Rafa
berselonjor. Punggungnya menempel di daun pintu yang baru saja dibanting dengan
kasar oleh mama. Bahkan, suara jeritan pintu itu masih terngiang di telinganya
hingga kini. Seperti rekaman usang yang diputar ulang, lagi-lagi perempuan
berpenampilan nyentrik itu bermaksud
mengurung putra bungsunya. Ia muak dengan rentetan masalah yang ditimbulkan
oleh bocah yang baru saja melangkahkan kaki di tahun pertama sekolah dasar itu.
Sebulan yang lalu, ketika ia mengantar dan mendaftarkan Rafa ke salah satu
sekolah yang tidak jauh dari kediaman mereka. Dan dalam sebulan itu, tak kurang
dari sepuluh kali ia mendapat surat panggilan dari pihak sekolah karena ada-ada
saja masalah yang ditimbulkan oleh bocah berusia enam tahun itu. mulai dari hal
sepeleh hingga yang ajaib.
Rafa
memangku tangan mungilnya. Telapak tangannya memerah, menimbulkan rasa perih
dan denyutan kecil di ujung jari-jarinya. Ia hanya memekik dalam hati ketika
mistar plastik itu menghantam tangannya berkali-kali. Mama tidak
tanggung-tanggung kali ini, perempuan yang gemar menggunakan lipstick berwarna terang itu, seolah
mencurahkan segenap emosinya yang tertabung selama ini. Tapi ajaibnya, Rafa
tidak menangis seperti seharusnya. Mungkin ia sudah terbiasa melakoni adegan
itu, hingga memiliki semacam kekebalan. Ia hanya menutup matanya rapat-rapat
hingga menimbulkan kerutan di wajahnya, disusul gerakan bahu naik turun setiap
kali mistar plastik itu menimpa telapak tangannya yang masih halus dan lembut.
Sekarang pun, ia tidak menangis. Wajah kakunya dengan sepasang mata yang
melayangkan tatapan pilu, hanya bisa meratap. Kalau saja ia bisa menjawab
soal-soal itu, kalau saja angka-angka bertinta merah itu tidak menghiasi
buku-buku pelajarannya, tentu ia takkan seperti ini. Pasti dibolehkan nonton
film kartun favoritnya, dibolehkan jajan es krim, atau main layangan di lapangan,
seperti Bang Raka. Bang Raka memang sempurna, ia dikarunia otak yang sepertinya
terbuat dari bahan yang berbeda dengan yang dipunyai Rafa. Sejak tahun pertama
hingga sekarang sudah menginjak tahun keempat, ia selalu rangking pertama.
Wajar jika papa dan mama menganakemaskannya. Bang Raka selalu mendapatkan mainan
dan baju baru yang ia inginkan. Sementara Rafa, ia harus cukup puas memiliki semua
barang bekas abangnya itu—tentu saja setelah si empunya bosan.
Rafa tidak
mempermasalahkan ketika papa dan mama tidak mengajaknya saat mereka jalan-jalan.
Ia justru merdeka. Dalam kesendirian, ia leluasa bereksperimen. Meskipun hasil
eksperimen berupa perabotan yang berserakan, dinding yang penuh coretan imaji,
tanaman hias yang mendadak gundul, seringkali menyulut emosi mama saat pulang.
Tapi ketika melihat Raka dalam pelukan mama, atau tiduran di paha papa, barulah
ia sedikit merasa, sepertinya ada yang tidak adil di hidupnya.
Rafa
meremas pelan-pelan jemari tangannya, merasakan perih itu masih bertahan. Ia
punya cara ampuh untuk mengusirnya. Ia beranjak ke meja kecil yang terletak di
pojok kamar. Di atas meja itu ada toples kaca yang ia jadikan istana untuk
kawan kecilnya—Bruno—seekor ikan cupang berwarna biru terang. Sisiknya bersinar
jika terkena cahaya, Rafa sangat menyukainya. Selain karena sisik yang bersinar
itu, hewan kecil itulah tempat satu-satunya ia bercerita tentang apa pun. Ia membelinya
dari tukang ikan hias yang sering mangkal di depan sekolahnya. Demi mendapatkan
Bruno, ia rela tidak jajan hari itu, karena jika minta sama mama, pasti tidak
dibolehkan—seperti yang sudah-sudah.
“Bruno …
kamu tau tanganku perih? Ayo, cepat sembuhkan!” tutur Rafa seraya mengobo-obok
istana Bruno. Ikan kecil berekor indah itu tidak terlihat panik, ia hanya berusaha
mengimbangi gelombang air yang ditimbulkan oleh gerakan tangan tuannya.
“Aku sudah
belajar seperti Bang Raka, duduk di bangku paling depan sesuai permintaan mama,
tapi kenapa huruf-huruf itu masih mengamuk?” keluh Rafa, dengan gerakan tangan
yang masih sama.
“Bruno … kamu
beruntung, lahir dari ibu yang sangat menyayangimu. Buktinya, dia mengajarimu
cara berenang yang baik. Berapa lama pun aku mengganggumu seperti ini, kamu
tidak pernah pusing, kan? Aku iri sama kamu!”
Kedua mata
Rafa setia mengawasi Bruno yang begitu gesit menghindar setiap kali ia mencoba
menangkapnya.
“Kulihat
waktu itu … jumlah kalian banyak. Apakah kalian bersaudara? Apakah saudaramu
juga lihai berenang sepertimu? Lalu … kenapa aku dan Bang Raka berbeda?
Sepertinya kami memang bukan saudara. Mama tidak melahirkanku, ia hanya
menemukanku di suatu tempat, seperti aku menemukanmu di depan sekolah.”
Demikian
Rafa selalu bercengkrama dengan Bruno, kawan kecil yang diyakininya bisa
memahami perasaannya. Setelah itu, ia akan merasa lebih baik, seiring reda pula
rasa perih di tangannya.
---
Mama
gelisah. Ia berada di dapur untuk menyiapkan makan malam, tapi sedari tadi ia
hanya mondar-mandir. Ia seperti itu bukan karena teringat Rafa yang tega ia
kurung tanpa memberinya makan siang terlebih dahulu sepulang sekolah tadi. Tapi
ia kembali terngiang perkataan Pak Guru tadi pagi. Setelah sebulan Rafa belum
juga menunjukkan tanda-tanda bisa mengikuti pelajaran dengan baik—bahkan selalu
bikin onar di dalam kelas—Pak Guru menyarankan agar bocah yang sering bertingkah
ekstrim itu dikirim ke Sekolah Luar Biasa (SLB) dan diasramakan di sana.
“Tapi anak
saya tidak gila, Pak! Keluarga kami bersih dari riwayat kelainan itu,” tandas
Mama setelah cukup terpukul dengan perkataan Pak Guru.
“Saya tidak
bilang anak Ibu gila, tapi dia tidak cocok di sini. Anak seperti dia butuh
penanganan khusus, perhatian ekstra. Sementara kurikulum yang berlaku di
sekolah ini belum mendukung untuk hal itu.”
“Apakah
Bapak sedang mengatakan bahwa Rafa dikeluarkan dari sekolah ini?”
Sesaat, Pak
Guru bungkam. Ia sedang merangkum kalimat yang tepat.
“Kami tidak
bisa tinggal diam, sementara para orang tua murid mulai meresahkan kehadiran
Rafa di sini. Bahkan, mereka mengancam akan menarik anak mereka dari sekolah ini
jika kami tidak mengambil tindakan tegas.”
Kata ‘kami’
di awal kalimat Pak Guru membuat mama terenyuh, seisi sekolah itu tidak
menginginkan Rafa. Perempuan berkulit kuning langsat itu berusaha tetap tenang,
mencoba memosisikan diri sebagai orang tua murid yang lain. Wajar jika mereka
resah. Hampir setiap hari ada saja anak yang dibikin menangis oleh Rafa. Setiap
saat pihak sekolah menelepon, ada saja onar yang diperbuat bocah berusia enam
tahun itu. Mama kalut. Sejujurnya, ia pun sudah kehabisan cara menghadapi putra
bungsunya itu. tapi ia tidak mungkin tega menyisihkan dan membiarkannya tinggal
di asrama.
“Beri saya
waktu, Pak! Saya akan menyewa guru les privat
untuk Rafa. Bahkan guru kepribadian atau apa pun itu. Saya jamin, dalam
waktu dekat ini anak saya bisa menyesuaikan diri di sekolah ini,” ucap mama
berapi-api.
“Lebih baik
Ibu mempertimbangkan saran saya tadi. Lebih cepat, lebih baik. Mumpung ini
masih awal tahun pelajaran, jadi tentu administrasinya tidak akan dipersulit.
Selain itu, Rafa tidak terlalu jauh ketinggalan pelajaran,” tutur Pak Guru
sambil tetap menjaga wibawanya.
“Tapi SLB
itu untuk anak yang cacat. Sementara Rafa …?” mama tercekat. “Dia baik-baik
saja seperti yang Anda lihat. Apa kata tetangga nanti? Keluaraga saya pasti
akan jadi bahan gunjingan,” lanjut mama dengan suara agak bergetar.
“Kita harus
menyelamatkan masa depan Rafa, itu yang paling penting sekarang,” tandas Pak
Guru.
Mama
terkesiap. Suara panci yang beradu dengan tutupnya, serta desisan air mendidih
menyadarkannya dari lamunan. Air rebusan kentang di dalam panci itu meluap.
Setengah terperanjat, ia lekas mematikan kompor. Perempuan yang kerap
berpenampilan glamour itu sedang
menghakimi diri sendiri, dosa apa yang ia punya di masa lalu sehingga Tuhan
menitipkan anak seperti Rafa untuknya?
Mama
menelepon papa, ia memintanya agar pulang lebih awal hari ini. Ia bisa gila
jika menanggung beban itu sendirian. Papa harus ikut berpikir, dan dia berhak
memutuskan. 30 menit kemudian, yang sedang ditunggu pun muncul dengan setumpuk file di tangan kanannya. Sepertinya pekerjaan
penting yang terpaksa ia lanjutkan di rumah setelah sang istri memperdengarkan
suara cemasnya tadi. Setelah menyuguhkan secangkir teh hangat, mama mulai
memaparkan hal yang mengacaukan pikirannya hari ini.
“Setelah
dewasa nanti, tentu Rafa akan membantu papa memajukan perusahaan ini. Tapi jika
kondisinya seperti itu, bagaimana bisa?” pungkas papa dengan santainya setelah
mama bercerita panjang lebar. Kemudian ia meraih secangkir teh di atas meja,
diseruputnya sekali, kemudian dikembalikan lagi ke tempat semula.
Mama
menangkap makna lain di balik kalimat suaminya itu. Laki-laki bertubuh gempal
itu mengiyakan tindakan apa pun agar Rafa bisa menjadi anak yang membanggakan.
Minimal seperti Bang Raka. Papa menunjukkan reaksi di luar dugaan sang istri. Laki-laki
pecandu tembakau itu memang tidak terlalu dekat dengan kedua putranya. Yang ia
tahu, ia hanya perlu fokus bekerja untuk menafkahi mereka. Tapi bagaimana bisa
ia sesantai itu menanggapi hal ini? Tidakkah ia memikirkan perasaan bocah
berusia enam tahun yang tiba-tiba harus dipisahkan dari keluarganya? Mama
menitikkan air mata, ia benar-benar kalut kali ini. Sesering apa pun Rafa
berulah selama ini, seberapa banyak pun ia harus minta maaf kepada orang tua
murid yang anaknya dibuat menangis oleh putranya itu, tapi naluri seorang ibu
dalam dirinya bicara. Ia yang melahirkannya. Bukan perkara mudah untuk melepasnya
begitu saja dan membiarkannya hidup terpisah … sendirian!
Namun,
setelah melalui pemikiran panjang yang melibatkan emosi seorang ibu, ia
akhirnya menghubungi nomor telepon pengelola salah satu SLB yang ia dapatkan
dari Pak Guru tadi pagi. Bukan selepas ia berhasil merelakan Rafa hidup
terpisah, tapi karena ia menginginkan masa depan yang cerah untuk putra
bungsunya itu. Hanya ini jalan yang terbaik—untuk saat ini.
---
Rafa menyantap
makanannya agak rakus, tumben mama memasakkan nasi goreng favoritnya. Tapi ada
yang aneh dengan sikap mama tadi, ketika mengantarkan makanan itu. Tiba-tiba
perempuan lampai itu memeluknya. Sikap semacam itu sudah lazim terhadap Bang Raka,
tapi tidak baginya. Wajar jika Rafa merasakan ada yang mengganjal. Besok,
mereka akan ke sekolah yang baru. Sekolahnya lebih bagus, ada asramanya juga,
sesuai perkataan mama tadi. Sekolah yang
baru? Kenapa harus ada asramanya? pikiran-pikiran itu timbul tenggelam
tidak terlalu penting di benak bocah berambut lurus itu. Ia hanya ingin
menuntaskan rasa laparnya segera.
Rafa tertidur
pulas setelah menghabiskan makanannya. Jam 9 malam, ia terjaga. Ia baru
teringat kembali perkataan mama tadi sore, tentang sekolah baru, tentang
asrama. Rafa masih terlalu kecil untuk memahami bentuk sekolah ber-asrama itu.
Tapi perasaannya mulai tidak enak. Entah dari mana ketakutan itu menelusup
tiba-tiba. Ia berfirasat, sepertinya papa-mama dan Bang Raka akan membuangnya.
Ke sekolah ber-asrama itukah ia akan dibuang? Rafa mulai gelisah. Bocah
penggemar permen itu bangun dan turun dari tempat tidurnya. Ia harus mengadu
kepada kawan kecilnya.
“Bruno, sepertinya
kita akan bernasib sama, dibuang dan dilupakan oleh keluarga kita.” Rafa
bersila di lantai, ia merapatkan dagu di permukaan meja. Kedua biji matanya
berputar-putar, mengikuti arah Bruno yang berenang ke sana ke mari.
“Tapi
kenapa keluargamu membuangmu dan membiarkan Mamang itu menjualmu? Nilai-nilaimu
buruk, ya? Atau kamu juga sering membuat teman-temanmu menangis?” tanya Rafa
seraya menepuk-nepuk sisi toples kaca itu.
“Bruno,
kamu tau asrama itu seperti apa?” Rafa jeda sejenak, seolah menunggu kawan
kecilnya itu memberi jawaban. “Pasti sangat buruk. Mungkin semacam tempat
pembuangan untuk anak-anak sepertiku,” tandasnya kemudian.
“Tapi, aku
tidak mau ke sana, Bruno. Kamu juga pasti sedih, kan, kalau aku ke sana?” Rafa
terus menepuk sisi istana kawan kecilnya itu.
“Malam ini
aku harus belajar. Aku harus melawan huruf-huruf yang mengamuk di buku-buku
itu. Jika aku sepintar Bang Raka, pasti Mama tidak akan membuangku ke asrama
itu.” Rafa sudah memantapkan hati. Dengan penuh keyakinan, ia beranjak ke meja
belajar.
Rafa meraih
kursi plastik bergambar Naruto—karakter favoritnya. Ia mengeluarkan buku
pelajaran matematika dari tas sekolahnya, kemudian memosisikan diri senyaman
mungkin. Ia bermaksud mengulangi soal-soal latihan tadi pagi yang lagi-lagi
melahirkan angka bertinta merah di buku catatannya. Rafa benar-benar
mengerahkan segenap kemampuannya kali ini. Jika ia bisa menjawab soal-soal itu
dengan baik, semoga mamanya mengurungkan niat dan melupakan sekolah ber-asrama
itu. Berbekal ingatan ketika Pak Guru menjelaskan di depan kelas, atau ketika Bang
Raka memberinya bimbingan khusus, Rafa berusaha mengerjakan soal-soal
penjumlahan itu dengan teliti. Sesekali ia terhuyung, rasa kantuk mulai menguasainya.
Angka-angka di buku itu mulai menari-nari di pandangannya, hingga ia
benar-benar tidak kuat lagi. Ia ketiduran di meja.
---
Pagi-pagi
mama sudah mengenakan high heels favoritnya.
Ia tergopoh-gopoh menuju kamar Rafa. Mama bermaksud membangunkan bocah itu dan
menyuruhnya bersiap-siap. Hari ini juga, ia akan mendaftarkan putranya itu ke SLB
yang diusulkan oleh Pak Guru. Tapi saat ia tiba di kamar bocah penyuka warna
hitam itu, ia mendapati hal yang tidak biasa. Rafa sudah berseragam, lengkap
dengan sepatunya. Bahkan ia menyisir rambutnya dengan rapi. Sejenak, mama
tercengang. Ada apa dengan Rafa? Sejak
kapan ia bisa bangun pagi sendiri? Rafa masih berdiri di depan cermin, memerhatikan
detail penampilannya dengan seksama. Kemudian ia mendekat, setelah menyadari
kehadiran mama. Ia menyodorkan buku catatannya kepada perempuan yang masih
tercengang itu, memperlihatkan soal-soal yang ia kerjakan tadi malam. Masih dalam
dekapan rasa heran, mama meraih buku itu. Apa
yang ingin Rafa tunjukkan? Pikirnya. Di antara lima soal yang berhasil ia
jawab, hanya satu nomor yang benar. Tapi tulisannya membaik. Bahkan, ini
tulisan terbaik Rafa sejauh ini. Sekarang mama paham, bahwa putra bungsunya itu
bermaksud menyampaikan ketidaksediaannya ke SLB itu. Detik selanjutnya, Rafa
kembali menerima hal yang tidak biasa, mama memeluknya.
Pagi hari,
suasana perjalanan ke sekolah selalu sama bagi Rafa. Ia lebih banyak diam,
seolah enggan mengganggu keseruan obrolan papa dan Bang Raka. Tema obrolannya
pun selalu sama, seputar prestasi abangnya itu. Yang berbeda kali ini adalah
keikutsertaan mama, serta sebuah koper besar yang nampaknya full muatan.
Mereka tiba
di SD Citra Bangsa. Bang Raka mencium tangan papa dan mama, kemudian menepuk pundak
Rafa sebelum turun. Mobil kembali melaju dengan pelan. Harusnya Rafa juga sudah
turun, dan biasanya langsung berlari mendahului Bang Raka. Tapi hari ini tidak,
karena mama punya sekolah baru untuknya.
Setelah
sejam perjalanan, mereka tiba di SLB sesuai alamat yang diberikan oleh Pak Guru.
Mereka disambut baik oleh kepala sekolah yang sepertinya memang sudah menunggu.
Setelah menyelesaikan semua administrasi, papa dan mama pamit sama Rafa. Tak
banyak yang bisa diucapkan oleh mama, ia hanya memeluk putra bungsunya itu
berkali-kali serta menghujaninya dengan ciuman. Sungguh, dalam hati kecilnya,
ia tidak tega. Tapi mama sadar, ini demi kebaikan Rafa juga. Sementara papa, ia
hanya mengelus kepala anak keduanya itu sebelum pergi. Mereka benar-benar
meninggalkan Rafa bersama koper besar yang berisi barang-barang kebutuhan bocah
bermata sipit itu. Rafa yang seolah memiliki kekuatan berlebih selama ini, yang
selalu tampak kuat dan tidak takut terhadap apa pun, kali ini benar-benar
rapuh. Ia menitikkan air mata setelah menyadari kenyataan bahwa papa dan mama
benar-benar membuangnya. Ia tidak diinginkan karena tidak bisa membanggakan
seperti Bang Raka. Di saat-saat seperti ini, mendadak Rafa teringat kawan
kecilnya, Bruno.
Hari-hari
pertama Rafa di SLB itu cukup merepotkan para guru, ia tidak bisa beradaptasi
dengan baik. Rafa mendapatkan perhatian khusus, karena secara fisik, ia tidak
kurang apa pun seperti kebanyakan murid di SLB itu. Sebelum akhirnya seorang
guru bernama Bu Viona, menyadari bahwa Rafa mengidap disleksia, sebuah gangguan
dalam perkembangan baca tulis yang terjadi pada anak usia enam hingga delapan
tahun. Disleksia tidak hanya sebatas ketidakmampuan seseorang untuk menyusun
atau membaca kalimat dengan baik, tapi juga kesulitan menerima perintah yang
seharusnya dilanjutkan ke memori otak. Hal inilah yang menyebabkan Rafa selalu
gagal fokus, sekeras apa pun ia mencoba. Dan sebagai bentuk kekesalan atau
pelampiasan, terkadang ia bertingkah ekstrim. Bu Viona menyadari kelainan Rafa
setelah mencermati tulisan bocah itu dan menemukan banyak huruf ataupun angka
yang ditulis terbalik. Bu Guru berjilbab itu merasa iba terhadap bocah yang
belum genap sebulan jadi muridnya itu. Ia merasa bertanggung jawab untuk
menyelamatkan masa depannya. Kasihan, orang tuanya serta-merta menitipkannya di
SLB itu tanpa paham kelainan yang dideritanya. Bu Viona mulai memberikan perhatian
ekstra terhadap Rafa, berbagai metode khusus pun diterapkan dalam proses
belajarnya.
Rafa senang
dengan Bu Viona, karena belajarnya tidak melulu di dalam kelas. Sesekali, Bu Guru
bersenyum lembut itu mengajaknya belajar di luar ruangan. Hal ini membuat
mereka sangat dekat. Berbekal kesabaran Bu Viona dalam membimbingnya, Rafa
bertekad akan menjadi anak yang bisa membanggakan papa dan mama. Setiap latihan
soal yang nilainya baik, dikumpulkannya. Maksudnya untuk ditunjukkan ke papa
dan mama. Dengan sebuah harapan, semoga nilai-nilai yang tak lagi bertinta
merah itu bisa membawanya segera kembali ke rumah.
---
PROFIL PENULIS
Ansar
Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah
kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Kemudian mulai
bekerja di sebuah perusahaan retail yang mengharuskannya berpindah dari satu
kabupaten ke kabupaten lainnya. Terakhir, menetap di Makassar. Kecintaannya
pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian. Ia punya mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan.
Lebih dekat dengan penulis;
Email :
ansarsiri357@gmail.com
Facebook : Ansar Siri
Twitter : @SiriAnsar
*Cerpen ini saya tulis untuk lomba cerpil UNSA 2016, tapi tidak lolos. Kemudian saya ajukan ke majalah online, Taman Fiksi, juga ditolak. Dan akhirnya tayang di Flores Sastra pada tanggal 11 Agustus 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar