Jumat, 05 Januari 2024

Rahasia Idola (Bab 6)

 


Fix, Alea akan menghabiskan jam istirahat di perpustakaan hari ini. Sepertinya Ratih masih tidak ingin diganggu, ia menghilang entah ke mana. Sedang Delon lagi latihan dengan tim futsalnya.

Dalam hening khas ruang perpustakaan, Alea berusaha menikmati bacaannya dengan pikiran yang sebenarnya sedang tidak cocok diajak membaca. Alea menyadari kehadiran seseorang mengisi bangku kosong di seberang meja di depannya. Dan tanpa melirik, Alea tahu, itu Gilang. Alea mengutuk kemampuannya yang terlalu cepat mengenali aroma tubuh cowok itu.

"Gue pilih nomor dua," ucap Alea tanpa mengalihkan pandangan dari halaman buku yang terbuka di depannya. Ia pikir Gilang akan menagih soal option kover tadi pagi.

"Nggak sopan, kali, bicara sama orang tanpa menatap matanya." Kalimat barusan memaksa Alea menegakkan kepala dan mempertemukan tatapannya dengan tatapan Gilang. Tatapan hangat, seolah dari sanalah matahari terbit setiap pagi. Cewek mana pun pasti betah berlama-lama dengan tatapan itu. Termasuk Alea sebenarnya. Hanya saja ia belum menemukan cara yang tepat untuk menikmatinya.

"Tahu dari mana gue di sini?"

"Entah kapan Tuhan menganugerahi kemampuan ini, atau mungkin semacam kutukan. Yang jelas, akhir-akhir ini gue ngerasa jadi semut, yang selalu mampu menemukan senyum semanis senyummu."

Alea melongo, lalu bergidik. Sumpah, itu gombalan tergeli yang pernah didengarnya. Tapi tunggu, Gilang menggombalnya? Menyadari hal itu, Alea tersipu. Ia mengangkat bukunya tinggi-tinggi demi menutupi rona wajahnya.

"Kirain lagi belajar, tahu-tahunya baca novel." Gilang terkekeh.

Alea cepat-cepat menurunkan bukunya lalu menempelkan telunjuk di depan bibir. Jangan berisik!

Alea sedang menoleh kiri-kanan, memastikan tidak ada yang terusik dengan kekehan barusan ketika Gilang tiba-tiba meraih kedua tangannya dan menggenggamnya. Sesaat Alea beku, terlebih saat sorot mata Gilang berubah. Tidak ada tatapan jail dan sok imut di sana, berganti semakin hangat dan menenangkan. Hal itu seketika mengacaukan aliran oksigen di tubuh Alea. Ia menarik napas pendek-pendek.

"Gue mampu menulis ribuan bait puisi, tapi lenyap seketika jika harus gue ucapkan di depan lo. Karena perasaan gue bukan sesuatu yang butuh dimanipulasi, tidak perlu dimanis-maniskan. Ini kesungguhan!" Gilang menarik napas panjang, memastikan paru-parunya menampung oksigen yang cukup. "Gue sayang sama lo!" pungkasnya kemudian, masih dengan tatapan yang seolah memetakan kesungguhan.

Alea lekas meleraikan tangannya dari genggaman Gilang. "Maksud lo?"

Gilang mengernyit. "Lo mampu ngulas novel yang tebalnya bisa dijadiin bantal, tapi gagal paham dengan kalimat sependek tadi?" tukasnya.

Itu memang pendek, tapi reaksinya dahsyat.

"Lo belum punya pacar, kan? Gue boleh, dong ngajuin diri."

Seenteng itu? Demi apa seorang Gilang Rendra, penulis buku puisi best seller, nembak cewek di perpustakaan?

"Gue sadar, tempatnya mungkin memang kurang pas. Tapi kalau bukan di sini, di mana lagi? Jangankan jalan, berangkat bareng ke sekolah aja, kamu nolak," tutur Gilang yang seolah mampu membaca pikiran Alea.

Seluruh kosakata menghilang di benak Alea. Ia hanya ingin menghilang dari hadapan Gilang secepatnya. Untunglah, bel pertanda jam istirahat berakhir berdering—menyelamatkannya.

Gilang mengerang pelan, mengutuk suara bel barusan.

Alea gesit merapikan buku-bukunya, lalu melangkah panjang-panjang meninggalkan ruang perpustakaan.

"Jam pulang nanti gue tunggu di parkiran. Kalau lo nolak pulang bareng, berarti lo juga nolak gue. Tapi kalau lo mau, artinya gue masih punya harapan."

Alea tidak berhenti, tapi sengaja memelankan langkah demi memberi kesempatan kepada Gilang untuk menuntaskan kalimatnya. Dan ia benar-benar menyesal telah mendengarnya.

***

Hingga jam pelajaran terakhir, Alea tidak bisa lagi fokus ke materi pelajaran, sekeras apa pun ia mencoba. Hanya kalimat terakhir Gilang di perpustakaan tadi yang memenuhi kepalanya. Dan ia harus menentukan pilihan sekarang juga. Bel pulang baru saja berdering.

Alea melangkah penuh keraguan, antara menuju mobil Gilang atau melesat ke arah gerbang, menyetop angkot, dan menjauh dari sekolah itu secepatnya. Langkahnya terhenti di ujung koridor. Arah jam dua belas pintu gerbang, arah jam dua area parkir. Setelah menimbang-nimbang, Alea memutar badan sedikit dan melangkah ke arah jam dua. Sial. Alea mengutuk kakinya yang seolah bekerja di luar perintah otak.

Kali ini harus Alea akui, suara hati jauh lebih berkuasa dibanding otak. Menolak pulang bareng berarti penolakan, yang sejujurnya tidak ingin Alea lakukan. Setelah ini juga bukan berarti mereka langsung jadian. Gilang masih memberinya kesempatan untuk berpikir. Apa salahnya pulang bareng? Alea mengupayakan argumen paling tepat, bentuk lain dari penolakan melabeli dirinya dengan kata "munafik". Alea menggeleng cepat, ia tidak munafik.

Gilang melepas earphone saat melihat Alea melangkah ke arahnya. Senyum kemenangan langsung terbit di wajahnya. Ia berusaha keras mengontrol diri agar tidak loncat-loncat kegirangan, sok biasa saja setelah mengira Alea tetap tidak mau diajak pulang bareng. Bahkan ia sudah menyiapkan plan B jika itu terjadi.

Gilang lekas membukakan pintu sebelum Alea berubah pikiran. Alea tidak tersenyum, tapi juga tidak cemberut. Setidaknya tidak ada ekspresi terpaksa di sana.

"Apa ini artinya ... kita sudah jadian?" pelan Gilang setelah mereka sudah lumayan jauh dari sekolah.

"Kalau gue mau, artinya lo masih punya harapan. Gitu kata lo di perpustakaan tadi. Bukan ja-di-an!" Alea memberikan penekanan penuh pada kata terakhir.

"Hadeeh .... Tahu gitu gue nggak perlu membelokkan kalimat tadi di detik-detik terakhir," keluh Gilang dengan ekspresi sempurna menyesal. "Tapi setidaknya masih ada harapan," imbuhnya cepat. Senyumnya kembali.

Selanjutnya kikuk. Gilang bingung harus mengangkat tema obrolan apa. Alea selalu menjawab pendek-pendek saat ditanya. Gilang menyentuh tombol hijau pada monitor berukuran sepuluh inci yang menempel di dasbor. Lagu "Ada Cinta" milik Acha-Irwansyah langsung mengalun.

Mengapa sulit mengaku cinta

Padahal ia terasa

Dalam rindu dendam

Hening malam

Cinta terasa ada

"Nggak ada lagu lain, ya? Jadul banget!" protes Alea buru-buru.

"Kesindir, ya?" Gilang menaikturunkan alis saat Alea menatapnya.

Alea lekas berpaling dan membuang pandang ke luar jendela.

Kenapa makin ke sini semua tingkah Gilang malah bikin gemes?

"Kok, malah mampir di sini?" protes Alea saat Gilang membelokkan mobilnya memasuki pelataran sebuah rumah makan Jawa.

"Makan dulu. Lo nggak lapar?"

"Lang, gue nggak biasa pulang terlambat. Mama pasti nyariin." Alea memasang tampang pura-pura cemas. Padahal keseringan juga main ke rumah Ratih sepulang sekolah.

"Gue bakal tanggung jawab. Nanti gue ngomong sama mama lo." Gilang melepas seat belt-nya lalu turun dari mobil. Sumpah, Alea tak mampu menolak lagi ketika Gilang membukakannya pintu sambil memasang senyum paling manis di bawah terpaan sinar matahari pukul dua. Kali ini Alea tidak hanya mengutuk gerakan kakinya, tapi seluruh tubuh yang begitu patuh pada apa-apa keinginan Gilang.

Alea cukup takjub pilihan Gilang jatuh pada rumah makan sederhana seperti ini, bukan restoran mewah yang hanya menyediakan makanan-makanan bule. Gilang seolah ingin menunjukkan, bahwa ia bisa tampil sederhana di balik kemasan hidupnya yang terbilang mewah.

Suasana rumah makan berkonsep pedesaan itu tidak terlalu ramai setelah lewat jam istirahat seperti ini. Mereka memilih meja yang berdampingan dengan jendela. Dari situ mereka bisa melihat beberapa bunga gantung yang sengaja dipasang si pemilik sebagai pemanis.

Jangankan untuk makan, sekadar melihat buku menu saja rasanya Alea tidak berselera. "Samain kayak lo aja!" katanya tanpa menoleh saat Gilang menyodorkan buku menu.

Sesaat kemudian, pelayan kembali menghampiri meja mereka dengan baki berisi dua porsi bakmi Jawa dan dua gelas jus jeruk di kedua tangan.

"Mas, tambah dua porsi lagi. Dibungkus, ya!" pinta Gilang setelah pelayan tadi selesai memindahkan isi bakinya ke atas meja.

Pelayan bertubuh gempal itu mengangguk seraya tersenyum ramah—mengiyakan.

Alea makan buru-buru, ingin cepat-cepat menghabiskan makanannya lalu pulang dan lekas tiba di rumah. Makan siang bareng Gilang seperti ini sungguh tidak ada dalam perencanaannya.

"Makannya pelan-pelan aja. Tempat duduk di sini nggak kena cas, kok."

Alea nyaris tersedak mendengar guyonan Gilang.

Gilang lekas menyodorkan minuman. Alea menyedotnya pelan-pelan.

Tangan Gilang beralih membersihkan sisa makanan yang menempel di sudut kiri bibir Alea. Ia tidak menggunakan tisu, langsung mengusapkan jempolnya. Saat itulah waktu di sisi Alea seakan terhenti. Dadanya kembali mendadak sesak. Wajahnya menghangat perlahan-lahan.

Mungkin berlebihan, tapi andai momen ini terjadi di bawah sinar bulan, pasti lebih romantis dari adegan paling fenomenal di film Titanic. Apa-apaan ini? Momen itu berlangsung tak lebih dari lima detik, tapi respons Alea berlebihan. Sepertinya ia harus mengurangi membaca novel romance untuk beberapa minggu ke depan.

***

Rahma sedang menonton serial India favoritnya di salah satu channel tivi swasta setelah menyelesaikan pekerjaan di dapur. Meski ia suka anak-anak, tapi menjadi guru SD tidak selalu menyenangkan. Kadang ia kewalahan menghadapi kenakalan murid-muridnya. Wajar jika sepulang mengajar, ia butuh quality time untuk menenangkan syaraf seperti sekarang. Ia hanya mengenakan daster dan mengikat rambutnya serapi mungkin, hingga tak sehelai pun yang menjuntai keluar. Kedua kakinya dinaikkan di atas meja, dipangkunya setoples keripik jagung hasil buatan sendiri.

Kepalanya sedikit mendongak, melihat jam dinding di atas tivi. Ia kepikiran Alea yang belum pulang. Padahal anak itu sudah mengabarinya sedang mampir makan siang bareng temannya, tetap saja ia tidak tenang sebelum anak gadisnya itu berada di rumah. Lagian tidak biasanya ia singgah makan siang. Kalau bareng Ratih, keseringan Ratih malah numpang makan siang di sini. Delon juga begitu.

Ia meraih ponsel, bermaksud menelepon Alea. Saat itulah tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Rahma meletakkan kembali ponselnya dan bergegas ke depan untuk membuka pintu.

"Selamat siang, Tante," sapa Gilang dengan senyum ala menantu idaman begitu pintu terkuak.

Rahma meneliti pemuda tampan di depannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Lalu tersenyum kikuk.

"Kenalin, Tante, saya Gilang, teman barunya Alea." Gilang mengulurkan tangan.

Rahma menyambutnya sambil berpikir. Sepertinya ia tidak asing dengan nama itu, sering mendengar Alea menyebutkannya. Tapi entah kapan. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk benar-benar mengingatnya.

"Maaf, Tante, Alea pulang terlambat karena saya ajak makan siang dulu." Gilang berucap sambil sesekali merundukkan kepala.

"Oh, nggak apa-apa." Rahma mengibas-ngibaskan tangannya di udara.

Alea melongo mendengar reaksi mamanya. Padahal ia sudah berharap Gilang mendapatkan peringatan.

"Oh ya, ini ada bakmi Jawa untuk Om dan Tante." Gilang menyodorkan kantong plastik di tangan kanannya sambil agak membungkuk.

"Wah, sudah lama Tante nggak makan bakmi Jawa." Rahma meraihnya lalu melongok sejenak untuk melihat isinya. "Makasih, ya!" imbuhnya dengan mata cerlang.

Lihatlah, betapa mudah Gilang menaklukkan hati perempuan berumur 41 tahun itu. Pasti bukan hanya karena disogok bakmi Jawa, pikir Alea.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Tante. Salam buat Om."

"Iya, nanti Tante sampaikan. Om juga pasti senang banget menerima bakmi ini."

Gilang meraih tangan Rahma dan menciumnya. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Rahma tampak terpesona dengan sikap santun Gilang. Ia terus memerhatikan pemuda itu hingga berlalu bersama mobilnya.

"Naksir, ya? Alea bilangin Papa, loh!" sembur Alea setelah mobil Gilang tidak terlihat.

"Hus, sembarangan kamu."

"Lagian reaksi Mama ke Gilang berlebihan banget. Bukannya marah karena anak gadisnya telat dipulangin, eh, malah senyam-senyum nggak jelas." Alea berucap sambil melangkah masuk. Rahma menyusul lalu menutup pintu di belakangnya.

"Tadi rencananya gitu. Tapi pas lihat wajah cute-nya, jadi nggak tega. Lagian Mama bingung gimana caranya marahin anak sesopan itu."

"Belum lagi bakmi itu, sejak kapan Mama suka bakmi?"

"Ini namanya menghargai pemberian orang. Masa Mama tolak, sih? Nanti biar dimakan Papa semua."

Alea menghempaskan diri di sofa ruang tivi.

"Lagian kamu aneh, deh. Pulang sama cogan, bukannya senang malah uring-uringan gitu." Rahma meneruskan langkahnya ke dapur untuk menyimpan bakmi pemberian Gilang.

Alea semakin yakin, Gilang memang memesona di mata semua perempuan, seumuran Mama sekali pun.

Rahma kembali ke ruang tivi membawakan Alea segelas air dingin.

"Eh, tapi serius dia teman baru kamu? Kok, Mama kayak nggak asing, ya, sama namanya? Gilang ...?" Rahma berusaha mengingat-ingat.

"Gilang Rendra, yang penulis puisi itu, loh, Ma," terang Alea setelah meneguk hampir semua isi gelasnya.

"Omaigat. Dia, kan pujaan kamu, segalanya kamu. Lalu ...?" Rahma menunjukkan ekspresi berlebih.

Sadar akan diberondong pertanyaan tidak penting, Alea beranjak ke kamar.

"Eh, kok, malah pergi? Soal Gilang, gimana?"

***

[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar