Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen: Semburat Kasih sang Phyrophobia



            Dengan cepat, api itu menjalar ke mana-mana. Berkobar di setiap sudut ruangan sempit itu dan menerkam apa saja yang ada di hadapannya. Sekejap saja, rumah pohon berdinding tripleks itu berada dalam genggaman si jago merah. Nahas, gadis kecil di dalam rumah pohon itu tidak sempat menyelamatkan diri. Tangisnya pecah, jeritnya memekik, ketika si jago merah menjalar hingga ke jantungnya.

            “TIDAK …!” Bagas terjaga. Jeritnya bergaung memenuhi kamar kost yang sangat sederhana itu. Tangannya menyenggol gelas yang berisi setengah air putih. Gelas itu memantul di lantai dan disusul suara gemerincing, pecah. Bagas tak lantas membersihkan serpihan beling itu, ia malah tertegun. Bintik-bintik keringat berkilauan di keningnya, napasnya tersengal. Ia melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu, jarum jam berpijak di angka 2. Lagi-lagi, ia ketiduran di meja. Laptop di depannya masih menyala, monitornya menampilkan sepenggal naskah novel yang sedang kejar deadline. Tapi akhir-akhir ini, konsentrasinya buyar oleh mimpi buruk itu. Sebuah kecelakaan di masa kecil yang kini kembali mengusik hari-harinya.

            “Tok … tok … tok …!” seseorang mengetuk pintu dengan pelan.

            Bagas beranjak membuka pintu. Sesuai dugaan, Rana muncul di depan pintu. Ia masih mengenakan mukena, sepertinya baru selesai salat Tahajjud, salah satu ibadah yang tidak pernah ditinggalkan oleh gadis bermata teduh itu.

            Bagas mengenal Rana sejak pertama kali pindah ke indekos itu, dua tahun terakhir. Mereka memang akrab. Selain karena kamar mereka bersebelahan, Rana sering berbagi makanan untuk Bagas. Rana hanya tamatan SMA, dan sekarang bekerja di toko bunga.

            “Aku sedang sujud terakhir, saat mendengar Mas teriak. Ada apa? Mimpi buruk lagi?”

            Bagas tidak menjawab, ia berbalik dan kembali duduk di tempat semula. Ia bersandar pada kursi plastik itu, dan membiarkan kepalanya jatuh ke belakang. Tatapannya hampa membentur plafon bercat kusam itu.

            Rana mengikuti langkah Bagas. Kemudian pandangannya tertuju pada serpihan beling yang masih berserakan di lantai.

            “Astaga, Mas, kenapa gelasnya sampai pecah begini?” Rana langsung jongkok, mengumpulkan pecahan beling itu di telapak tangannya.

            “Entah ada apa dengan Lea? Ia semakin sering datang di mimpiku akhir-akhir ini.”

            Sejenak, Rana terdiam, sudah sangat sering ia mendengar nama itu. Apakah gadis itu cinta pertama Bagas? Tidak mungkin, pikir Rana. Mereka baru saja masuk sekolah dasar pada saat itu, masih terlalu kecil untuk mengenal cinta. Tapi nyatanya, Bagas kerap kali bercerita, bagaimana semua hari menjadi indah jika ia lalui bersama Lea. Dan bagaimana mereka membangun istana mereka, sebuah rumah pohon di halaman belakang rumah Bagas. Rana yang selama ini menaruh hati pada cowok berambut ikal itu, hanya bisa menjadi pendengar setia. Manakala Bagas mulai larut, bernostalgia, menguraikan satu-persatu lembaran kenangannya bersama Lea.

            Rana sadar akan kodratnya sebagai perempuan, hanya bisa menunggu hingga Bagas menyadari sinyal-sinyal cintanya selama ini. Tapi sayang, Rana di mata Bagas hanya sebatas tetangga selama ini, tempat ia menemukan apa pun yang ia butuhkan. Ketika kesiangan, diburu jam kuliah, ia tidak segan meminta Rana menyetrikakan bajunya, sambil ia mandi. Dan di mata Rana, Bagas selalu memiliki sesuatu yang membuatnya tak bisa menolak. Ratusan kali Rana menyulam nama Bagas di setiap doanya, berharap Sang Maha Tahu segera memberinya petunjuk.

            “Mas hanya terlalu capek akhir-akhir ini. Mas terlalu memaksakan diri.”

            “Sudah dua naskah yang ditolak, dan aku tidak ingin gagal di naskah ini. Bagaimana aku membiayai kuliahku jika naskahku selalu ditolak?” Bagas mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas berat.

            “Alasan Mas menulis karena cari uang buat kuliah. Anehnya, seringkali kuliah Mas malah terbengkalai karena menulis. Mas butuh keseimbangan,” ucap Rana sambil beranjak membuang serpihan beling itu ke tempat sampah yang terletak di pojok ruangan.

            Bagas bergeming. Ia teringat ibunya di kampung yang sering mengucapkan hal senada dengan Rana.

---

            Bagas merasakan kepalanya berdenyut-denyut, efek kurang tidur. Ini bukan hal baru, tapi ia seolah tak pernah berinisiatif untuk mengatasinya. Ia mengendarai motor matic-nya, menembus lembaran matahari yang mulai memanas. Larutnya ia dalam dunia menulis, pernah berbuah surat peringatan dari kampus. Dan pagi ini, ada presentasi penting yang harus ia hadiri, jika tidak ingin berhadapan dengan surat itu lagi.

            Sial. Mendadak, motornya mati di tengah jalan. Ia menuntunnya ke tepi.

            “Ceroboh …,” desisnya ketika melirik jarum meteran bahan bakar terkulai tak berdaya. Dan celakanya, SPBU jauh dari tempat itu. Bagas menengok kiri-kanan, penjual bensin eceran, pun, tidak tampak di matanya. Tidak ada cara lain, ia harus menuntun kawan setianya itu, si matic merah.

            Tiba-tiba, seorang pengendara motor berhenti di sampingnya. Seorang cewek mengenakan kemeja kotak-kotak yang dipadukan dengan jeans ketat. Bagas melirik sepasang mata bulat itu dari balik kaca helm yang melekat di kepalanya.

            “Ini!” cewek itu menyodorkan sebotol bensin.

            Bagas tampak bingung, bagaimana Tuhan mengirimkannya malaikat penolong kali ini? Bagas bermaksud membayar setelah menuang seluruh isi botol itu ke dalam tangki motornya.

            “Nggak usah!” tolaknya halus sambil meraih botol kosong itu dan memutar balik kendaraannya.

            Bagas tercengang, bahkan ia belum sempat mengucapkan terima kasih.



            Semua agenda Bagas hari ini selesai menjelang magrib. Sebelum pulang, ia menjemput Rana di tempat kerjanya. Jika waktunya cocok, Bagas memang selalu menyempatkan diri menjemput Rana. Hanya cara ini yang terlintas di benaknya untuk membalas kebaikan gadis berhijab itu selama ini. Si matic merah melaju pelan, menyesuaikan diri di tengah jalanan yang memang padat.

            “Aku bertemu Lea.”

            “Hhaa …?” Rana setengah kaget, dan jelas saja tidak percaya.

            “Maksudnya, cewek itu mengingatkanku pada Lea.” Suara Bagas berbaur dengan deru angin.

            “Siapa?”

            “Cewek yang menyelamatkanku di waktu yang tepat.”

            Rana mencelos. Bagaimana bisa cewek itu menarik perhatian Bagas dalam waktu sekali pertemuan? Dibanding dirinya yang telah berjuang selama dua tahun ini? Sepanjang perjalanan, Bagas tak hentinya membahas cewek yang tak sempat ia ketahui namanya itu. Rana yang selalu berbunga-bunga setiap kali dijemput Bagas, tampak berbeda hari ini. Semburat rasa tak rela merenggut senyum dari wajahnya.

---

            Bagas beringsut di sudut kamarnya. Tubuhnya bergetar hebat, sementara keringatnya mengalir deras. Suara gemuruh kepanikan orang-orang di luar sana memegakkan telinganya. Ia menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya. Ia menangis bak seorang bocah yang terpisah dari orang tuanya di tengah keramaian. Hawa panas, disusul kawanan asap mulai merayapi kamar Bagas. Ia mengintai ke arah jendela melalui ekor matanya, tampak si jago merah menari-nari di luar sana. Dengan sigap, Bagas menarik tatapannya, kembali membenamkan wajahnya dan terus menangis. Bagas mulai merasa sesak. Tiba-tiba seseorang mendobrak pintu kamarnya. Bagas menoleh, hanya tampak siluet di tengah kawanan asap dan beberapa ekor api. Bagas yang setengah sadar masih sempat menangkap wajah tak asing itu di matanya, ketika orang itu memapahnya keluar dari lingkaran api.



            Bagas berjengit. Ia membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya menangkap langit-lagit ruangan yang masih buram. Ia mengerjap, pandangannya berangsur pulih. Bagas menggeser kepalanya, dan mendapati senyum Rana. Ia baru menyadari keberadaannya, di rumah sakit.

            Alhamdulillah, Mas sudah sadar.”

            “Aku mimpi lagi?”

            “Nggak, Mas. Indekos kita benar-benar kebakaran.”

            “Apa?” Bagas tersentak.

            “Ada ledakan tabung elipiji di kamar tiga. Api langsung menjalar ke kamar yang lain.”

            “Barang-barangku? Naskahku?” Bagas teringat laptop butut yang setia menemani karirnya selama ini.

            “Api hanya menyambar bagian luar kamar Mas, barang-barang Mas masih bisa diselamatkan.”

            Bagas bernapas lega. Kemudian ia teringat wajah orang itu, beberapa detik sebelum ia pingsan.

            “Aku melihat Lea lagi.” Bagas melihat Rana mengernyit, wajah bingung diperlihatkannya seketika. Cepat-cepat Bagas meralat ucapannya. “Maksudnya, orang yang mirip Lea itu. Dia menyelamatkanku.”

            Kebingungan Rana memuncak. Bagaimana mungkin? Pikirnya!

---

            Setelah kebakaran itu, pihak pengelola indekos mengadakan renovasi besar-besaran. Kamar Bagas yang hanya terkena sambaran api bagian luar, tidak membutuhkan waktu pengerjaan yang lama. Bagas dan Rana kembali melanjutkan hari-hari mereka di tempat itu.

            Bagas banyak berubah, hari-harinya diliputi rasa penasaran tentang keberadaan orang itu. Hari ini, Bagas pulang ba’da magrib. Ia langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Tugas kuliah menumpuk, proyek menulis kejar deadline, benar-benar membuatnya lelah akhir-akhir ini.

            “Mas, aku boleh masuk?” suara renyah itu mengalun dari ambang pintu yang masih terkuak.

            “Masuk aja, Ran!” ucap Bagas tanpa menoleh.

            Rana melangkah masuk, kemudian duduk di kursi plastik yang biasa digunakan Bagas ketika menulis.

            “Tadi sore tukang pos mengantarkan ini, tapi Mas belum pulang.”

            Mendengar kata ‘tukang pos’, Bagas langsung bangkit dan meraih amplop putih persegi panjang itu di tangan Rana. Dengan tidak sabaran, matanya langsung menyapu isi surat itu. Seketika saja senyum sumringah tersulam rapi di bibir Bagas.

            “Surat apa, Mas?”

            “Cerpenku lolos, Ran, dan akan dimuat edisi minggu depan.”

            Alhamdulillah!”

            “Kamu siap-siap, ya!”

            “Siap-siap?” Rana mengernyit.

            “Aku, kan, pernah janji sama kamu, kalau cerpen ini lolos, aku akan mengajak kamu makan malam di luar.”

            “Yang benar? Serius?”

            “Iya. Masa kamu lupa, sih?”

            Rona bahagia meletup-letup di wajah Rana, ia tak mampu menyembunyikan rasa girangnya kali ini. Ia berlari-lari kecil kembali ke kamarnya. Harus dandan seperti apa, ya? Pakai baju yang mana, ya? Sepatu warna apa, ya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu merumpun begitu saja di benaknya.

            Rana bertukar pakaian dengan sigap, ia tidak ingin Bagas menunggu lama. Rana berputar di depan kaca lebar yang menempel di dinding. Ia memperhatikan penampilannya dari depan, samping, dan belakang. Sepertinya cukup. Rana kembali menemui Bagas.

            “Mas, aku sudah ….” Rana tercekat. Ada cewek lain bersama Bagas.

            Mereka duduk melantai, kemudian berdiri hampir bersamaan saat Rana masuk.

            “Mbak, saya bicara di luar sebentar, ya, dengan teman saya.”

            Cewek itu mengangguk, mengiyakan. Bagas mengajak Rana keluar, agak menjauh dari kamar itu.

            “Siapa dia, Mas?”

            “Dia Tara, orang yang aku ceritakan selama ini, orang yang mengingatkanku pada Lea.”

            “Terus?”

            “Ternyata adiknya pengagum tulisan-tulisanku selama ini. Adiknya sedang kritis di rumah sakit. Dia ingin aku ada di sana, dengan harapan bisa memberinya semangat bertahan hidup.”

            “Lalu, makan malam kita?”

            “Aku benar-benar minta maaf, Ran! Besok, atau di waktu berikutnya, kita masih bisa pergi. Tapi kali ini aku harus menemui anak itu, semoga benar-benar bisa membantu.”

            Rana tak berucap lagi. Ia mengiyakan dengan kembali ke kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Lebih dari kecewa, rasa itu merujuk ngilu di ulu hatinya. Jika gadis itu bukan dia yang mirip Lea, mungkin Rana akan baik-baik saja.



            Bagas dan Tara tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju kamar perawatan Aldo, adik Tara. Remaja berusia 15 tahun itu tergolek lemah.

            “Dia selalu merengek, ingin bertemu kamu. Dia ingin menjadi penulis seperti kamu. Tapi penyakit asma yang bersarang ditubuhnya, seolah tidak merestui cita-citanya itu.”

            Bagas melihat beberapa novel karyanya di samping bantal anak itu. Sebegitu sukanya, kah, dia dengan tulisan Bagas?

            “Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Sebisa mungkin, aku selalu mengabulkan semua keinginannya, termasuk bertemu kamu. Jadi maaf, karena akhir-akhir ini aku mencari info tentang kamu diam-diam.” Tara menoleh ke arah Bagas.

            Bagas hanya tersenyum lemah. “Orangtua kalian?” tanyanya kemudian dengan nada sepadam.

            “Orangtua kami meninggal dalam musibah kebakaran.”

            Mendengar kata kebakaran, darah Bagas berdesir, rasa ngeri menyeruak di wajahnya.

            “Menurutku, mereka masih bisa diselamatkan, hanya saja tim pemadam kebakaran yang lamban pada saat itu. Makanya, sejak saat itu, aku bertekad untuk menjadi anggota pemadam kebakaran. Menyelamatkan siapa pun yang berada dalam ancaman api. Tidak mudah mendapatkan posisi ini. Cibiran, serta nada meremehkan ketika terjun ke lapangan, harus aku telan.”

            Bagas terperangah. Ia takjub, kagum, yang kemudian melebur menjadi rasa simpati.

            “Maksudnya, kamu srikandi baruna?” ucapnya kemudian dengan nada tidak percaya.

            Tara mengangguk dengan seutas senyum simpul.

            “Jadi kebakaran kemarin? Yang menyelamatkanku?”

            “Ya, itu aku.” Tara menimpali kalimat terbata Bagas. “Butuh tenaga ekstra untuk mendobrak pintu kamarmu. Aku melihat kamu sangat panik, tapi kenapa tidak mencoba untuk keluar?”

            “Sepertinya aku lebih baik langsung mati saja daripada harus melihat kobaran api itu.”

            “Kamu phobia?”

            “Begitulah! Karena sebuah kecelakaan kecil di masa lalu yang berakibat fatal.” Bagas menghela napas berat, senyum Lea mendadak terlukis di benaknya. “Namanya Lea, teman masa kecilku. Dia gadis kecil yang selalu bisa buat aku tersenyum dalam kondisi sesedih apa pun. Bahkan dia jadi pembela, saat aku dijaili teman-teman di sekolah.”

            Tara menyimak. Ia bisa merasakan nada tentram di kalimat Bagas, ketika menceritakan sosok Lea.

            “Sore itu, harusnya kami tidak usah ke rumah pohon. Ia ingin menunjukkan keahlian memasaknya. Kelak jika dewasa, ia ingin menjadi seorang istri yang disayang suami karena jago masak.” Senyum merujuk tawa menghiasi kalimat Bagas. Ia merasa lucu, terkenang nada polos Lea kala itu.

            “Aku menyiapkan semua peralatannya, hasil selundupan dari dapur Ibu. Sayang, pertunjukan Lea berakhir bencana. Botol plastik yang berisi penuh minyak tanah tidak sengaja tersenggol dan tumpah ke arah tungku. Api membesar, dan dengan cepat menjalar ke mana-mana. Refleks, aku melompat. Dasar bodoh, aku lupa kalau Lea tidak mungkin berani melompat dari tempat setinggi itu.” Bagas menarik napas panjang. “Aku kalang kabut, panik luar biasa. Aku berlari meminta pertolongan, tapi ….” Bagas tercekat. Suara bergetarnya disusul buliran bening di sudut matanya.

            Tara menepuk pelan pundak Bagas. Ia mengerti apa yang dirasakan Bagas. Penyesalan, rasa bersalah, pasti masih menghantuinya hingga saat ini. Sama seperti yang ia rasakan, ketika tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kedua orangtuanya.

            “Kamu mirip dia, punya naluri melindungi.” Bagas mendalami sorot mata Tara.

            Sejenak, pandangan mereka terpaut.

            “Kak, Kak Bagas mana?” suara parau Aldo meleraikan pandangan mereka.

            Bagas beranjak ke sisi Aldo, memperlihatkan sebuah senyum penyemangat.



            Bagas merasa terpanggil untuk benar-benar membantu kesembuhan Aldo. Hari-hari berikutnya, ia selalu meluangkan waktu untuk menemani Aldo di rumah sakit. Seiring dengan itu, rasa kagum yang awalnya bermuara pada pribadi Tara yang mengingatkannya pada Lea, berangsur-angsur berevolusi menjadi sebuah rasa yang aneh. Rasa yang mampu membuatnya tersenyum dalam kesendirian, rasa yang mampu menghilangkan mimpi buruk itu, dan rasa yang menuangkan sejuta warna di harinya kini. Tapi, ia belum berani menobatkan cinta sebagai nama rasa itu.

---

            Rona bahagia menyepuh wajah Rana, ketika Bagas memarkir motor matic-nya di depan toko bunga tempatnya bekerja. Beberapa hari ini, Bagas memang tidak pernah lagi menjemputnya. Barangkali sibuk? Pikir Rana! Dan hari ini, semoga Bagas bisa menebus semua itu dengan mengajaknya makan malam. Ia tidak akan lupa dengan rencana yang tiba-tiba gagal beberapa hari yang lalu.

            “Ran, di sini yang paling laku, bunga apa, sih?”

            “Kok, tumben kamu nanyain bunga?” sergah Rana dengan tatapan selidik.

            “Pengen tau aja!” Bagas memelankan suaranya.

            “Tuh …!” Rana menunjuk contoh buket bunga mawar yang dibalut renda pink.

            Bagas menoleh. “Aku mau, dong, satu yang kayak gitu.”

            Rasa heran merumpun dalam tatapan Rana. Kemudian perlahan-lahan meluber membentuk riak-riak kegirangan yang menyesaki dadanya. Pasti Bagas membeli bunga itu untuknya, dan menyematkan kata maaf di dalamnya. Rasa bahagia meledak-ledak dalam diri Rana.

            “Hari ini Tara berulang tahun. kasian, pasti tidak ada yang merayakannya. Pasti dia cuma berdiam diri di rumah sakit, menemani adiknya. Karena itu, malam ini, aku mau menemui dia. Bersama bunga yang kamu pilihkan itu, semoga ia bisa merasa spesial di hari jadinya.” Bagas tersenyum menutup kalimatnya.
            Serupa anak karang yang diterjang ombak, hati Rana retak. Ia beranjak menyiapkan bunga itu untuk Bagas, alih-alih menyembunyikan wajahnya yang merujuk sendu. Belum pernah Rana merasa sehampa ini di boncengan Bagas. Motor matic yang selama ini selalu bisa mendengarkan hatinya berdendang, pun tampak acuh hari ini. Rana memegang buket bunga itu sepanjang perjalanan pulang. Ia memperlakukannya sangat hati-hati, serupa hati-hatinya ia menjaga air matanya agar tidak tumpah. Jangan sampai sehelai pun kelopaknya gugur. Bunga itu harus tiba di tangan Tara dalam keadaan utuh. Demi Bagas.

PROFIL PENULIS

            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar


*Cerpen ini lolos sebagai kontributor dalam lomba menulis cerpen bertajuk "Phobia" yang diadakan oleh Penerbit Oksana. Kemudian diterbitkan secara indie dengan buku berjudul "Chronomaly"; Juni 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar