Namanya
Wilda, demikian kudengar beberapa pelanggan akrab menyapanya. Aku selalu menghabiskan
waktu terbaikku di toko yang menyediakan perlengkapan olahraga pantai ini, hanya
untuk mengamatinya di sela-sela kesibukan melayani para pelanggan. Ingin
rasanya bertegur sapa, tapi entah bagaimana cara memulainya. Aku tak pernah
punya waktu yang cukup.
Dan
lagi-lagi, aku merasakan kakiku mulai keram, jari-jari kakiku seperti
berdenyut-denyut. Aku melihat keluar, ternyata hari mulai gelap. Akh … selalu
saja seperti ini. Aku harus pergi.
Pada akhirnya
aku harus menerima kenyataan, bahwa aku hanya seorang/seekor merman dengan ekor
yang besar dan kuat. Ekorku bersisik biru keperakan. Legenda menyebutkan bahwa
aku merman terpilih, dianugerahi kemampuan bisa memiliki sepasang kaki ketika
senja tiba. Tapi sepasang kaki itu kembali hilang ketika matahari terbenam.
Merman sepertiku hanya ada sekali dalam siklus 100 tahun. Ini semacam
reinkarnasi, siklus yang tidak akan terputus hingga seorang/seekor merman
terpilih berhasil memiliki kaki abadi, dan bisa menjalani kehidupan selayaknya
manusia pada umumnya. Kenapa belum ada merman terpilih yang berhasil memiliki
sepasang kaki abadi itu? Itu pertanyaannya.
Aku sangat
mencintai duniaku, Merland. Sebuah surga yang tidak pernah tersentuh oleh
tangan manusia, jauh di dasar laut yang tenang. Bagiku, sayang jika harus meninggalkan
semua itu hanya karena terobsesi memiliki sepasang kaki dan hidup sebagai
manusia. Itu anggapanku sebelum bertemu dengan penjaga toko itu, Wilda.
Sejak jatuh
hati pada Wilda, perlahan-lahan aku mulai mencari kebenaran tentang sepasang
kaki abadi yang akan dimiliki oleh merman terpilih setelah berusia 18 tahun.
Aku berharap cerita itu benar, karena dua hari lagi umurku genap 18 tahun.
“Harus berapa
kali Ibu memperingatkan kamu? Setiap kali kaki kamu tumbuh, kamu tidak usah
main ke daratan dan berbaur dengan manusia. Kamu tidak bisa melawan takdir
bahwa kita itu berbeda dengan mereka. Sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah
menjadi bagian dari mereka.” Demikianlah kalimat Ibu setiap kali aku pulang.
Aku selalu diam saja, meninggalkannya masuk ke dalam kamar. Percuma berdebat
dengan Ibu.
Aku terbangun
di pagi buta, aku harus meninggalkan rumah ini sebelum ibu bangun. Aku
menggerakkan sirip ekorku dengan lembut, berenang setenang mungkin agar tidak
menimbulkan suara yang bisa membangunkan ibu.
Aku tiba di
kaki tebing, tempatku selalu menunggu senja, menunggu ekorku berubah menjadi
sepasang kaki manusia. Ini masih terlalu pagi, matahari baru saja terbit. Aku
seolah tak sabar ingin bertemu Wilda.
Khayalan
hidup bahagia bersama Wilda membuatku betah menunggu, hingga senja pun tiba.
Sisik ekorku mulai rontok satu persatu. Aku mengibaskannya sekali, sisik-sisik
itu pun terlepas, bertebaran bak intan yang berkilauan di permukaan laut. Detik
selanjutnya, ekorku terbelah dan membentuk sepasang kaki manusia.
Aku berlari menuju
toko tempat Wilda bekerja, tapi langkahku terhenti melihat kerumunan orang di
tepi pantai. Ada apa di sana? Aku mendengar riuh suara mereka marak membahas
peristiwa yang baru saja terjadi. Ternyata mereka ramai membicarakan seorang
gadis yang baru saja tenggelam dan hilang di dalam laut. Gadis itu sedang
belajar berselancar, tapi kemudian ombak besar datang menerpa dan menenggelamkannya.
Belakangan kutahu, bahwa gadis itu adalah Wilda.
Karena ombak
besar terus datang menerjang, tidak ada yang berani masuk ke laut untuk
melakukan pertolongan. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari dan terjun
ke dalam laut. Detik itu juga sisik-sisikku mulai tumbuh, hingga kedua kakiku
menyatu dan menjelma menjadi ekor. Mungkin ada di antara mereka yang melihat
perubahan ini, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku kalut memikirkan nasib
Wilda.
Karena laut
adalah duniaku, aku tak butuh waktu lama untuk menemukan Wilda. Ia lunglai tak
berdaya. Kuberi napas buatan sekali, tapi sepertinya tak berhasil. Aku berenang
secepat mungkin membawanya ke permukaan. Aku muncul di kaki tebing, jauh dari
pandangan orang-orang.
Aku
meletakkan tubuh Wilda di atas sebuah batu besar. Aku menekan dadanya
berkali-kali untuk mengeluarkan air laut yang membuatnya sesak. Aku beri napas
buatan sekali lagi, tapi tidak ada respon. Aku memeriksa denyut nadinya, sama
sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dia meninggal.
“WILDA …!” aku
histeris.
Kemudian aku
teringat tentang satu permohonan yang pasti terkabulkan di hari ke 18 tahun merman
terpilih, aku seperti mendapatkan pencerahan. Aku akan menebus permohonan itu
dengan kehidupan baru buat Wilda. Tanpa ragu, aku meluncur dengan cepat membawa
jasad Wilda yang mulai kaku ke dasar lautan, ke Merland.
Aku mendapati
suasana rumah sedang ramai, semua keluarga berkumpul. Tidak hanya itu, warga Merland
juga berkumpul, membentuk semacam kelompok-kelompok kecil di sekitar rumah.
Pasti mereka tidak ingin melewatkan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah
ketika merman terpilih sepertiku mendapatkan sepasang kaki abadi, tepat tengah
malam nanti. Semua mata tertuju padaku. Dan kemudian seisi Merland gempar
ketika menyadari aku membawa jasad manusia. Beberapa di antara mereka langsung menjauh,
seperti ketakutan.
Aku masuk ke
dalam rumah, ekspresi keluargaku tak kalah kagetnya, terlebih lagi ibu. Aku
meletakkan jasad Wilda di hadapan mereka. Mereka bergerak mundur, kecuali ibu
yang malah mendekat.
“Siapa manusia
itu?” suara ibu bergetar. Ketakutan dan kesedihan berbaur di wajahnya.
“Aku sangat
mencintainya, Bu!” kuperdengarkan nada kesungguhan padanya.
“Kamu
mencintai manusia yang sudah mati?”
“Aku merman
terpilih, aku punya satu permohonan yang pasti dikabulkan di hari ke 18
tahunku. Tepat tengah malam nanti, aku akan menebus permohonan itu dengan
kehidupan baru untuk Wilda.”
Ibu
mendekapku, dengan jelas, aku mendengar isak tangisnya. Cukup lama sebelum
akhirnya ia meleraikan dekapannya dan menatapku luruh. Ibu memegang kedua
pipiku.
“Umurmu baru lima
tahun ketika pertama kali ekormu berubah menjadi kaki manusia. Sejak itu pula
Ibu sadar, bahwa kamu adalah merman terpilih. Tiada lagi ketenangan dalam hidup
Ibu sejak saat itu, Ibu takut kehilangan kamu.”
“Tapi ini
takdir yang harus aku hadapi, Bu. Aku tidak mungkin menghindar. Dan lagi, aku
ingin hidup bahagia bersama dia.” Aku menoleh ke arah jasad Wilda.
“Sepasang
kaki abadi untuk merman terpilih, diciptakan dari roh leluhur kaum Dandan, yang
konon selalu membuat dewa laut Murka. Kaum Dandan adalah monster laut yang
sangat besar, yang hanya sekali tegukan bisa menelan Merland dan seisinya.
Mereka dikutuk, ditempatkan di dasar laut terlarang. Tapi di hari ke 18 tahun
seorang merman terpilih, kutukan itu akan sirna seiring dilepaskannya roh
leluhur mereka untuk dijadikan sebagai kaki merman terpilih. Utusan mereka akan
datang. Mereka tidak terima jika roh leluhur mereka dijadikan kaki oleh merman
terpilih.”
Jadi ini
sebabnya, mengapa belum ada dalam sejarah merman terpilih yang berhasil
memiliki sepasang kaki abadi? Aku terenyuh, bagaimana aku harus menghadapi
kenyataan ini?
Semua
berjaga, menanti detik hari ke 18 tahunku. Aku terdiam di depan jasad Wilda.
Ibu berenang ke sana ke mari, sangat gelisah.
“Ekormu …,” desis
ibu yang lebih dulu menyadarinya.
Aku melihat
sisik-sisik ekorku rontok, dan beralih menjadi sepasang kaki manusia. Inikah
sepasang kaki abadi itu? Benarkah kaki ini tidak akan hilang lagi?
Semua
memasang wajah tegang, ibu menggenggam tanganku.
Tiba-tiba
saja Merland bergetar, terumbu karang runtuh.
“Dia datang.”
Ibu berbisik.
Aku mulai
panik. Kurasakan ibu semakin kuat menggenggam tanganku.
“Ibu tidak
ingin tercatat dalam sejarah seperti Ibu para merman terpilih sebelumnya. Ibu
akan menyelamatkan kamu, Ibu akan menyelamatkan tempat ini.”
Apa maksud ibu?
Ia melepaskan tanganku kemudian meluncur keluar rumah. Apakah ibu bermaksud
melawan monster Dandan itu? Takkan kubiarkan ia sendirian. Aku menyusul ibu,
tapi kudapati ia telah bersimbah darah. Ibu mengibaskan ekornya pada pinggiran
karang yang tajam.
“Apa yang Ibu
lakukan? Kenapa harus seperti ini?”
Ibu tidak
menghiraukanku, ia terus mengibaskan ekornya hingga siripnya terputus. Dengan
cepat, darah ibu merembes, membaur dengan air laut.
“IBU …!” aku
menangis sejadi-jadinya.
Ibu lemah,
lunglai dan jatuh dalam dekapanku.
“Hanya
kekuatan cinta abadi yang mampu mengalahkan kekuatan monster Dandan. Dengan
pengorbanan ini, Ibu mencintaimu.” Suara ibu pelan dan nyaris tidak terdengar.
Ibu meraih
siripnya yang terpotong, kemudian dengan sisa-sisa tenaganya, ia melemparkan
sirip itu setinggi-tingginya. Dalam sekejap, sirip itu melebur dan menjelma
menjadi tameng yang melindungi seluruh kawasan Merland.
“Sekarang
kamu memiliki sepasang kaki abadi, kamu bisa hidup sebagai manusia setelah ini.
Tapi jika kamu ingin memberikan hidup baru untuk gadis itu, kamu harus
menukarnya dengan kaki kamu itu. Kamu harus mengiris pergelangan kakimu, dan
teteskan darahnya ke mulutnya. Dengan begitu, ia akan hidup kembali. Tapi kamu
bukan lagi merman terpilih, hanya merman biasa yang selamanya akan hidup di
Merland.” Napas ibu tersengal, kalimatnya terputus-putus.
Tangan ibu
perlahan-lahan bergerak mengelus pipiku, kemudian jatuh terhempas tak berdaya. ibu
masih sempat tersenyum sebelum mengembuskan napas terakhir.
Ibu telah
mengorbankan diri untuk melindungiku dan seisi Merland. Aku pun akan melakukan
hal yang sama kepada Wilda. Akan kubiarkan ia melanjutkan hidup, meskipun aku
harus kehilangan sepasang kaki abadi ini.
PROFIL PENULIS
Ansar
Siri,
penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah
kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan.
Kecintaannya
pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email :
ansarsiri357@gmail.com
Facebook : Ansar Siri
Twitter : @SiriAnsar
*Cerpen ini lolos sebagai kontributor lomba menulis cerpen fantasi yang diadakan oleh Mazaya Publishing House. Kemudian diterbitkan secara indie dengan buku berjudul "Dia yang Membalas Dendam" ; April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar