Jumat, 19 Agustus 2016

Cerpen: Sepasang Kaki Abadi



            Namanya Wilda, demikian kudengar beberapa pelanggan akrab menyapanya. Aku selalu menghabiskan waktu terbaikku di toko yang menyediakan perlengkapan olahraga pantai ini, hanya untuk mengamatinya di sela-sela kesibukan melayani para pelanggan. Ingin rasanya bertegur sapa, tapi entah bagaimana cara memulainya. Aku tak pernah punya waktu yang cukup.

          Dan lagi-lagi, aku merasakan kakiku mulai keram, jari-jari kakiku seperti berdenyut-denyut. Aku melihat keluar, ternyata hari mulai gelap. Akh … selalu saja seperti ini. Aku harus pergi.

          Pada akhirnya aku harus menerima kenyataan, bahwa aku hanya seorang/seekor merman dengan ekor yang besar dan kuat. Ekorku bersisik biru keperakan. Legenda menyebutkan bahwa aku merman terpilih, dianugerahi kemampuan bisa memiliki sepasang kaki ketika senja tiba. Tapi sepasang kaki itu kembali hilang ketika matahari terbenam. Merman sepertiku hanya ada sekali dalam siklus 100 tahun. Ini semacam reinkarnasi, siklus yang tidak akan terputus hingga seorang/seekor merman terpilih berhasil memiliki kaki abadi, dan bisa menjalani kehidupan selayaknya manusia pada umumnya. Kenapa belum ada merman terpilih yang berhasil memiliki sepasang kaki abadi itu? Itu pertanyaannya.

          Aku sangat mencintai duniaku, Merland. Sebuah surga yang tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia, jauh di dasar laut yang tenang. Bagiku, sayang jika harus meninggalkan semua itu hanya karena terobsesi memiliki sepasang kaki dan hidup sebagai manusia. Itu anggapanku sebelum bertemu dengan penjaga toko itu, Wilda.

          Sejak jatuh hati pada Wilda, perlahan-lahan aku mulai mencari kebenaran tentang sepasang kaki abadi yang akan dimiliki oleh merman terpilih setelah berusia 18 tahun. Aku berharap cerita itu benar, karena dua hari lagi umurku genap 18 tahun.

          “Harus berapa kali Ibu memperingatkan kamu? Setiap kali kaki kamu tumbuh, kamu tidak usah main ke daratan dan berbaur dengan manusia. Kamu tidak bisa melawan takdir bahwa kita itu berbeda dengan mereka. Sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah menjadi bagian dari mereka.” Demikianlah kalimat Ibu setiap kali aku pulang. Aku selalu diam saja, meninggalkannya masuk ke dalam kamar. Percuma berdebat dengan Ibu.



          Aku terbangun di pagi buta, aku harus meninggalkan rumah ini sebelum ibu bangun. Aku menggerakkan sirip ekorku dengan lembut, berenang setenang mungkin agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan ibu.

          Aku tiba di kaki tebing, tempatku selalu menunggu senja, menunggu ekorku berubah menjadi sepasang kaki manusia. Ini masih terlalu pagi, matahari baru saja terbit. Aku seolah tak sabar ingin bertemu Wilda.

          Khayalan hidup bahagia bersama Wilda membuatku betah menunggu, hingga senja pun tiba. Sisik ekorku mulai rontok satu persatu. Aku mengibaskannya sekali, sisik-sisik itu pun terlepas, bertebaran bak intan yang berkilauan di permukaan laut. Detik selanjutnya, ekorku terbelah dan membentuk sepasang kaki manusia.

          Aku berlari menuju toko tempat Wilda bekerja, tapi langkahku terhenti melihat kerumunan orang di tepi pantai. Ada apa di sana? Aku mendengar riuh suara mereka marak membahas peristiwa yang baru saja terjadi. Ternyata mereka ramai membicarakan seorang gadis yang baru saja tenggelam dan hilang di dalam laut. Gadis itu sedang belajar berselancar, tapi kemudian ombak besar datang menerpa dan menenggelamkannya. Belakangan kutahu, bahwa gadis itu adalah Wilda.

          Karena ombak besar terus datang menerjang, tidak ada yang berani masuk ke laut untuk melakukan pertolongan. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari dan terjun ke dalam laut. Detik itu juga sisik-sisikku mulai tumbuh, hingga kedua kakiku menyatu dan menjelma menjadi ekor. Mungkin ada di antara mereka yang melihat perubahan ini, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku kalut memikirkan nasib Wilda.

          Karena laut adalah duniaku, aku tak butuh waktu lama untuk menemukan Wilda. Ia lunglai tak berdaya. Kuberi napas buatan sekali, tapi sepertinya tak berhasil. Aku berenang secepat mungkin membawanya ke permukaan. Aku muncul di kaki tebing, jauh dari pandangan orang-orang.

          Aku meletakkan tubuh Wilda di atas sebuah batu besar. Aku menekan dadanya berkali-kali untuk mengeluarkan air laut yang membuatnya sesak. Aku beri napas buatan sekali lagi, tapi tidak ada respon. Aku memeriksa denyut nadinya, sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dia meninggal.

          “WILDA …!” aku histeris.

          Kemudian aku teringat tentang satu permohonan yang pasti terkabulkan di hari ke 18 tahun merman terpilih, aku seperti mendapatkan pencerahan. Aku akan menebus permohonan itu dengan kehidupan baru buat Wilda. Tanpa ragu, aku meluncur dengan cepat membawa jasad Wilda yang mulai kaku ke dasar lautan, ke Merland.



          Aku mendapati suasana rumah sedang ramai, semua keluarga berkumpul. Tidak hanya itu, warga Merland juga berkumpul, membentuk semacam kelompok-kelompok kecil di sekitar rumah. Pasti mereka tidak ingin melewatkan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah ketika merman terpilih sepertiku mendapatkan sepasang kaki abadi, tepat tengah malam nanti. Semua mata tertuju padaku. Dan kemudian seisi Merland gempar ketika menyadari aku membawa jasad manusia. Beberapa di antara mereka langsung menjauh, seperti ketakutan.

          Aku masuk ke dalam rumah, ekspresi keluargaku tak kalah kagetnya, terlebih lagi ibu. Aku meletakkan jasad Wilda di hadapan mereka. Mereka bergerak mundur, kecuali ibu yang malah mendekat.

          “Siapa manusia itu?” suara ibu bergetar. Ketakutan dan kesedihan berbaur di wajahnya.

          “Aku sangat mencintainya, Bu!” kuperdengarkan nada kesungguhan padanya.

          “Kamu mencintai manusia yang sudah mati?”

          “Aku merman terpilih, aku punya satu permohonan yang pasti dikabulkan di hari ke 18 tahunku. Tepat tengah malam nanti, aku akan menebus permohonan itu dengan kehidupan baru untuk Wilda.”

          Ibu mendekapku, dengan jelas, aku mendengar isak tangisnya. Cukup lama sebelum akhirnya ia meleraikan dekapannya dan menatapku luruh. Ibu memegang kedua pipiku.

          “Umurmu baru lima tahun ketika pertama kali ekormu berubah menjadi kaki manusia. Sejak itu pula Ibu sadar, bahwa kamu adalah merman terpilih. Tiada lagi ketenangan dalam hidup Ibu sejak saat itu, Ibu takut kehilangan kamu.”

          “Tapi ini takdir yang harus aku hadapi, Bu. Aku tidak mungkin menghindar. Dan lagi, aku ingin hidup bahagia bersama dia.” Aku menoleh ke arah jasad Wilda.

          “Sepasang kaki abadi untuk merman terpilih, diciptakan dari roh leluhur kaum Dandan, yang konon selalu membuat dewa laut Murka. Kaum Dandan adalah monster laut yang sangat besar, yang hanya sekali tegukan bisa menelan Merland dan seisinya. Mereka dikutuk, ditempatkan di dasar laut terlarang. Tapi di hari ke 18 tahun seorang merman terpilih, kutukan itu akan sirna seiring dilepaskannya roh leluhur mereka untuk dijadikan sebagai kaki merman terpilih. Utusan mereka akan datang. Mereka tidak terima jika roh leluhur mereka dijadikan kaki oleh merman terpilih.”

          Jadi ini sebabnya, mengapa belum ada dalam sejarah merman terpilih yang berhasil memiliki sepasang kaki abadi? Aku terenyuh, bagaimana aku harus menghadapi kenyataan ini?

          Semua berjaga, menanti detik hari ke 18 tahunku. Aku terdiam di depan jasad Wilda. Ibu berenang ke sana ke mari, sangat gelisah.

          “Ekormu …,” desis ibu yang lebih dulu menyadarinya.

          Aku melihat sisik-sisik ekorku rontok, dan beralih menjadi sepasang kaki manusia. Inikah sepasang kaki abadi itu? Benarkah kaki ini tidak akan hilang lagi?

          Semua memasang wajah tegang, ibu menggenggam tanganku.

          Tiba-tiba saja Merland bergetar, terumbu karang runtuh.

          “Dia datang.” Ibu berbisik.

          Aku mulai panik. Kurasakan ibu semakin kuat menggenggam tanganku.

          “Ibu tidak ingin tercatat dalam sejarah seperti Ibu para merman terpilih sebelumnya. Ibu akan menyelamatkan kamu, Ibu akan menyelamatkan tempat ini.”

          Apa maksud ibu? Ia melepaskan tanganku kemudian meluncur keluar rumah. Apakah ibu bermaksud melawan monster Dandan itu? Takkan kubiarkan ia sendirian. Aku menyusul ibu, tapi kudapati ia telah bersimbah darah. Ibu mengibaskan ekornya pada pinggiran karang yang tajam.

          “Apa yang Ibu lakukan? Kenapa harus seperti ini?”

          Ibu tidak menghiraukanku, ia terus mengibaskan ekornya hingga siripnya terputus. Dengan cepat, darah ibu merembes, membaur dengan air laut.

          “IBU …!” aku menangis sejadi-jadinya.

          Ibu lemah, lunglai dan jatuh dalam dekapanku.

          “Hanya kekuatan cinta abadi yang mampu mengalahkan kekuatan monster Dandan. Dengan pengorbanan ini, Ibu mencintaimu.” Suara ibu pelan dan nyaris tidak terdengar.

          Ibu meraih siripnya yang terpotong, kemudian dengan sisa-sisa tenaganya, ia melemparkan sirip itu setinggi-tingginya. Dalam sekejap, sirip itu melebur dan menjelma menjadi tameng yang melindungi seluruh kawasan Merland.

          “Sekarang kamu memiliki sepasang kaki abadi, kamu bisa hidup sebagai manusia setelah ini. Tapi jika kamu ingin memberikan hidup baru untuk gadis itu, kamu harus menukarnya dengan kaki kamu itu. Kamu harus mengiris pergelangan kakimu, dan teteskan darahnya ke mulutnya. Dengan begitu, ia akan hidup kembali. Tapi kamu bukan lagi merman terpilih, hanya merman biasa yang selamanya akan hidup di Merland.” Napas ibu tersengal, kalimatnya terputus-putus.

          Tangan ibu perlahan-lahan bergerak mengelus pipiku, kemudian jatuh terhempas tak berdaya. ibu masih sempat tersenyum sebelum mengembuskan napas terakhir.

          Ibu telah mengorbankan diri untuk melindungiku dan seisi Merland. Aku pun akan melakukan hal yang sama kepada Wilda. Akan kubiarkan ia melanjutkan hidup, meskipun aku harus kehilangan sepasang kaki abadi ini.


PROFIL PENULIS

            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar


*Cerpen ini lolos sebagai kontributor lomba menulis cerpen fantasi yang diadakan oleh Mazaya Publishing House. Kemudian diterbitkan secara indie dengan buku berjudul "Dia yang Membalas Dendam" ; April 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar