuk pelan pundak Delon.

"Kalian pacaran?"

Alea menggeleng cepat, tapi Gilang malah mengangguk antusias. Delon menatap mereka bergantian. Aneh!

"Lo nggak sekalian ikut kami? Motor lo tinggal di sini aja, pulang sekolah ambil lagi."

"Makasih!" Delon memasang asal helmnya lalu buru-buru menarik gas menjauh dari dua makhluk membingungkan pagi ini.

***

Pelajaran pertama Kimia, detik-detik berat yang butuh stamina khusus untuk bisa melewatinya dengan selamat. Untuk pelajaran yang dipegang oleh guru ter-killer ini, Alea sangat memerhatikan segala macam tugas-tugasnya dengan baik. Sekali lupa mengerjakan PR, berarti selamat datang di neraka. Bisa-bisa jadi sasaran pelototan sepanjang semester.

"PR tolong dikumpulkan, dioper dari belakang ke depan. Tidak usah rusuh." Pak Umar berkata santai dengan mimik selalu sama, terlihat penuh beban.

Alea lekas mengeluarkan buku PR-nya.

"Yang belum mengerjakan, maju sekarang juga," imbuhnya penuh penekanan.

Alea hendak mengoper buku PR-nya ke depan, ketika Ratih berjalan melewatinya sambil menunduk. Ia berhenti di depan meja guru.

Pak Umar membuang napas kesal yang nyaris merontokkan kumisnya. "Ada lagi?"

Alea memasukkan kembali buku PR-nya lalu meninggalkan bangkunya dan bergabung di sisi Ratih.

"Ada lagi?" Pak Umar setengah teriak sambil melempar pandangan ke seluruh penjuru kelas.

Kelas hening. Hanya terdengar ketukan pelan sepatu beberapa siswa yang duduk di bangku paling depan sedang mendekati meja guru untuk menaruh buku yang sudah terkumpul.

"Kalian ini ...." Tampang Pak Umar sudah seperti serigala yang hendak menerkam mangsa.

***

Maka di sinilah mereka, di tengah lapangan basket sedang hormat ke arah matahari pukul delapan. Meski kandungan sinarnya masih sehat, sengatannya tidak boleh diremehkan. Sehelai dua helai rambut rasanya sudah terbakar.

"Kok, tumben, lo nggak ngerjain PR?" pelan Alea sambil menyeka keringat di dagunya, tidak yakin Ratih akan meresponsnya.

"Bukan nggak ngerjain, tapi bukunya ketinggalan. Salah masukin ke tas. Yang kebawa malah buku PR Fisika."

Alea sungguh lega. Ratih memberi respons, pertanda baik. Semoga kedongkolan sahabatnya itu benar-benar sudah surut.

"Lo sendiri, ngapain ikut-ikutan dihukum? Gue yakin, lo pasti ngerjain PR dan nggak mungkin lupa atau pun salah masukin buku."

"Karena gue sahabat lo. Bukankah dari dulu teori persabatan selalu sama? Senang bareng, susah bareng, gila juga bareng."

Masih dengan posisi hormat, Ratih melirik sekilas, mendapati senyum tulus Alea mengembang. Detik itulah pertahanan Ratih runtuh. Ia beralih mendekap Alea, sangat erat. Seperti awal perjumpaan setelah bertahun-tahun terpisahkan.

"Maafin gue." Seketika sudut mata Ratih basah.

Alea membalas dekapan Ratih, menepuk pelan punggungnya.

"Nah, gitu, dong. Damai itu indah, kan?" Suara Delon meleraikan dekapan mereka. "Gue ikutan serba salah kalau kalian marahan." Delon menyodorkan dua botol soft drink yang disambut keduanya dengan senyum berterima kasih.

Setelah membuka tutupnya, keduanya langsung meneguk isinya.

"Apes banget kalian hari ini. Kok bisa kompakan dihukum berdiri di tengah lapangan gini? Pake hormat segala pula!"

Keduanya tidak merespons, masih sibuk minum.

"Woe ... apa-apaan ini?" Itu suara Pak Umar.

Keduanya nyaris tersedak. Mereka lekas kembali ke posisi hormat dan menyembunyikan botol minuman yang isinya hampir habis, dan sepertinya telanjur ketahuan. Sedang Delon, mendadak menjelma jadi atlet lari jarak pendek hingga menghilang di ujung koridor. Meski berhasil kabur, nasibnya tentu saja tidak akan baik-baik saja setelah ini.

"Alea, gue benar-benar minta maaf, ya. Gue sadar, sikap gue kemarin itu kekanak-kanakan banget," ungkap Ratih setelah lolos dari pelototan Pak Umar yang sudah kembali ke kelas.

"Udahlah, nggak usah dibahas lagi." Alea kembali melayangkan senyum bersahabat.

"Gue emang nggak bakat lama-lama ngambek sama lo."

Keduanya tertawa.

"Oh ya, lo sama Gilang, gimana? Gue udah ikhlas, kok. Perasaan yang kemarin itu kayaknya masih kasus lama, sesaat."

Alea mendapati sosok Ratih yang sesungguhnya sudah kembali. Maka mengalirlah kepo-nya yang lagi-lagi membuat Alea kewalahan meladeninya. Tapi Alea senang, sebab hal itulah yang terasa hilang belakangan ini.

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar