Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen: Sketsa Cinta



            Sudah hampir tiga tahun Safran dan lukisan-lukisannya menjadi pemandangan tersendiri di ruas jalan itu. Di ruas jalan yang memang selalu ramai itulah ia menjalani profesinya sebagai pelukis jalanan. Karya-karyanya beraliran abstrak, dan terbilang kurang diminati oleh orang-orang di sekitar tempat itu. Jarang sekali ada yang laku.

            Safran berada di saat-saat sulit. Di tengah kerasnya kota Jakarta, ia harus tetap berdiri kokoh demi keluarganya di kampung. Ayahnya meninggal dua tahun yang lalu, dan sekarang ibunya pun sakit-sakitan. Belum lagi ia harus membiayai sekolah ketiga orang adiknya. Apa pun yang terjadi, ia tidak ingin adik-adiknya putus sekolah. Untuk semua itu, seringkali kuliahnya harus terbengkalai.

            Safran berdiri mengamati lukisannya yang setengah jadi, ketika tiba-tiba saja sebuah sedan hitam dengan laju tak terkendali menyambar lapaknya. Mobil itu berhenti dalam posisi serong, setelah berputar dua kali. Lapak Safran hancur, lukisan-lukisannya berserakan. Dalam sekejap, orang-orang di sekitar tempat itu berlomba-lomba mengerumungi lapak Safran.

            Kaget, marah, kesal, beradu di benak Safran. Tapi wajahnya lebih menampakkan kesedihan daripada kemarahan. Safran masih mematung, memandangi kondisi lapaknya dengan hati miris. Ia kalut memikirkan kerugian yang harus ia terima hari ini.

            Sementara itu, laki-laki paruh baya itu tergopoh-gopoh keluar dari mobilnya. Ia memandang sekeliling tempat itu, sebuah lapak tak beratap yang menjadi sumber penghasilan seseorang telah porak-poranda karena ulahnya. Dengan raut penuh rasa bersalah, laki-laki paruh baya itu langsung membenahi lapak Safran, memungut lukisan-lukisan yang terlanjur rusak itu.

            “Saya benar-benar minta maaf, Nak, lukisan-lukisannya jadi rusak begini,” ucap laki-laki paruh baya itu dengan napas memburu.

            Rasa kesal yang tadinya berkecamuk di hati Safran, mendadak reda ketika orang itu memanggilnya ‘Nak’. Semenjak kematian ayahnya, Safran memang paling gampang luluh dengan panggilan ‘Nak’ dari seseorang.

            “Saya mengemudi terlalu cepat untuk kondisi jalan seramai ini. Tiba-tiba saja seekor anjing melintas, saya bermaksud menghindarinya, tapi saya malah kehilangan kendali. Sekali lagi saya benar-benar minta maaf, Nak!”

            “Tidak apa-apa, Pak. Lain kali, Bapak harus lebih berhati-hati.” Safran menepuk pelan pundak orang itu.

            Laki-laki paruh baya itu hanya tercengang. Sikap yang diperlihatkan Safran sungguh di luar dugaannya. Bagaimana mungkin Safran tidak marah sedikit pun? Pikirnya!

            “Kalau begitu, biarkan saya membayar semua lukisan-lukisan ini. Sebutkan saja, Nak, berapa saya harus menggantinya?”

            “Lukisan saya dibayar hanya jika orang tersebut merasa senang dan ingin memilikinya. Saya memang hanya seniman jalanan, Pak, menjual lukisan untuk menyambung hidup, tapi saya tidak akan membiarkan Bapak membayar lukisan yang terlanjur rusak itu.”

            “Lalu bagaimana dengan lukisannya?”

            “Biarkan saja, Pak, mau bagaimana lagi? Bapak juga tidak sengaja kan? Yang penting, Bapak dan saya tidak apa-apa.”

            Laki-laki paruh baya itu kian terperangah. Apakah ia sedang berhadapan dengan seorang malaikat di siang bolong seperti ini?

---

            Safran berada di sebuah gedung galeri milik Pak Bagas, orang yang menabrak lapaknya beberapa hari yang lalu. Di ujung perbincangan mereka hari itu, Pak Bagas menawarkan kepada Safran agar memasukkan karya-karyanya di galerinya. Hal ini karena Pak Bagas sangat terkesan dengan pribadi Safran.

            Safran mengitari tempat itu. Ada banyak sekali lukisan yang dipamerkan di sini, tapi tak satu pun yang beraliran abstrak. Kenapa? Pikirnya! Tiba-tiba seorang gadis mengalihkan perhatian Safran. Dengan kursi rodanya ia mengitari tempat itu, menikmati bingkai demi bingkai jejeran lukisan beraliran realisme dengan objek alam. Wajah putih tirusnya berseri dalam rangkaian senyuman manis.

            “Kamu suka lukisan?” Safran memberanikan diri menyapa gadis itu, dengan pertanyaan yang kedengarannya agak konyol.

            Gadis itu menoleh ke arah Safran kemudian mengangguk antusias.

            “Kamu suka realisme?”

            “Lebih tepatnya, aku suka pantai.”

            “Pantai? Kenapa?”

            “Karena pantai selalu menegaskan bahwa di dunia ini ada begitu banyak tempat yang bisa kita singgahi, bukan hanya di daratan.”

            Safran mencermati omongan gadis itu. Entah lewat dari mana, perlahan-lahan senyuman gadis itu merayapi relung hatinya.

            Gadis itu berlalu meninggalkan Safran dengan getar-getar rasa yang hadir begitu saja.

            “Nak Safran?”

            “Eh, Pak Bagas!”

            Kehadiran Pak Bagas mengakhiri tatapan panjang Safran ke arah gadis itu yang semakin menjauh seiring putaran roda kursi rodanya.

---

            Ini adalah pekan ketiga sejak Safran memasukkan karya-kayanya di galeri Pak Bagas, baru lima yang laku terjual. Tapi setidaknya Safran bangga, karena karya-karyanya mulai dilirik oleh para pengunjung galeri itu. Akhir-akhir ini Safran lebih intens mengunjungi galeri, untuk memantau perkembangan lukisan-lukisannya. Dan juga, hanya di sana ia bisa melihat senyuman itu. Ya, gadis berkursi roda itu. Ia selalu ada di sana setiap kali Safran berkunjung.

            Namanya Rara. Safran mengetahuinya ketika mereka berkenalan pada suatu kesempatan. Hari-hari berlalu menguntai kedekatan di antara mereka. Dan pada kesempatan yang berbeda, Safran pun tahu bahwa Rara itu putri tunggal Pak Bagas. Pak Bagas bermaksud memperkenalkan Rara kepada Safran, tapi ternyata mereka sudah saling kenal terlebih dahulu. Pak Bagas hanya terkekeh pada saat itu.

            “Masih betah memandangi lukisan pantai?” tiba-tiba saja Safran mengusik tatapan larut Rara ke dalam lukisan pantai itu. Ia berdiri di belakang Rara, memegang handle kursi rodanya.

            Rara menoleh dengan senyuman khasnya.

            “Sekali-kali lihat lukisan aku juga, dong!” ucap Safran dengan nada candaan.

            “Nggak, ah! Lukisanmu nggak ada pantainya.”

            “Kata siapa?”

            “Iya, tapi mana ada pantai berwarna ungu?” Rara teringat dengan salah satu lukisan Safran.

            “Namanya juga abstrak. Wajar kalau sepintas memang terlihat aneh, tapi coba deh, kamu resapi, rasakan kamu larut di antara kerumitan warna-warna itu, kamu pasti akan menemukan keindahannya.”

            “Iya deh! Lagian cuma bercanda, kok. Lukisan kamu bagus, buktinya, mulai diminati.”

            Safran tersenyum dengan lagak menyombongkan diri. Rara senyum-senyum saja dibuatnya.

            “Dan kabar baiknya, tadi pagi lukisan kamu terjual lagi, langsung tiga sekaligus.”

            “Haa?” Safran tercengang mendengar kalimat Rara. “Serius?” lanjutnya dengan mata berbinar-binar.

            Rara mengangguk di balik senyumnya.

            “Kamu senang?”

            “Bukan senang lagi, Ra, ini luar biasa,” ucap Fahran kegirangan.

            “Nah, untuk merayakannya, Papa mengundang kamu makan malam di rumah.”

            “Makan malam? Di rumah kamu?” raut wajah Safran mendadak berubah.

            “Iya, ini idenya Papa.”

            “Apa itu tidak berlebihan, Ra?”

            “Berlebihan bagaimana? Papa pasti kecewa kalau kamu tidak datang.”

            Safran merasa Pak Bagas sudah sangat baik terhadapnya selama ini. Ia sangat sungkan.

---

            Mereka hanya duduk bertiga di meja makan itu. Malam ini Rara terlihat sangat cantik, Safran tak henti meliriknya. Seusai makan malam, obrolan hangat berlanjut ke ruang tengah. Pak Bagas banyak bercerita bagaimana secara tidak langsung ia merintis usaha galerinya.

            “Pa, aku boleh ngajak Safran main ke kamar? Aku mau nunjukin koleksiku.”

            “Boleh sayang!”

            “Emang nggak apa-apa, Pak?” Safran menoleh ke arah Pak Bagas, ia merasa kurang sopan jika harus masuk ke kamar Rara.

            Pak Bagas hanya tersenyum, mengiyakan.

            Kamar Rara dipenuhi ornamen berbau surfing. Ada sebuah lemari kaca yang besar, dan didalamnya berjejer rapi berbagai jenis papan selancar. Rara menunjukkan kumpulan artikel dari berbagai majalah yang memuat berita dirinya. ‘Gadis Pengendali Ombak’, demikian salah satu judul artikel yang kini sementara dibaca Safran. Dari situ, Safran tahu, bahwa dulunya Rara seorang surfer profesional, bahkan mendapat julukan ‘pengendali ombak’.

            “Lalu, sekarang kenapa seperti ini, Ra?” Suara Safran sendu.

            “Di mata Tuhan, ini yang terbaik buat aku.” Hanya seperti itu Rara menjawab pertanyaan Safran. Kemudian ia akan berlindung di balik senyum tegarnya, yang di mata Safran tak lebih dari senyum palsu.

---

            Dengan langkah cepat, sedari tadi Safran mengitari galeri, kemana Rara? Kenapa dari tadi dia tidak kelihatan? Safran mulai gelisah.

            “Rara masuk rumah sakit.” Demikian kalimat singkat Pak Bagas yang seketika menyengat sekujur tubuh Safran.

            “Apa? Kenapa?” Safran tersentak.

            “Leukimia.” Suara Pak Bagas bergetar, air matanya tumpah begitu saja.

            Segenap kosakata sperti lenyap dari benak Safran. Bagaimana mungkin? Rara yang selama ini begitu periang ternyata mengidap leukimia.

            “Di balik sikap riangnya, ia berusaha meyakinkan semua orang bahwa ia baik-baik saja. Ia menolak untuk kemoterapi, ia tidak ingin mati dalam kondisi menyedihkan. Ia mencintaimu bahkan sebelum bertemu kamu. Sejak saya menceritakan kemuliaan hatimu ketika saya tidak sengaja menabrak lapak kamu waktu itu, ia selalu penasaran dengan sosokmu. Karena hal itu, ia begitu gencar memasarkan lukisan-lukisan kamu di internet, hingga mampu menarik pembeli dari luar negeri. Semua lukisan kamu yang terjual berkat kegigihannya. Bahkan, ia tidak peduli dengan kondisinya yang semakin lemah.” Pak Bagas bercerita di sela isak tangisnya.

            Safran terenyuh, akal sehatnya belum mampu mencerna semua ini. Bagaimana seorang surfer akhirnya dilumpuhkan oleh leukimia,  dan bagaimana gadis di atas kursi roda tiba-tiba mengisi relung hatinya. Dan sekarang bagaimana? Apakah harus berakhir bahkan sebelum dimulai? Safran serasa ingin berontak.

---

            Safran membawa Rara ke pantai. Rara bersikeras, ia tidak ingin meninggal di rumah sakit, begitu katanya ketika berbisik di telinga Safran.

            “Safran, aku ingin kamu melukisku bersama pantai ini. Aku ingin berada di antara ombak itu untuk yang terakhir kalinya,” ucap Rara di sela tarikan napasnya yang sesak.

            Dengan tangis yang tertahan, Safran langsung mengabulkan permintaan Rara. Hanya berupa sketsa, karena hanya sebatang pensil yang Safran punya sekarang. Safran menambahkan sepasang sayap untuk Rara di sketsa itu, agar ia tetap kuat melawan ombak, meskipun kedua kakinya semakin lemah.
            Rara tersenyum lemah melihat sketsa itu. Ada cinta yang menerawang di setiap goresan tangan Safran, ia bisa merasakannya. Rara mendekap sketsa itu, kemudian bersandar di bahu Safran. Ia merasakan napasnya semakin sesak, tapi ia berusaha tetap tersenyum, karena ia cukup bahagia sejauh ini. Mata Rara yang sayu menutup perlahan-lahan, hingga benar-benar Rapat dan tak bisa terbuka lagi. Rara pergi untuk selamanya, meninggalkan senyuman abadi untuk Safran.

PROFIL PENULIS

            Ansar Siri, penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email               : ansarsiri357@gmail.com
Facebook         : Ansar Siri
Twitter             : @SiriAnsar


*Cerpen ini lolos sebagai kontributor dalam lomba menulis cerpen bertajuk "4 Magic Boy" yang diadakan oleh Khoiri Press. Kemudian diterbitkan secara indie dengan buku berjudul "Awesomer"; Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar