09 Maret
2016.
Gerhana
matahari total diperkirakan terjadi pukul 06:20 WIB, tapi aku sudah berada di
jembatan Ampera sejak pukul 05:55 WIB. Ternyata, jembatan yang menjadi ikon
kota Palembang itu, sudah sesak ketika aku tiba. Gelak tawa serta rasa tak
sabar, kulalui dengan suka cita bersama sahabat-sahabatku. Dan waktu yang
dinantikan selama beberapa pekan terakhir, tiba juga. Pagi yang tadinya cerah,
mendadak kelabu, remang. Aku lekas memakai kacamata berfilter khusus yang
kupersiapkan jauh-jauh hari.
Aku
merinding, takjub. Perlahan-lahan tubuh matahari masuk ke dalam siluet hitam.
Aku terharu, ketika sadar, tidak semua orang seberuntung aku. Tapi, Entah kekuatan
apa yang kemudian mengalihkan pandanganku dari titik yang menjadi perhatian
semua orang itu? Tiba-tiba saja, aku melihat dia, seseorang yang menjadi
bingkai sebuah harapan dalam hatiku selama ini. Seseorang yang tak pernah lupa
kusebut namanya di akhir sujudku. Dan seseorang yang mampu membuatku bertahan
dalam kesendirian selama ini. Angin mamiri
di Pantai Losari kala itu, menjadi saksi bisu ketika ia mengikrarkan janji
setianya di akhir kalimat pamitnya. Ia harus menuruti keinginan orangtuanya
yang akan menyekolahkannya ke luar negeri. Dan pelet apa yang ia sematkan dalam
janji setianya itu? Kenapa aku rela membiarkan waktuku hanya bertemankan
bayangannya selama ini? Aku tak pernah letih mengukir cerita penantian, tak
pernah terlintas di benakku, ia akan mangkir dari janji itu. Kata tolol yang
mereka lemparkan, tak menggoyahkan setia yang kugenggam. Aku hanya menyakini
kalimat yang ia ulang beberapa kali di perbincangan terakhir kami kala itu,
bahwa ia pasti kembali.
Kini, ia benar-benar kembali.
Mengakhiri penantianku di pagi yang bernuansa petang ini. Kembalinya mengais
luka, tepat di hatiku yang sepertinya akan permanen. Aku tak berdaya membendung
air mata yang membentuk dua sungai kecil di pipiku. Setidaknya, aku tahu,
sekarang dia baik-baik saja. Bahkan, ia terlihat sangat bahagia bersama wanita
yang ada di sampingnya, serta bayi mungil di antara mereka. Hanya 1 menit 52
detik, kota Palembang bersinar kembali. Tapi tidak dengan hatiku.
PROFIL PENULIS
Ansar
Siri,
penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah
kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan.
Kecintaannya
pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email :
ansarsiri357@gmail.com
Facebook : Ansar Siri
Twitter : @SiriAnsar
*Flash fiction ini lolos sebagai kontributor dalam event menulis FF 300 kata yang diadakan oleh Mazaya Publishing House, kemudian diterbitkan secara indie dengan buku berjudul "Cinta di Antara Dua Pria"; Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar