Angkot yang kutumpangi ini sebentar lagi akan membawaku
tiba di pondok Pesantren Al-Hidayah, tempatku dilahirkan, tumbuh, mengenyam
pendidikan dari tingkat paud hingga madrasah aliah. Aku ada di pesantren itu
benar-benar hal yang tak bisa ditawar lagi. Kedua orang tuaku alumnus pesantren
itu juga, kemudian menikah dan tinggal di sana. Butuh pergolakan batin yang
panjang sebelum akhirnya aku memutuskan meninggalkan pondok pesantren yang sudah
seperti bagian dari jiwaku itu demi kuliah di Jakarta, masuk ke universitas
yang kurasa cocok untuk menunjang cita-citaku menjadi seorang arsitek. Sejak
mondok di sana, tak jarang aku kena ta’zir[1],
karena saat diminta menyelesaikan hafalan, aku malah sibuk menggambar desain
bangunan pencakar langit. Rasanya lucu bila terkenang masa itu. Entah sejak
kapan aku tergila-gila dengan dunia arsitek, padahal kurikulum di pesantren
tidak mengajarkan itu.
Aku mengambil napas dalam-dalam, membiarkan aroma khas Gunung
Tembak—salah satu pedesaan di kota Balikpapan—memenuhi rongga dada. Senyumku
tersungging tipis, rasanya sudah tidak sabar untuk bertemu abi dan umi, serta
semua teman-teman dan warga di pesantren. Sibuk mengamati setiap sudut kampung
halaman yang telah lama kutinggalkan ini, tiba-tiba pandanganku terpaku pada
seorang perempuan yang duduk tepat di belakang sopir.
“Mondok di Al-Hidayah, Neng?” tanyaku setelah sekilas
melihat stiker logo pesantren yang cukup tersohor itu di sampul depan notebook yang dipegangnya.
Ia hanya tersenyum yang kemudian kuartikan “iya”. Ya,
hanya tersenyum. Para santriwati di pesantren itu sepertinya memang sudah
terlatih untuk tidak banyak bicara, terlebih terhadap lawan jenis yang bukan
mahram. Aku bukan tipe orang yang pandai menggambarkan kecantikan seorang
perempuan, hanya saja, seutas senyum tadi mampu membuat jantungku bekerja lebih
cepat dari biasanya.
---
Tak banyak yang berubah dengan pondok pesantren ini.
Mungkin yang berubah hanya statusku saja yang tak lagi menjadi santri di
dalamnya. Masa-masa indah saat jadi santri yang rada nakal, kini mengundang sekelebat kerinduan. Ghosob[2],
gojlogan[3],
setoran[4],
lengseran[5],
aku pernah melalui dan kini merindukan semua itu.
Seminggu sudah sejak kepulanganku dari Jakarta. Ada hal
yang sulit kujabarkan sejak pertemuanku dengan perempuan itu di atas angkot. Hari-hari
setelah perjumpaan itu, aku sibuk menerka, bagaimana kuasa Tuhan menyelipkan
keindahan pada makhluk bernama perempuan. Bahkan hanya dengan seutas senyum, ia
mampu menguasai memori otakku. Senyumnya abadi, membentuk semacam gumpalan
mengambang yang hanya berjarak sejengkal dari keningku.
Umi baru saja keluar dan menutup pintu kamarku setelah
menyampaikan hal yang sebenarnya sudah kuprediksi jauh-jauh hari sebelum aku
memutuskan untuk kembali ke pondok pesantren ini. Bahkan di hari pertama
kepulanganku pun, umi mulai menyelipkan hal itu sebagai wacana tersirat di
sela-sela obrolan kami. Dan barusan, mulai ada penekanan di suara umi saat
mengutarakannya lagi.
Karena lahir di lingkungan pesantren, aku dibesarkan dalam
naungan ilmu agama yang sangat kental. Wajar jika aku menjadi anak yang penurut
dan tidak pernah melalaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Tapi akhi-akhir
ini, naluri membangkang kurasakan mulai bertunas dalam hati, lebih tepatnya
sejak umi menyampaikan hal itu.
Aku bangga menjadi bagian dari pesantren ini. Aku
menyukai alamnya yang masih asri, serta ketentraman warga di dalamnya. Kecuali
satu hal, aku benci tradisi nikah massal yang seolah menjadi image pesantren ini. Ya, nikah massal
yang tak lama lagi sepertinya akan menjadi cerita tersendiri di hidupku juga. Setiap
santri yang telah menyelesaikan pendidikannya dengan baik, akan dinikahkan
dengan salah seorang santriwati yang dianggap cocok. Para warga yang tinggal di
kawasan pondok pesantren ini adalah pelakon nikah massal itu, termasuk abi dan
umi. Bagi mereka, salah satu pilar Pesantren Al-Hidayah adalah menikah dengan
sesama kader.
“Kamu sudah menyelesaikan pendidikan, Nak, apalagi
selanjutnya selain menikah?”
“Bagaimana mungkin aku berumah tangga dengan kondisi
seperti ini, Umi? Aku belum siap!” sanggahku dengan nada memelas bercampur
kesal.
“Menikah itu membuka pintu rezeki dan akan menyempurnakan
agamamu. Dan yang paling penting, kamu akan terhindar dari niatan zina yang mulai bergejolak di usiamu
ini.”
“Aku masih punya mimpi yang panjang, Umi! Aku tidak ingin
hidupku hanya berkutat di sekitaran pesantren ini saja.” Aku memunggungi umi.
“Apakah dengan menikah lantas memutuskan jalanmu untuk
meraih cita-cita? Setelah menikah, kamu masih bisa mengejar apa pun mimpimu
itu.”
Aku memilih diam, aku tidak pernah menang dari umi jika
membahas masalah ini. Hanya saja … kurasa abi dan umi paham akan agama, tapi bagaimana
mereka mendesak seseorang yang belum siap lahir batin untuk segera menikah? Ini
menjadi pemikiran terumit yang menghuni kepalaku saat ini.
Umi tidak lagi di kamarku, ia pergi setelah kubalas semua
ucapannya dengan diam. Tapi kata-kata umi tadi masih betah berputar-putar di
benakku. Apa pun yang kujadikan alasan belum ingin menikah, hal yang paling
menjurus adalah ketidaksukaanku pada tradisi nikah massal itu. Apa jadinya, momen
bersejarah yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup itu malah
dirayakan ramai-ramai. Membayangkannya saja … aku enggan!
---
Hari ini ada seminar dari pemerintah setempat yang
mengangkat tema “Pentingnya Kepedulian Sosial”. Dari temanya saja, aku sudah
bisa menebak akan jadi apa seminar itu. Pasti sangat membosankan untuk orang
sepertiku yang memang tidak betah duduk lama-lama. Tapi lagi-lagi karena senyuman
itu, aku malah paling semangat mengikuti seminar hari ini. Aku mengambil tempat
di tengah-tengah barisan kursi yang telah diatur sangat rapi di aula pesantren.
Dulu, jika ada seminar semacam ini, kami artikan sebagai ajang bertemunya para
santri dan santriwati dalam satu ruangan. Di hari lain, tembok tinggi pembatas
asrama berdiri kokoh, menjadikan kami seolah hidup di dua dunia yang berbeda.
Dan hari ini, aku berharap bisa bertemu dengan pemilik senyuman itu.
Acara akan dimulai lima menit lagi. Aku duduk dengan
tenang sambil mengamati para santriwati yang memasuki aula satu persatu. Hingga
barisan kursi di zona akhwat terisi penuh, aku mulai mencari sosok yang
diinginkan kedua mataku. Tapi … bagaimana mungkin aku mendapati senyuman itu?
Mereka kompak mengenakan burqa. Entah
sejak kapan adat itu berlaku. Jika ada pertemuan semacam ini para satriwati
diwajibkan mengenakan penutup wajah, padahal jika mereka keluar dari lingkungan
pesantren tidak sampai segitunya. Aku terus celingukan, hingga tak sadar sang MC sudah membuka acara. Aku lekas
merapikan posisi duduk setelah beberapa pasang mata memicing ke arahku.
“Bismillahirahmanirahim!
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatu!” suara MC yang kemudian disusul riuh ketika para hadirin menjawab
salamnya. Detik itulah, ketika aku mengenali sepasang mata milik perempuan yang
tengah berdiri di tengah panggung itu. Sepasang mata itulah, yang menemani
senyum pelumpuh yang ia arahkan padaku kala itu. Mataku terpasung, tak mau lagi
menjamah yang lain, selain sepasang mata itu.
Setelah selesai membuka acara, ia berjalan pelan hendak
turun dari panggung. Sekilas, ia melihat ke arahku. Kantung matanya dihiasi
kerutan halus. Detik itu, aku yakin, ada senyum di balik cadarnya.
Aku merebahkan tubuh yang sebenarnya tak lelah di atas
sofa panjang di ruang tamu. Setelah senyuman, kini suaranya. Semakin lengkap
untuk memenjarakanku seperti ini. Untuk pertama kalinya, aku berpikir hendak
menyetujui keinginan abi dan umi untuk mengikutkanku nikah massal, tapi jika
perempuan itu yang dipasangkan denganku. Ah … pikiranku mulai nakal.
“Sudah selesai seminarnya?”
Aku lekas bangkit kemudian duduk bersandar ketika abi dan
umi menghampiriku. Mereka mengambil posisi di sebelahku. Abi meletakkan map
cokelat di atas meja, lebih tepatnya bermaksud diperlihatkan kepadaku. Aku
hanya melirik map itu, dan seketika perasaanku jadi tidak enak.
“Abi sudah mendaftarkanmu ke panitia nikah massal tahun
ini.”
Deg! Sesaat, detak jantungku berhenti, kemudian disusul
gemuruh di dada yang mewakili berbagai rasa. Aku mau berontak, tapi seperti apa
cara berontak seorang anak yang tetap sopan di depan orangtua yang telah
membesarkannya selama ini? Akhirnya aku hanya diam, seolah tak terjadi apa-apa.
“Kenapa, Nak, kok, murung?” umi menangkap perubahan mimik
wajahku.
“Aku tidak ingin nikah massal, Umi. Aku ingin menikah
dengan caraku sendiri,” lirihku.
“Tapi nikah massal sudah jadi tradisi di pesantren ini.
Apa kata orang jika kamu enggan melakukannya?”
“Memang bukan sekarang, tapi kelak, kamu akan mengerti
mengapa kami melakukan ini.” abi menambahkan.
“Perempuan yang kami pilihkan untukmu adalah perempuan
yang diidamkan banyak kaum adam. Kamu beruntung bisa meminangnya. Ia adalah
Ustadzah Annisa, putri bungsu Kiai Manshur,” ucap umi setelah hening sesaat.
“Ustadzah Annisa?” pekikku tak terkontrol.
“Iya. Kiai Manshur sendiri yang pertama kali mengusulkan
perjodohan ini kepada Abi.”
Aku beranjak ke kamar, meninggalkan abi dan umi. Ini
memang tidak sopan, tapi lebih baik daripada aku mengeluarkan kata-kata yang
tidak pantas diperdengarkan seorang anak kepada orangtuanya.
Kurasakan semakin berat pikiran yang bersarang di
kepalaku. Ini bukan lagi sebatas nikah massal, tapi aku dijodohkan dengan Ustadzah
Annisa, putri pengasuh pesantren ini. Semasa aku di tahun terakhir madrasah aliah,
ia baru pulang dari Cairo setelah meraih gelar S1-nya di sana. Ia kembali dan mengabdikan
diri di pesantren ini. Aku banyak mendengar cerita tentangnya. Solehah sudah
pasti, baik tidak diragukan lagi, cantik … entahlah, aku belum pernah bertemu
langsung. Tapi … bukankah ia lebih pantas jadi kakakku? Entah apa yang ada di
benak abi dan umi. Dulu, aku pernah menentang abi dan umi yang menginginkanku
kuliah di universitas milik lembaga—masih di bawah naungan Al-Hidayah—yang
menurutku kurang sejalan dengan cita-citaku. Entah apa jadinya jika aku
terpaksa menentang mereka lagi.
---
Sudah tiga hari ini aku aktif bantu-bantu ngajar di tingkat tsanawiah sambil
menunggu hasil wawancara di sebuah perusahaan ternama di Jakarta yang kulakukan
sehari sebelum kembali ke sini.
“Baiklah, Abi, Umi, aku bersedia menikah dengan Ustadzah
Annisa,” ucapku pagi ini sebelum berangkat ngajar.
Kalimat itu terlontar setelah aku melakoni salat istiqarah tiga malam berturut-turut. Tentu saja kalimat tadi
disambut mereka dengan senyum sumringah.
“Tapi aku tidak ingin nikah massal. Aku ingin pernikahan
itu digelar terpisah,” imbuhku sejurus kemudian dan sukses membuat mereka
terkesiap.
“Aku lebih baik kembali ke Jakarta daripada harus nikah
massal,” tandasku mengakhiri percakapan singkat itu lalu beranjak pergi.
Seminggu kemudian, kami bertandang ke kediaman Kiai
Manshur. Persiapan pernikahanku dengan Ustadzah Annisa telah dibicarakan
sebelumnya, tentu saja setelah menyetujui ketidakinginanku nikah massal. Hari
ini, untuk pertama kalinya, aku akan dipertemukan dengan calon istriku. Sebelum
mengucapkan ijab qabul, aku berhak melihat wajahnya secara langsung tanpa
balutan cadar. Sumpah, aku belum pernah segugup ini. Telapak tangan serta
keningku dirembesi keringat dingin. Terlebih saat Ustadzah Annisa sudah berada
di depanku dan sedang ancang-ancang untuk melepas cadarnya.
Ketika cadar itu tersingkap, aku menemukan cahaya yang
lebih lembut dari purnama. Mungkin berlebihan, tapi sudah kukatakan di awal,
bahwa aku bukan tipe orang yang pandai menggambarkan kecantikan seorang
perempuan.
“Subahanallah!
Alhamdulillah!” hanya dua kalimat itu yang kurasa mampu mewakili gemuruh
rasa di dada saat ini. Tidak salah lagi, wajah inilah yang melahirkan senyuman
pelumpuh di angkot itu. Dialah yang kuinginkan, Uztadzah Annisa yang sempat
kusangsikan.
Konsep pernikahan yang kurancang matang-matang,
serta-merta kubatalkan. Aku lebih memilih nikah massal, bergabung dengan 80
pasangan lainnya yang terdaftar tahun ini. Ustadzah Annisa pun menginginkan
itu, sebagai bentuk penyempurnaan kami selaku kader Pesantren Al-Hidayah. Meskipun
akhirnya aku juga melakoni nikah massal—tradisi yang tidak kusukai—ini, tapi
aku tidak akan memaksakannya kepada anak-anakku kelak. Aku hanya akan menawarkan,
lalu membiarkan mereka memutuskan.
Di malam pertama kami.
“Aku belum paham bagaimana perjodohan ini terjadi,”
ucapku kikuk.
“Kamu menyesal?” tanyanya pelan.
“Oh … tidak. Aku hanya ….” Aku tercekat.
“Karena aku lebih pantas jadi kakakmu?”
“Bukan, sama sekali tidak seperti itu. Bahkan awalnya aku
menolak perjodohan ini karena aku menginginkan perempuan yang kutemui di atas
angkot itu,” sanggahku sebelum ia tersinggung.
“Ya, semua berawal dari angkot itu. Sudah lama abi selalu
mendesakku untuk segara menikah, tapi aku tidak mau gegabah sebelum hati
menemukan pelabuhan yang tepat. Dan akhirnya kuturuti keinginan beliau setelah
bertemu denganmu. Sejak kamu menyapaku di angkot itu, suaramu tak pernah
berhenti terngiang di telingaku. Kamu berhasil membuatku merasakan rindu
terlarang untuk pertama kalinya.” Ia jeda untuk mengambil napas. Bisa kutangkap,
ia yang menginginkan perjodohan ini.
“Awalnya aku ragu, ketika sadar, kamu lebih pantas jadi
adikku. Tapi setelah kupikir, St. Khadijah, pun, umurnya lebih tua 15 tahun
dari baginda nabi. Sementara kita, hanya terpaut beberapa tahun.”
“Sudahlah, aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu.
Aku benar-benar tulus mencintaimu. Sekalipun kamu bukan perempuan di atas
angkot itu, karena sekarang kamu adalah istriku,” ucapku meyakinkan.
“Bisakah aku minta satu hal?”
“Tentu, apa itu?”
“Panggil aku Dek Annisa!”
Aku tersenyum nakal, kemudian kubalas dengan mengecup
keningnya. Sungguh besar kuasa Tuhan mempertemukan dua cinta dengan cara
terindah setelah saling meminta dalam doa. Dan untuk pertama kalinya, aku
beranggapan, bahwa tradisi nikah massal itu tidak terlalu buruk.
---
[1] Hukuman bagi santri yang
melanggar aturan pesantren.
[2] Menggunakan barang orang
lain tanpa seijin pemilik.
[3] Istilah yang digunakan
ketika mengerjai santri lain.
[4] Kegiatan menyetorkan
hafalan nadzaman kitab-kitab.
[5] Makan bersama menggunakan
lengser atau nampan.
*Cerpen ini awalnya saya tulis untuk lomba Santri Menulis dengan tema "Sepenggal Cerita di Lorong Pesantren", tapi gagal, hanya lolos seleksi tahap awal (100 besar). Kemudian saya kirim ke Read Zone, dan tayang pada tanggal 08 Oktober 2016. Cerpen ini lahir atas bantuan salah seorang teman facebook (Ahmad Naufal Arsyaf), yang kebetulan seorang santri, dan di pondok pesantrennya itulah tradisi nikah massal ini benar-benar ada.
PROFIL PENULIS
Ansar Siri,
penyuka warna merah ini menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah
kelahiran, Bone, Sulawesi Selatan. Cowok Capricorn ini mengemban mimpi untuk
mengharumkan nama daerahnya melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal
dari kebiasaan menulis catatan harian.
Lebih dekat dengan penulis;
Email : ansarsiri357@gmail.com
Facebook :
Ansar Siri
Twitter
: @SiriAnsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar