Jumat, 07 Februari 2020

Review Novel: Too Far to Hold



Judul             : Too Far to Hold

Penulis          : Fifi Alfiana

Penerbit        : Bentang Belia

Editor             : Adham T. Fusama dan Dila Maretihaqsari

Cover             : Dilidita

Cetakan         : Kedua, 2018

Tebal              : 286 hlm

ISBN               : 978-602-430-227-6

Blurb:

Mustahil bisa dapetin hati Wingga! Alana yakin itu. Ia selalu merasa cowok itu terlalu keren untuk dekat dengannya. Jadi, yang bisa Alana lakukan hanyalah mengagumi Wingga diam-diam.

Akan tetapi, rupanya semesta mendekatkan Alana dengan Wingga secara nggak sengaja. Saat Wingga pingsan di perpustakaan, Alana menolongnya. Sejak itu, Alana tahu lebih banyak tentang Wingga. Bukan Wingga yang sering menyabet juara olimpiade sains, melainkan Wingga yang punya rahasia dan luka hati.

Ingin rasanya Alana membantu cowok itu menghadapi kehidupan peliknya. Masalahnya, maukah Wingga mengizinkan Alana memasuki kehidupannya?

***

Alur cerita:

Selama ini Alana merasa cukup dengan menjadi pengagum rahasia Wingga. Semua foto yang ia ambil diam-diam untuk ia nikmati sendiri, tanpa harus orangnya tahu.

"Senyum bak malaikat miliknya praktis membuat aku terpesona, sampai membuatku seolah terbang dibawa angin ke atas awan dan bertemu burung-burung serta pelangi."_(hal 3)

Tapi setelah ditolong saat pingsan di perpustakaan, Wingga jadi punya kesempatan untuk tahu isi kamera Alana. Namun, dasar Wingga emang nggak peka, masih saja tidak paham maksud semua itu. Akhirnya kedekatan mereka sebatas gitu-gitu aja. Tapi Alana bersyukur, itu jauh lebih baik dibanding sebelumnya hanya mengamati sosok Wingga dari jauh. Bahkan, ia jadi tahu apa yang tidak diketahui kebanyakan orang.

"Aku tahu itu egois. Aku tahu aku pernah bilang bahwa aku tidak takut ketahuan mencintai seseorang lebih dari 100%. Tapi, sekarang aku sendiri takut dia tahu aku diam-diam jatuh cinta kepadanya."_(hal 90)

Meski sudah lebih saling mengenal, soal perasaan tidak lantas mulus-mulus saja. Ada-ada saja tikungan yang mesti dilalui. Lantas, bagaimana akhir kisah Alana dan Wingga? Bersatu atau malah belajar untuk saling melupakan?

Yuk, jemput mereka di toko buku terdekat dan temukan sendiri jawabannya.
***

Review:

Membius. Itu yang saya rasakan saat mulai membaca bab satu. Entah karena apa, tahu-tahu saya kesetrum dan nggak mau berpaling. Akhirnya bab-bab selanjutnya saya lahap dengan mudah, ibarat berhadapan dengan makanan sesuai selera.

Bahasanya khas teenlit, ringan dan mudah dipahami. Kedua tokoh utama juga lumayan hidup tanpa harus digambarkan berlebihan. Saya suka interaksi mereka yang sederhana tapi manis.

Saya suka banget penggunaan POV1 bergantian antara Wingga dan Alana, meski agak aneh tiba-tiba Roger nyempil di tengah-tengah. Saya paham, bagian itu memang harus ada, hanya saja agak merusak citarasa yang sudah terbangun sejak awal. Problem seperti ini memang sering muncul di POV1.

Secara garis besar novel ini tidak memiliki kekurangan, hanya saja rahasia dan luka hati Wingga menurut saya kurang nendang. Jadi pas diungkap ekspresi saya datar-datar aja. Padahal sejak dia pingsan di perpustakaan ekspektasi saya sudah melambung. Selain itu, di akhir-akhir menurut saya agak terburu-buru, jadi bacanya juga tidak seenak di awal-awal.

Overall, novel ini salah satu novel teenlit paling nagih yang pernah saya baca. Nggak percaya? Cobain, deh. Di sini kamu bakal disadarin, bahwa nggak ada yang nggak mungkin. Tinggal bagaimana kita mau dan terus mengupayakan yang terbaik.

"Tapi, sulit bukan berarti mustahil. Jauh pun bukan berarti tidak teraih." Ini kalimat penutup sebelum tulisan "The End" yang saya suka banget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar