Judul : Teman Hidup
Penulis : Andaru Intan
Penerbit : DIVA Press
Tebal : 376 hlm
ISBN : 978-602-391-382-4
Selalu bersama dalam
perjalanan panjang nanti
BLURB
Bukan maunya Kinan untuk
bernadzar aneh-aneh. Ia lakukan itu karena sangat menginginkan orangtuanya
tetap bersatu. Dan, nadzar Kinan adalah mengelilingi Indonesia bagian barat,
yang akhirnya balik arah ke timur.
Ketemu cowok di kereta
yang akhirnya jadi teman perjalanan juga bukan bagian nadzar Kinan. Dan, lewat
cowok ini, yang namanya kayak nama pohon—Jati—Kinan melanglang buana ke Ijen;
yang tadinya cewek rumahan jadi pencinta alam; jadi bisa bersyukur. Dan, yang
tadinya nggak punya pacar dan sempat nggak mau nikah, jadi ….
“Dituturkan dengan baik,
kisah perjalanan dan pencarian ini membuat saya tidak merasa lelah untuk terus
mengikutinya.”
--Faisal Oddang, penulis
Bila hidup adalah
perjalanan panjang, maka temani aku melangkah di jalan-Nya.
Andaru Intan (hal 7)
Hal pertama yang
saya suka dari novel ini adalah kesederhanaannya. Mulai dari pemilihan judul
sampai cara bertutur penulis, semuanya nggak neko neko. Dari gambar cover bisa
ditebak bahwa cerita ini berbau alam—petualangan. Tapi petualangan seperti apa
yang ingin disajikan penulis? Pencarian jati dirikah, atau malah pencarian
jodoh? Ah, ini sungguh menarik.
Cerita dibuka
dengan pengenalan sosok Kinan yang sedikit berbeda dengan kebanyakan gadis
seusianya. Ia tidak pernah keluar rumah kecuali untuk urusan yang benar-benar
penting. Terlebih setelah Eyang meninggal. Tentu ada hal yang melatarbelakangi
semua itu. Inilah yang diuraikan penulis perlahan-lahan di bab-bab awal. Di
balik pandangan sempurna semua orang akan keluarga Kinan, sebenarnya ada yang
tidak beres dalam keluarga itu. Puncaknya ketika kedua orangtuanya berniat
untuk bercerai.
Kinan ingin berita perceraian itu hanya
emosi Mama sesaat. Tapi, sepertinya tidak. Mengingat suasana di rumah tak
kunjung membaik, bahkan Papa Mama makin sering bertengkar. Meski itu di dalam
kamar dan mereka simpan rapat, anak-anak selalu bisa membaca pertengkaran kedua
orangtuanya. Meski tak ada suara pertengkaran, udara mampu menjelaskan.
Pandangan mata bisa mengungkapkan. (hal 32)
Bersama sang
adik—Krisna—Kinan melalui masa-masa tak mengenakkan itu. Masa-masa tak
dihiraukan karena kesibukan orangtua, serta terancam perpisahan. Di sini, saya
sangat suka hubungan kakak-adik yang digambarkan penulis.
Krisna hanya diam saat kakaknya memeluknya
erat. Sebuah pelukan yang mengisyaratkan bahwa apa pun yang terjadi di keluarga
mereka, mereka akan terus bersama. (hal 32)
Pada akhirnya
Tuhan mengabulkan keinginan kakak beradik itu untuk tetap melihat orangtuanya
bersatu setelah keduanya bernadzar hal yang nyaris mustahil di kehidupan
mereka. Bagaimana mungkin Krisna yang sering menjuarai kompetisi game online memutuskan
tidak main DOTA selama sebulan? Terlebih Kinan, ia yang jarang keluar rumah
berjanji akan menjelajahi Indonesia bagian barat dan tidak tidur di kasur
selama sebulan. Susah memang, tapi nadzar wajib dilunasi.
Maka petualangan
yang tak pernah ada dalam kamus Kinan pun dimulai. Atas bantuan Krisna, Kinan
berhasil kabur dari rumah untuk memulai perjalanan nadzarnya. Di kereta, ia
ketemu cowok yang namanya mirip nama pohon, Jati. Di awal kemunculannya, Jati
lumayan menyita perhatian akan sifat pendiamnya yang sebenarnya hanya sedang berusaha
menormalkan sesuatu. Sesuatu yang tak sengaja ia mulai, dan diakhiri dengan
cara yang tak bisa disebut baik maupun buruk.
Yang dia tahu, saat ini hatinya sedang
berkabung atas matinya perasaan yang telah bunuh diri. Dia hanya ingin
menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Biar terkubur bersama waktu. Berkarat lalu
lenyap dimakan ngengat. (hal 26)
Kinan memutuskan
ikut Jati, menjadikan cowok yang baru dikenalnya itu sebagai teman perjalanan.
Kali ini keputusan Kinan sangat tepat. Sebab Jati memang salah satu anggota
D’Mountain, kelompok pencinta alam yang sangat menjunjung tinggi persahabatan.
Melalui petualangan baru Kinan, penulis menabur banyak sekali pesan moral. Yang
saya salut, semuanya tersampaikan dengan baik tanpa kesan menggurui sama
sekali. Beberapa bagian bahkan mampu menyentuh titik haru saya. Enak sekali
membaca tiap-tiap kalimatnya. Salah satunya, penulis menguraikan makna lagu “Sajadah
Panjang” milik Bimbo.
Sajadah yang dibentangkan harusnya
mengingatkan mereka akan hidup yang sementara dan satu hal yang kekal setelah
kematian. Sajadah panjang mengantarkan manusia sampai kubur, seharusnya
mengingatkan mereka pada bersihnya hati karena kewajiban lima waktunya telah
tegak. Bukan kembali kotor setelah melaksanakannya. (hal 95)
Di beberapa
bagian penulis juga mengingatkan agar kita senantiasa menjadi berarti di setiap
kesempatan, bahwa setiap perbuatan baik akan mendapat balasan baik
pula—langsung atau tidak. Juga mengingatkan pentingnya untuk ikhlas.
Jati meninggalkan tempat itu sambil memenuhi
bak kamar mandi dengan air timbaannya. Saat membantu orang seperti ini,
lelahnya justru jadi tidak terasa. (hal 103)
Saat manusia ikhlas memberikan miliknya,
percayalah bahwa Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. (hal 307-308)
Membaca novel ini
menambah kecintaan kita kepada Indonesia. Bagaimana tidak, melalui mata Kinan,
kita diajak menikmati pemandangan matahari terbit di Ijen, menjelajahi
keindahan Bali, Lombok, Pulau Komodo, dan banyak lagi. Kesemuanya bikin saya
bergumam, Indonesia memang indah, ya? Di samping keindahan alam, penulis juga
mengajak kita mengenal kebudayaan masyarakat di berbagai tempat. Meski ini
tidak terlalu dominan, saya cukup menikmatinya.
Bersama
D’Mountain, Kinan melihat persahabatan yang tak pernah dibayangkannya.
Kebersamaan mereka teramat sempurna di mata Kinan. Perlahan-lahan Kinan sedikit
banyak tahu Jati. Tentang keluarganya, kepribadiannya, masa lalunya, hingga
sekelumit hal yang bersinggungan dengan asmara.
Poin plus dari
kisah perjalanan panjang ini, kita tak pernah bosan untuk mengikutinya. Bahkan,
ditinggal sebentar bikin kangen. Sosok manis Kinan dan sikap kalem Jati terus
terbayang-bayang.
Tanpa melupakan
keseruan perjalanan Kinan bersama Jati, novel ini sangat informatif. Tema
petualangan seolah memberikan ruang lebih kepada penulis untuk mengeksplor
banyak hal. Ditambah kehadiran Jati yang merupakan mahasiswa Astronomi. Memang bukan
hal baru, tapi jarang-jarang, kan, bisa menikmati kisah fiksi sambil menambah
pengetahuan?
“Pada tanggal tertentu bisa terlihat hujan
meteor. Tapi, pandangan seperti ini hanya bisa kita nikmati malam hari di
tempat tinggi saat langit bersih, tanpa mendung dan tanpa polusi seperti
sekarang. Sebenarnya, ada banyak hujan meteor yang bisa kita lihat. Hujan meteor
yang paling banyak adalah Perseid di bulan Agustus dan Leonid di bulan
November, satu jam bisa-bisa terlihat puluhan hingga ratusan bintang jatuh. Tapi
bulan ini kita nggak bisa melihat jenis itu, makanya cuma sedikit.” (hal 136)
Sebenarnya fenomena api biru yang katanya cuma
ada dua di dunia, yaitu di Kawah Ijen dan Islandia ini dapat dinikmati di
bagian bawah kawah. (hal 140)
Kotoran sapi baru memang tidak sebau kotoran
lama, suku Sasak memanfaatkannya untuk mengepel lantai saat kotoran itu baru
keluar dari pantat sapi. Masih hangat. Kotoran itu dapat berkhasiat untuk
mengusir nyamuk. (hal 242-243)
Baru dia tahu, bahwa suku Sasak diharuskan
menikah dengan saudaranya. Dan wajib dibawa lari sebelum menikah. (hal 244)
“Oh ya, kalau tahun Masehi menggunakan
aturan Julian, dihitung dari gerak bumi mengelilingi matahari, sebenarnya itu
365,25 hari hanya aja dibulatkan 365 hari, makanya empat tahun sekali selalu
ada penambahan satu hari selama satu tahun di bulan Februari. Tahun Kabisat. Itu
hasil dari pembulatan seperempat hari yang dikalikan empat jadinya satu hari.”
(hal 264)
Dan masih banyak
lagi. Silakan temukan sendiri. Pokoknya nggak rugi baca novel ini.
Saya suka cara
penulis menyuarakan perihal ketuhanan dan toleransi beragama dengan bahasa
paling halus, membuat cerita kian berbobot.
“Religius, kan, nggak harus pakai celana
kain pendek, berjenggot, jidatnya kehitaman, dan ngomongnya suka bawa-bawa ayat
Al-Quran. Dan walau penampilan Jati nggak begitu, Jati itu religius, Kinan. Dia
mencintai Tuhan dengan cara yang unik. Beda dengan orang kebanyakan. Banyak
orang yang mengaku religius, sering berteriak-teriak ngepalin tangan, ngerusak
barang-barang dengan alasan membela Tuhan, padahal Tuhan sebenarnya nggak butuh
dibela. Banyak orang yang mengaku religius, suka mengafir-ngafirkan orang lain
dan terlalu fanatik dengan agamanya. Kadang banyak yang ngaku religius, tapi
suka bentrok saling mengunggulkan agamanya dan menghina agama orang lain. Dan
bukannya Tuhan sendiri nggak beragama?” (hal 151-152)
Entah mengapa, meski Kinan beragama Islam,
dia merasa damai saat melihat umat Hindu berbondong-bondong dari pura, pulang sembahyang.
(hal 165)
Bersama Jati,
Kinan mendapatkan banyak pelajaran. Ia semakin sadar, banyak hal yang belum ia
ketahui selama ini. Jati menyadarkannya, bahwa bukan hanya keluarganya yang
punya masalah, setiap keluarga punya masalah tersendiri. Dan keputusannya
bernadzar yang sampai menyusahkan dirinya sendiri, tidaklah benar.
“Jangan lagi kamu bernadzar sesuatu yang
menyakitimu. Sesungguhnya Allah nggak suka melihat ummat-Nya menderita karena
menyakiti dirinya sendiri. Dia itu Maha Penyayang, Dia nggak hanya perintahkan
kita untuk menyayangi-Nya, sesama manusia, dan alam semesta. Tapi juga untuk
sayang pada diri kita sendiri. Manusia sering lupa hal itu. Jangan sampai kamu
ikut lupa untuk menyayangi dirimu sendiri, ya, Kinan.” (hal 180)
“Kinan, adikku meninggal dunia. Kakakku
rumah tangganya sedang di ujung tanduk. Aku juga sedang menyembuhkan diri dari
sakit hati yang kemarin aku alami. Sesungguhnya semua keluarga punya masalah, cuma
nggak terlihat dari luar, Kinan. Jangan pernah membandingkan keluargamu dengan
keluarga orang lain. Kamu nggak akan pernah bisa membandingkannya. Dan
sesungguhnya apa yang kita miliki nggak bisa dibandingkan dengan apa pun. Kita
hanya bisa mensyukurinya dan memperbaikinya saja.” (hal 201)
Menjadi teman
perjalanan membuat sesuatu di antara keduanya tumbuh tanpa disadari. Baik Kinan
maupun Jati, awalnya tak mau mengakui. Tapi semakin ditepis, rasa itu kian
memantapkan diri pada tempat yang sulit terjangkau. Dan kalau mau jujur, dari
awal keduanya memang saling menginginkan.
Dan setelah perjalanan kali ini, dia hanya
dapat menarik satu kesimpulan. Bahwa ada dua populasi langka di Indonesia ini;
pertama adalah komodo dan kedua adalah para lelaki seperti Jati.
Bisakah aku memiliki yang kedua? (hal 276)
Usaha mereka
untuk mengelak runtuh ketika harus berpisah setelah beberapa hari menjelajahi
alam bersama. Perpisahan itu memaksa mereka untuk mengaku, bahwa benar, mereka
saling jatuh cinta.
Rasanya aku memang butuh kamu, Ja. Butuh
terhibur sama kuliah singkat kamu tentang langit. Butuh dengerin cerita biasa
yang jadi luar biasa setelah kamu sangkut pautin sama kehidupan. Tentang
mutiara, semut-semut yang katamu bikin Tuhan sayang aku, tentang adzan yang
manggil kita, tentang alam semesta yang katamu sedang berzidkir. Aku butuh
belajar banyak sama kamu, Ja. Butuh kamu ajarin berdiri dan nggak nyerah lagi.
Butuh kamu temenin. (hal 299)
Setelah
mengakhiri perjalanan nadzarnya dan kembali ke rumah tepat di hari ketiga
puluh, Kinan menemukan suasana rumah seperti surga. Hubungan Papa dan Mama semakin
harmonis. Ya, pengorbanannya tidak sia-sia.
Ada banyak hal
yang membuat Kinan tidak bisa melupakan perjalanannya selama sebulan penuh,
terutama teman seperjalanannya—Jati. Di bagian ini penulis mengisahkan jalinan
cinta yang rumit tapi unik. Mereka memang masih berkomunikasi, tapi seadanya
saja. Sebab Kinan tahu, Jati cowok yang berbeda.
Baginya, cinta sudahlah cukup bertemu
seperti biasa, bicara seperti biasa, bermain seperti biasa, kirim kabar seperti
biasa. Tak harus jadi aku-milikmu dan kamu-milikku. Tak harus ada cemburu atau
rasa takut kehilangan yang besar. Tak harus perhatian-perhatiannya pada kuliah
dan kehidupan luar menjadi tersita oleh hubungan itu. (hal 147-148)
Meski tersimpan
rapi dan dijalani sangat hati-hati, pada akhirnya cinta memaksa mereka untuk
kembali bertemu, tepatnya di momen gerhana matahari pada sebuah titik di Ternate.
Semua ini rencana Kinan tanpa sepengetahuan Jati. Dan di puncak Kie Maitubu,
akhirnya keduanya membuat pengakuan, pengakuan yang sebenarnya tak mengubah
apa-apa, selain cinta itu sendiri yang semakin dalam mengakar. Ah, kau bisa
bayangkan berada di posisi mereka, ketika hati saling bicara berlatarkan alam
bebas? Romantis maksimal. Bagian ini sungguh bikin mupeng. Hehehe ….
Hari itu, keduanya mengukir senyum dan
harapan di puncak Kie Maitubu. Dalam hati masing-masing, mereka meneriakkan
rasa syukur pada Tuhan. Bukan hanya kemurahan-Nya yang telah mengizinkan mereka
menikmati pemandangan alam yang sebegini indahnya, tapi juga mengetahui bahwa
orang yang mereka cintai … ternyata menyimpan rasa yang sama. (hal 359)
Saya salut dengan
konsistensi penulis membangun karakter tokohnya. Sosok polos Kinan dipadukan
dengan Jati yang tak mengenal pacaran dalam kamus hidupnya, nyatanya mampu
menghanyutkan kita pada kisah percintaan yang aduhai. Romantisnya beda, kayak
ada manis-manisnya gitu. Hehehe ….
“Buatku hidup itu kayak perjalanan panjang. Akan
terasa mudah kalau kita nggak sendirian. Ada seseorang yang menjadi teman hidup
kita. Yang selalu ada buat kita. Kamu bisa merasakan perjalananmu lebih mudah
waktu ada yang menemani dan nggak sendirian, kan?” (hal 352)
Terakhir,
novel ini sangat cocok untuk penyuka romance
tapi ingin sesuatu yang beda. Terlebih untuk yang mengaku pencinta alam. Aku aja
yang bukan tergolong pencinta alam langsung sejatuh cinta ini, kok!
Begitulah yang terjadi bila dua makhluk
Tuhan telah digariskan bersama. Mereka yang diciptakan untuk saling melengkapi
dan dilahirkan untuk saling menemani akan selalu kembali di saat yang tepat
kemudian hari. Percayalah, sejauh dan selama apa pun mereka terpisah, mereka
akan bertemu lagi. Menjadi sepasang teman hidup yang selalu bersama dalam
perjalanan panjang nanti. (hal 373)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar