Sudah
hampir tiga tahun Safran dan lukisan-lukisannya menjadi pemandangan tersendiri
di ruas jalan itu. Di ruas jalan yang memang selalu ramai itulah ia menjalani
profesinya sebagai pelukis jalanan. Karya-karyanya beraliran abstrak, dan terbilang
kurang diminati oleh orang-orang di sekitar tempat itu. Jarang sekali ada yang
laku.
Safran
berada di saat-saat sulit. Di tengah kerasnya kota Jakarta, ia harus tetap
berdiri kokoh demi keluarganya di kampung. Ayahnya meninggal dua tahun yang lalu,
dan sekarang ibunya pun sakit-sakitan. Belum lagi ia harus membiayai sekolah
ketiga orang adiknya. Apa pun yang terjadi, ia tidak ingin adik-adiknya putus
sekolah. Untuk semua itu, seringkali kuliahnya harus terbengkalai.
Safran
berdiri mengamati lukisannya yang setengah jadi, ketika tiba-tiba saja sebuah
sedan hitam dengan laju tak terkendali menyambar lapaknya. Mobil itu berhenti
dalam posisi serong, setelah berputar dua kali. Lapak Safran hancur, lukisan-lukisannya
berserakan. Dalam sekejap, orang-orang di sekitar tempat itu berlomba-lomba
mengerumungi lapak Safran.
Kaget,
marah, kesal, beradu di benak Safran. Tapi wajahnya lebih menampakkan kesedihan
daripada kemarahan. Safran masih mematung, memandangi kondisi lapaknya dengan
hati miris. Ia kalut memikirkan kerugian yang harus ia terima hari ini.
Sementara
itu, laki-laki paruh baya itu tergopoh-gopoh keluar dari mobilnya. Ia memandang
sekeliling tempat itu, sebuah lapak tak beratap yang menjadi sumber penghasilan
seseorang telah porak-poranda karena ulahnya. Dengan raut penuh rasa bersalah,
laki-laki paruh baya itu langsung membenahi lapak Safran, memungut
lukisan-lukisan yang terlanjur rusak itu.
“Saya
benar-benar minta maaf, Nak, lukisan-lukisannya jadi rusak begini,” ucap
laki-laki paruh baya itu dengan napas memburu.
Rasa kesal
yang tadinya berkecamuk di hati Safran, mendadak reda ketika orang itu memanggilnya
‘Nak’. Semenjak kematian ayahnya, Safran memang paling gampang luluh dengan
panggilan ‘Nak’ dari seseorang.
“Saya
mengemudi terlalu cepat untuk kondisi jalan seramai ini. Tiba-tiba saja seekor
anjing melintas, saya bermaksud menghindarinya, tapi saya malah kehilangan
kendali. Sekali lagi saya benar-benar minta maaf, Nak!”
“Tidak
apa-apa, Pak. Lain kali, Bapak harus lebih berhati-hati.” Safran menepuk pelan
pundak orang itu.
Laki-laki
paruh baya itu hanya tercengang. Sikap yang diperlihatkan Safran sungguh di
luar dugaannya. Bagaimana mungkin Safran tidak marah sedikit pun? Pikirnya!
“Kalau
begitu, biarkan saya membayar semua lukisan-lukisan ini. Sebutkan saja, Nak,
berapa saya harus menggantinya?”
“Lukisan
saya dibayar hanya jika orang tersebut merasa senang dan ingin memilikinya.
Saya memang hanya seniman jalanan, Pak, menjual lukisan untuk menyambung hidup,
tapi saya tidak akan membiarkan Bapak membayar lukisan yang terlanjur rusak
itu.”
“Lalu
bagaimana dengan lukisannya?”
“Biarkan
saja, Pak, mau bagaimana lagi? Bapak juga tidak sengaja kan? Yang penting,
Bapak dan saya tidak apa-apa.”
Laki-laki
paruh baya itu kian terperangah. Apakah ia sedang berhadapan dengan seorang
malaikat di siang bolong seperti ini?
---
Safran
berada di sebuah gedung galeri milik Pak Bagas, orang yang menabrak lapaknya
beberapa hari yang lalu. Di ujung perbincangan mereka hari itu, Pak Bagas
menawarkan kepada Safran agar memasukkan karya-karyanya di galerinya. Hal ini
karena Pak Bagas sangat terkesan dengan pribadi Safran.
Safran
mengitari tempat itu. Ada banyak sekali lukisan yang dipamerkan di sini, tapi
tak satu pun yang beraliran abstrak. Kenapa? Pikirnya! Tiba-tiba seorang gadis
mengalihkan perhatian Safran. Dengan kursi rodanya ia mengitari tempat itu,
menikmati bingkai demi bingkai jejeran lukisan beraliran realisme dengan objek
alam. Wajah putih tirusnya berseri dalam rangkaian senyuman manis.
“Kamu suka
lukisan?” Safran memberanikan diri menyapa gadis itu, dengan pertanyaan yang
kedengarannya agak konyol.
Gadis itu
menoleh ke arah Safran kemudian mengangguk antusias.
“Kamu suka
realisme?”
“Lebih
tepatnya, aku suka pantai.”
“Pantai?
Kenapa?”
“Karena
pantai selalu menegaskan bahwa di dunia ini ada begitu banyak tempat yang bisa
kita singgahi, bukan hanya di daratan.”
Safran
mencermati omongan gadis itu. Entah lewat dari mana, perlahan-lahan senyuman
gadis itu merayapi relung hatinya.
Gadis itu
berlalu meninggalkan Safran dengan getar-getar rasa yang hadir begitu saja.
“Nak
Safran?”
“Eh, Pak
Bagas!”
Kehadiran
Pak Bagas mengakhiri tatapan panjang Safran ke arah gadis itu yang semakin
menjauh seiring putaran roda kursi rodanya.
---
Ini adalah
pekan ketiga sejak Safran memasukkan karya-kayanya di galeri Pak Bagas, baru
lima yang laku terjual. Tapi setidaknya Safran bangga, karena karya-karyanya
mulai dilirik oleh para pengunjung galeri itu. Akhir-akhir ini Safran lebih
intens mengunjungi galeri, untuk memantau perkembangan lukisan-lukisannya. Dan
juga, hanya di sana ia bisa melihat senyuman itu. Ya, gadis berkursi roda itu.
Ia selalu ada di sana setiap kali Safran berkunjung.
Namanya
Rara. Safran mengetahuinya ketika mereka berkenalan pada suatu kesempatan. Hari-hari
berlalu menguntai kedekatan di antara mereka. Dan pada kesempatan yang berbeda,
Safran pun tahu bahwa Rara itu putri tunggal Pak Bagas. Pak Bagas bermaksud
memperkenalkan Rara kepada Safran, tapi ternyata mereka sudah saling kenal
terlebih dahulu. Pak Bagas hanya terkekeh pada saat itu.
“Masih betah
memandangi lukisan pantai?” tiba-tiba saja Safran mengusik tatapan larut Rara
ke dalam lukisan pantai itu. Ia berdiri di belakang Rara, memegang handle kursi rodanya.
Rara menoleh
dengan senyuman khasnya.
“Sekali-kali
lihat lukisan aku juga, dong!” ucap Safran dengan nada candaan.
“Nggak, ah!
Lukisanmu nggak ada pantainya.”
“Kata
siapa?”
“Iya, tapi
mana ada pantai berwarna ungu?” Rara teringat dengan salah satu lukisan Safran.
“Namanya
juga abstrak. Wajar kalau sepintas memang terlihat aneh, tapi coba deh, kamu
resapi, rasakan kamu larut di antara kerumitan warna-warna itu, kamu pasti akan
menemukan keindahannya.”
“Iya deh!
Lagian cuma bercanda, kok. Lukisan kamu bagus, buktinya, mulai diminati.”
Safran
tersenyum dengan lagak menyombongkan diri. Rara senyum-senyum saja dibuatnya.
“Dan kabar
baiknya, tadi pagi lukisan kamu terjual lagi, langsung tiga sekaligus.”
“Haa?”
Safran tercengang mendengar kalimat Rara. “Serius?” lanjutnya dengan mata
berbinar-binar.
Rara
mengangguk di balik senyumnya.
“Kamu
senang?”
“Bukan
senang lagi, Ra, ini luar biasa,” ucap Fahran kegirangan.
“Nah, untuk
merayakannya, Papa mengundang kamu makan malam di rumah.”
“Makan
malam? Di rumah kamu?” raut wajah Safran mendadak berubah.
“Iya, ini
idenya Papa.”
“Apa itu
tidak berlebihan, Ra?”
“Berlebihan
bagaimana? Papa pasti kecewa kalau kamu tidak datang.”
Safran
merasa Pak Bagas sudah sangat baik terhadapnya selama ini. Ia sangat sungkan.
---
Mereka
hanya duduk bertiga di meja makan itu. Malam ini Rara terlihat sangat cantik,
Safran tak henti meliriknya. Seusai makan malam, obrolan hangat berlanjut ke
ruang tengah. Pak Bagas banyak bercerita bagaimana secara tidak langsung ia
merintis usaha galerinya.
“Pa, aku
boleh ngajak Safran main ke kamar? Aku mau nunjukin koleksiku.”
“Boleh
sayang!”
“Emang
nggak apa-apa, Pak?” Safran menoleh ke arah Pak Bagas, ia merasa kurang sopan
jika harus masuk ke kamar Rara.
Pak Bagas
hanya tersenyum, mengiyakan.
Kamar Rara
dipenuhi ornamen berbau surfing. Ada
sebuah lemari kaca yang besar, dan didalamnya berjejer rapi berbagai jenis
papan selancar. Rara menunjukkan kumpulan artikel dari berbagai majalah yang
memuat berita dirinya. ‘Gadis Pengendali
Ombak’, demikian salah satu judul artikel yang kini sementara dibaca
Safran. Dari situ, Safran tahu, bahwa dulunya Rara seorang surfer profesional, bahkan mendapat julukan ‘pengendali ombak’.
“Lalu,
sekarang kenapa seperti ini, Ra?” Suara Safran sendu.
“Di mata Tuhan,
ini yang terbaik buat aku.” Hanya seperti itu Rara menjawab pertanyaan Safran.
Kemudian ia akan berlindung di balik senyum tegarnya, yang di mata Safran tak
lebih dari senyum palsu.
---
Dengan
langkah cepat, sedari tadi Safran mengitari galeri, kemana Rara? Kenapa dari
tadi dia tidak kelihatan? Safran mulai gelisah.
“Rara masuk
rumah sakit.” Demikian kalimat singkat Pak Bagas yang seketika menyengat
sekujur tubuh Safran.
“Apa?
Kenapa?” Safran tersentak.
“Leukimia.”
Suara Pak Bagas bergetar, air matanya tumpah begitu saja.
Segenap
kosakata sperti lenyap dari benak Safran. Bagaimana mungkin? Rara yang selama
ini begitu periang ternyata mengidap leukimia.
“Di balik
sikap riangnya, ia berusaha meyakinkan semua orang bahwa ia baik-baik saja. Ia
menolak untuk kemoterapi, ia tidak ingin mati dalam kondisi menyedihkan. Ia
mencintaimu bahkan sebelum bertemu kamu. Sejak saya menceritakan kemuliaan hatimu
ketika saya tidak sengaja menabrak lapak kamu waktu itu, ia selalu penasaran
dengan sosokmu. Karena hal itu, ia begitu gencar memasarkan lukisan-lukisan
kamu di internet, hingga mampu menarik pembeli dari luar negeri. Semua lukisan
kamu yang terjual berkat kegigihannya. Bahkan, ia tidak peduli dengan
kondisinya yang semakin lemah.” Pak Bagas bercerita di sela isak tangisnya.
Safran
terenyuh, akal sehatnya belum mampu mencerna semua ini. Bagaimana seorang surfer akhirnya dilumpuhkan oleh
leukimia, dan bagaimana gadis di atas
kursi roda tiba-tiba mengisi relung hatinya. Dan sekarang bagaimana? Apakah
harus berakhir bahkan sebelum dimulai? Safran serasa ingin berontak.
---
Safran
membawa Rara ke pantai. Rara bersikeras, ia tidak ingin meninggal di rumah sakit,
begitu katanya ketika berbisik di telinga Safran.
“Safran,
aku ingin kamu melukisku bersama pantai ini. Aku ingin berada di antara ombak itu
untuk yang terakhir kalinya,” ucap Rara di sela tarikan napasnya yang sesak.
Dengan
tangis yang tertahan, Safran langsung mengabulkan permintaan Rara. Hanya berupa
sketsa, karena hanya sebatang pensil yang Safran punya sekarang. Safran
menambahkan sepasang sayap untuk Rara di sketsa itu, agar ia tetap kuat melawan
ombak, meskipun kedua kakinya semakin lemah.
Rara tersenyum lemah melihat sketsa
itu. Ada cinta yang menerawang di setiap goresan tangan Safran, ia bisa
merasakannya. Rara mendekap sketsa itu, kemudian bersandar di bahu Safran. Ia
merasakan napasnya semakin sesak, tapi ia berusaha tetap tersenyum, karena ia
cukup bahagia sejauh ini. Mata Rara yang sayu menutup perlahan-lahan, hingga
benar-benar Rapat dan tak bisa terbuka lagi. Rara pergi untuk selamanya,
meninggalkan senyuman abadi untuk Safran.
PROFIL PENULIS
Ansar
Siri,
penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah
kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan.
Kecintaannya
pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email :
ansarsiri357@gmail.com
Facebook : Ansar Siri
Twitter : @SiriAnsar
*Cerpen ini lolos sebagai kontributor dalam lomba menulis cerpen bertajuk "4 Magic Boy" yang diadakan oleh Khoiri Press. Kemudian diterbitkan secara indie dengan buku berjudul "Awesomer"; Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar