Dengan
cepat, api itu menjalar ke mana-mana. Berkobar di setiap sudut ruangan sempit
itu dan menerkam apa saja yang ada di hadapannya. Sekejap saja, rumah pohon
berdinding tripleks itu berada dalam genggaman si jago merah. Nahas, gadis
kecil di dalam rumah pohon itu tidak sempat menyelamatkan diri. Tangisnya
pecah, jeritnya memekik, ketika si jago merah menjalar hingga ke jantungnya.
“TIDAK …!” Bagas
terjaga. Jeritnya bergaung memenuhi kamar kost yang sangat sederhana itu. Tangannya
menyenggol gelas yang berisi setengah air putih. Gelas itu memantul di lantai
dan disusul suara gemerincing, pecah. Bagas tak lantas membersihkan serpihan
beling itu, ia malah tertegun. Bintik-bintik keringat berkilauan di keningnya,
napasnya tersengal. Ia melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu, jarum
jam berpijak di angka 2. Lagi-lagi, ia ketiduran di meja. Laptop di depannya
masih menyala, monitornya menampilkan sepenggal naskah novel yang sedang kejar deadline. Tapi akhir-akhir ini, konsentrasinya
buyar oleh mimpi buruk itu. Sebuah kecelakaan di masa kecil yang kini kembali
mengusik hari-harinya.
“Tok … tok …
tok …!” seseorang mengetuk pintu dengan pelan.
Bagas
beranjak membuka pintu. Sesuai dugaan, Rana muncul di depan pintu. Ia masih
mengenakan mukena, sepertinya baru selesai salat Tahajjud, salah satu ibadah
yang tidak pernah ditinggalkan oleh gadis bermata teduh itu.
Bagas
mengenal Rana sejak pertama kali pindah ke indekos itu, dua tahun terakhir.
Mereka memang akrab. Selain karena kamar mereka bersebelahan, Rana sering
berbagi makanan untuk Bagas. Rana hanya tamatan SMA, dan sekarang bekerja di toko
bunga.
“Aku sedang
sujud terakhir, saat mendengar Mas teriak. Ada apa? Mimpi buruk lagi?”
Bagas tidak
menjawab, ia berbalik dan kembali duduk di tempat semula. Ia bersandar pada
kursi plastik itu, dan membiarkan kepalanya jatuh ke belakang. Tatapannya hampa
membentur plafon bercat kusam itu.
Rana
mengikuti langkah Bagas. Kemudian pandangannya tertuju pada serpihan beling
yang masih berserakan di lantai.
“Astaga,
Mas, kenapa gelasnya sampai pecah begini?” Rana langsung jongkok, mengumpulkan
pecahan beling itu di telapak tangannya.
“Entah ada
apa dengan Lea? Ia semakin sering datang di mimpiku akhir-akhir ini.”
Sejenak,
Rana terdiam, sudah sangat sering ia mendengar nama itu. Apakah gadis itu cinta
pertama Bagas? Tidak mungkin, pikir Rana. Mereka baru saja masuk sekolah dasar
pada saat itu, masih terlalu kecil untuk mengenal cinta. Tapi nyatanya, Bagas
kerap kali bercerita, bagaimana semua hari menjadi indah jika ia lalui bersama
Lea. Dan bagaimana mereka membangun istana mereka, sebuah rumah pohon di
halaman belakang rumah Bagas. Rana yang selama ini menaruh hati pada cowok
berambut ikal itu, hanya bisa menjadi pendengar setia. Manakala Bagas mulai
larut, bernostalgia, menguraikan satu-persatu lembaran kenangannya bersama Lea.
Rana sadar
akan kodratnya sebagai perempuan, hanya bisa menunggu hingga Bagas menyadari
sinyal-sinyal cintanya selama ini. Tapi sayang, Rana di mata Bagas hanya
sebatas tetangga selama ini, tempat ia menemukan apa pun yang ia butuhkan.
Ketika kesiangan, diburu jam kuliah, ia tidak segan meminta Rana menyetrikakan
bajunya, sambil ia mandi. Dan di mata Rana, Bagas selalu memiliki sesuatu yang
membuatnya tak bisa menolak. Ratusan kali Rana menyulam nama Bagas di setiap
doanya, berharap Sang Maha Tahu segera memberinya petunjuk.
“Mas hanya
terlalu capek akhir-akhir ini. Mas terlalu memaksakan diri.”
“Sudah dua
naskah yang ditolak, dan aku tidak ingin gagal di naskah ini. Bagaimana aku
membiayai kuliahku jika naskahku selalu ditolak?” Bagas mengakhiri kalimatnya
dengan helaan napas berat.
“Alasan Mas
menulis karena cari uang buat kuliah. Anehnya, seringkali kuliah Mas malah
terbengkalai karena menulis. Mas butuh keseimbangan,” ucap Rana sambil beranjak
membuang serpihan beling itu ke tempat sampah yang terletak di pojok ruangan.
Bagas
bergeming. Ia teringat ibunya di kampung yang sering mengucapkan hal senada
dengan Rana.
---
Bagas
merasakan kepalanya berdenyut-denyut, efek kurang tidur. Ini bukan hal baru,
tapi ia seolah tak pernah berinisiatif untuk mengatasinya. Ia mengendarai motor
matic-nya, menembus lembaran matahari
yang mulai memanas. Larutnya ia dalam dunia menulis, pernah berbuah surat
peringatan dari kampus. Dan pagi ini, ada presentasi penting yang harus ia
hadiri, jika tidak ingin berhadapan dengan surat itu lagi.
Sial.
Mendadak, motornya mati di tengah jalan. Ia menuntunnya ke tepi.
“Ceroboh
…,” desisnya ketika melirik jarum meteran bahan bakar terkulai tak berdaya. Dan
celakanya, SPBU jauh dari tempat itu. Bagas menengok kiri-kanan, penjual bensin
eceran, pun, tidak tampak di matanya. Tidak ada cara lain, ia harus menuntun
kawan setianya itu, si matic merah.
Tiba-tiba,
seorang pengendara motor berhenti di sampingnya. Seorang cewek mengenakan
kemeja kotak-kotak yang dipadukan dengan jeans
ketat. Bagas melirik sepasang mata bulat itu dari balik kaca helm yang melekat
di kepalanya.
“Ini!”
cewek itu menyodorkan sebotol bensin.
Bagas tampak
bingung, bagaimana Tuhan mengirimkannya malaikat penolong kali ini? Bagas
bermaksud membayar setelah menuang seluruh isi botol itu ke dalam tangki
motornya.
“Nggak
usah!” tolaknya halus sambil meraih botol kosong itu dan memutar balik
kendaraannya.
Bagas
tercengang, bahkan ia belum sempat mengucapkan terima kasih.
Semua
agenda Bagas hari ini selesai menjelang magrib. Sebelum pulang, ia menjemput
Rana di tempat kerjanya. Jika waktunya cocok, Bagas memang selalu menyempatkan
diri menjemput Rana. Hanya cara ini yang terlintas di benaknya untuk membalas
kebaikan gadis berhijab itu selama ini. Si matic
merah melaju pelan, menyesuaikan diri di tengah jalanan yang memang padat.
“Aku
bertemu Lea.”
“Hhaa …?”
Rana setengah kaget, dan jelas saja tidak percaya.
“Maksudnya,
cewek itu mengingatkanku pada Lea.” Suara Bagas berbaur dengan deru angin.
“Siapa?”
“Cewek yang
menyelamatkanku di waktu yang tepat.”
Rana
mencelos. Bagaimana bisa cewek itu menarik perhatian Bagas dalam waktu sekali
pertemuan? Dibanding dirinya yang telah berjuang selama dua tahun ini? Sepanjang
perjalanan, Bagas tak hentinya membahas cewek yang tak sempat ia ketahui namanya
itu. Rana yang selalu berbunga-bunga setiap kali dijemput Bagas, tampak berbeda
hari ini. Semburat rasa tak rela merenggut senyum dari wajahnya.
---
Bagas
beringsut di sudut kamarnya. Tubuhnya bergetar hebat, sementara keringatnya
mengalir deras. Suara gemuruh kepanikan orang-orang di luar sana memegakkan
telinganya. Ia menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya. Ia menangis bak
seorang bocah yang terpisah dari orang tuanya di tengah keramaian. Hawa panas,
disusul kawanan asap mulai merayapi kamar Bagas. Ia mengintai ke arah jendela
melalui ekor matanya, tampak si jago merah menari-nari di luar sana. Dengan
sigap, Bagas menarik tatapannya, kembali membenamkan wajahnya dan terus
menangis. Bagas mulai merasa sesak. Tiba-tiba seseorang mendobrak pintu
kamarnya. Bagas menoleh, hanya tampak siluet di tengah kawanan asap dan
beberapa ekor api. Bagas yang setengah sadar masih sempat menangkap wajah tak
asing itu di matanya, ketika orang itu memapahnya keluar dari lingkaran api.
Bagas
berjengit. Ia membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya menangkap
langit-lagit ruangan yang masih buram. Ia mengerjap, pandangannya berangsur
pulih. Bagas menggeser kepalanya, dan mendapati senyum Rana. Ia baru menyadari
keberadaannya, di rumah sakit.
“Alhamdulillah, Mas sudah sadar.”
“Aku mimpi
lagi?”
“Nggak,
Mas. Indekos kita benar-benar kebakaran.”
“Apa?” Bagas
tersentak.
“Ada ledakan
tabung elipiji di kamar tiga. Api langsung menjalar ke kamar yang lain.”
“Barang-barangku?
Naskahku?” Bagas teringat laptop butut yang setia menemani karirnya selama ini.
“Api hanya
menyambar bagian luar kamar Mas, barang-barang Mas masih bisa diselamatkan.”
Bagas
bernapas lega. Kemudian ia teringat wajah orang itu, beberapa detik sebelum ia
pingsan.
“Aku
melihat Lea lagi.” Bagas melihat Rana mengernyit, wajah bingung
diperlihatkannya seketika. Cepat-cepat Bagas meralat ucapannya. “Maksudnya,
orang yang mirip Lea itu. Dia menyelamatkanku.”
Kebingungan
Rana memuncak. Bagaimana mungkin? Pikirnya!
---
Setelah
kebakaran itu, pihak pengelola indekos mengadakan renovasi besar-besaran. Kamar
Bagas yang hanya terkena sambaran api bagian luar, tidak membutuhkan waktu
pengerjaan yang lama. Bagas dan Rana kembali melanjutkan hari-hari mereka di
tempat itu.
Bagas
banyak berubah, hari-harinya diliputi rasa penasaran tentang keberadaan orang
itu. Hari ini, Bagas pulang ba’da magrib. Ia langsung menjatuhkan diri di
tempat tidur. Tugas kuliah menumpuk, proyek menulis kejar deadline, benar-benar membuatnya lelah akhir-akhir ini.
“Mas, aku
boleh masuk?” suara renyah itu mengalun dari ambang pintu yang masih terkuak.
“Masuk aja,
Ran!” ucap Bagas tanpa menoleh.
Rana
melangkah masuk, kemudian duduk di kursi plastik yang biasa digunakan Bagas
ketika menulis.
“Tadi sore
tukang pos mengantarkan ini, tapi Mas belum pulang.”
Mendengar
kata ‘tukang pos’, Bagas langsung bangkit dan meraih amplop putih persegi
panjang itu di tangan Rana. Dengan tidak sabaran, matanya langsung menyapu isi
surat itu. Seketika saja senyum sumringah tersulam rapi di bibir Bagas.
“Surat apa,
Mas?”
“Cerpenku
lolos, Ran, dan akan dimuat edisi minggu depan.”
“Alhamdulillah!”
“Kamu
siap-siap, ya!”
“Siap-siap?”
Rana mengernyit.
“Aku, kan,
pernah janji sama kamu, kalau cerpen ini lolos, aku akan mengajak kamu makan
malam di luar.”
“Yang
benar? Serius?”
“Iya. Masa
kamu lupa, sih?”
Rona
bahagia meletup-letup di wajah Rana, ia tak mampu menyembunyikan rasa girangnya
kali ini. Ia berlari-lari kecil kembali ke kamarnya. Harus dandan seperti apa,
ya? Pakai baju yang mana, ya? Sepatu warna apa, ya? Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu merumpun begitu saja di benaknya.
Rana
bertukar pakaian dengan sigap, ia tidak ingin Bagas menunggu lama. Rana
berputar di depan kaca lebar yang menempel di dinding. Ia memperhatikan
penampilannya dari depan, samping, dan belakang. Sepertinya cukup. Rana kembali
menemui Bagas.
“Mas, aku sudah
….” Rana tercekat. Ada cewek lain bersama Bagas.
Mereka
duduk melantai, kemudian berdiri hampir bersamaan saat Rana masuk.
“Mbak, saya
bicara di luar sebentar, ya, dengan teman saya.”
Cewek itu
mengangguk, mengiyakan. Bagas mengajak Rana keluar, agak menjauh dari kamar
itu.
“Siapa dia,
Mas?”
“Dia Tara,
orang yang aku ceritakan selama ini, orang yang mengingatkanku pada Lea.”
“Terus?”
“Ternyata adiknya
pengagum tulisan-tulisanku selama ini. Adiknya sedang kritis di rumah sakit.
Dia ingin aku ada di sana, dengan harapan bisa memberinya semangat bertahan
hidup.”
“Lalu,
makan malam kita?”
“Aku
benar-benar minta maaf, Ran! Besok, atau di waktu berikutnya, kita masih bisa
pergi. Tapi kali ini aku harus menemui anak itu, semoga benar-benar bisa
membantu.”
Rana tak
berucap lagi. Ia mengiyakan dengan kembali ke kamarnya dan menutup pintunya
rapat-rapat. Lebih dari kecewa, rasa itu merujuk ngilu di ulu hatinya. Jika
gadis itu bukan dia yang mirip Lea, mungkin Rana akan baik-baik saja.
Bagas dan
Tara tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju kamar perawatan Aldo, adik
Tara. Remaja berusia 15 tahun itu tergolek lemah.
“Dia selalu
merengek, ingin bertemu kamu. Dia ingin menjadi penulis seperti kamu. Tapi
penyakit asma yang bersarang ditubuhnya, seolah tidak merestui cita-citanya
itu.”
Bagas
melihat beberapa novel karyanya di samping bantal anak itu. Sebegitu sukanya,
kah, dia dengan tulisan Bagas?
“Hanya dia
yang aku punya di dunia ini. Sebisa mungkin, aku selalu mengabulkan semua
keinginannya, termasuk bertemu kamu. Jadi maaf, karena akhir-akhir ini aku
mencari info tentang kamu diam-diam.” Tara menoleh ke arah Bagas.
Bagas hanya
tersenyum lemah. “Orangtua kalian?” tanyanya kemudian dengan nada sepadam.
“Orangtua
kami meninggal dalam musibah kebakaran.”
Mendengar
kata kebakaran, darah Bagas berdesir, rasa ngeri menyeruak di wajahnya.
“Menurutku,
mereka masih bisa diselamatkan, hanya saja tim pemadam kebakaran yang lamban
pada saat itu. Makanya, sejak saat itu, aku bertekad untuk menjadi anggota
pemadam kebakaran. Menyelamatkan siapa pun yang berada dalam ancaman api. Tidak
mudah mendapatkan posisi ini. Cibiran, serta nada meremehkan ketika terjun ke
lapangan, harus aku telan.”
Bagas
terperangah. Ia takjub, kagum, yang kemudian melebur menjadi rasa simpati.
“Maksudnya,
kamu srikandi baruna?” ucapnya kemudian dengan nada tidak percaya.
Tara
mengangguk dengan seutas senyum simpul.
“Jadi
kebakaran kemarin? Yang menyelamatkanku?”
“Ya, itu
aku.” Tara menimpali kalimat terbata Bagas. “Butuh tenaga ekstra untuk
mendobrak pintu kamarmu. Aku melihat kamu sangat panik, tapi kenapa tidak
mencoba untuk keluar?”
“Sepertinya
aku lebih baik langsung mati saja daripada harus melihat kobaran api itu.”
“Kamu
phobia?”
“Begitulah!
Karena sebuah kecelakaan kecil di masa lalu yang berakibat fatal.” Bagas
menghela napas berat, senyum Lea mendadak terlukis di benaknya. “Namanya Lea,
teman masa kecilku. Dia gadis kecil yang selalu bisa buat aku tersenyum dalam
kondisi sesedih apa pun. Bahkan dia jadi pembela, saat aku dijaili teman-teman
di sekolah.”
Tara
menyimak. Ia bisa merasakan nada tentram di kalimat Bagas, ketika menceritakan
sosok Lea.
“Sore itu,
harusnya kami tidak usah ke rumah pohon. Ia ingin menunjukkan keahlian memasaknya.
Kelak jika dewasa, ia ingin menjadi seorang istri yang disayang suami karena
jago masak.” Senyum merujuk tawa menghiasi kalimat Bagas. Ia merasa lucu,
terkenang nada polos Lea kala itu.
“Aku
menyiapkan semua peralatannya, hasil selundupan dari dapur Ibu. Sayang,
pertunjukan Lea berakhir bencana. Botol plastik yang berisi penuh minyak tanah
tidak sengaja tersenggol dan tumpah ke arah tungku. Api membesar, dan dengan
cepat menjalar ke mana-mana. Refleks, aku melompat. Dasar bodoh, aku lupa kalau
Lea tidak mungkin berani melompat dari tempat setinggi itu.” Bagas menarik napas
panjang. “Aku kalang kabut, panik luar biasa. Aku berlari meminta pertolongan,
tapi ….” Bagas tercekat. Suara bergetarnya disusul buliran bening di sudut
matanya.
Tara menepuk
pelan pundak Bagas. Ia mengerti apa yang dirasakan Bagas. Penyesalan, rasa
bersalah, pasti masih menghantuinya hingga saat ini. Sama seperti yang ia
rasakan, ketika tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kedua orangtuanya.
“Kamu mirip
dia, punya naluri melindungi.” Bagas mendalami sorot mata Tara.
Sejenak,
pandangan mereka terpaut.
“Kak, Kak
Bagas mana?” suara parau Aldo meleraikan pandangan mereka.
Bagas
beranjak ke sisi Aldo, memperlihatkan sebuah senyum penyemangat.
Bagas
merasa terpanggil untuk benar-benar membantu kesembuhan Aldo. Hari-hari
berikutnya, ia selalu meluangkan waktu untuk menemani Aldo di rumah sakit.
Seiring dengan itu, rasa kagum yang awalnya bermuara pada pribadi Tara yang
mengingatkannya pada Lea, berangsur-angsur berevolusi
menjadi sebuah rasa yang aneh. Rasa yang mampu membuatnya tersenyum dalam
kesendirian, rasa yang mampu menghilangkan mimpi buruk itu, dan rasa yang
menuangkan sejuta warna di harinya kini. Tapi, ia belum berani menobatkan cinta
sebagai nama rasa itu.
---
Rona
bahagia menyepuh wajah Rana, ketika Bagas memarkir motor matic-nya di depan toko bunga tempatnya bekerja. Beberapa hari ini,
Bagas memang tidak pernah lagi menjemputnya. Barangkali sibuk? Pikir Rana! Dan
hari ini, semoga Bagas bisa menebus semua itu dengan mengajaknya makan malam.
Ia tidak akan lupa dengan rencana yang tiba-tiba gagal beberapa hari yang lalu.
“Ran, di
sini yang paling laku, bunga apa, sih?”
“Kok,
tumben kamu nanyain bunga?” sergah Rana dengan tatapan selidik.
“Pengen tau
aja!” Bagas memelankan suaranya.
“Tuh …!”
Rana menunjuk contoh buket bunga mawar yang dibalut renda pink.
Bagas
menoleh. “Aku mau, dong, satu yang kayak gitu.”
Rasa heran merumpun
dalam tatapan Rana. Kemudian perlahan-lahan meluber membentuk riak-riak
kegirangan yang menyesaki dadanya. Pasti Bagas membeli bunga itu untuknya, dan
menyematkan kata maaf di dalamnya. Rasa bahagia meledak-ledak dalam diri Rana.
“Hari ini
Tara berulang tahun. kasian, pasti tidak ada yang merayakannya. Pasti dia cuma
berdiam diri di rumah sakit, menemani adiknya. Karena itu, malam ini, aku mau
menemui dia. Bersama bunga yang kamu pilihkan itu, semoga ia bisa merasa spesial
di hari jadinya.” Bagas tersenyum menutup kalimatnya.
Serupa anak karang yang diterjang
ombak, hati Rana retak. Ia beranjak menyiapkan bunga itu untuk Bagas, alih-alih
menyembunyikan wajahnya yang merujuk sendu. Belum pernah Rana merasa sehampa
ini di boncengan Bagas. Motor matic
yang selama ini selalu bisa mendengarkan hatinya berdendang, pun tampak acuh
hari ini. Rana memegang buket bunga itu sepanjang perjalanan pulang. Ia
memperlakukannya sangat hati-hati, serupa hati-hatinya ia menjaga air matanya
agar tidak tumpah. Jangan sampai sehelai pun kelopaknya gugur. Bunga itu harus
tiba di tangan Tara dalam keadaan utuh. Demi Bagas.
PROFIL PENULIS
Ansar
Siri,
penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah
kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan.
Kecintaannya
pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email :
ansarsiri357@gmail.com
Facebook : Ansar Siri
Twitter : @SiriAnsar
*Cerpen ini lolos sebagai kontributor dalam lomba menulis cerpen bertajuk "Phobia" yang diadakan oleh Penerbit Oksana. Kemudian diterbitkan secara indie dengan buku berjudul "Chronomaly"; Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar