Sabtu, 24 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 8)

 


Indah terjaga dari tidur pulasnya, mendapati cahaya matahari sore menyapa hangat lewat celah-celah dinding bambu. Karena di gubuk itu hanya ada dua kamar tidur, ia terpaksa berbagi dengan Fidelya. Indah yang sedang tidak ingat apa-apa tentang asal-usulnya, sama sekali tidak mempermasalahkan. Mereka mau menampung saja, itu sudah cukup.

Setelah tidur selama hampir dua jam, perasaan Indah jauh lebih baik. Meski badannya masih pegal. Rasanya seperti habis melakukan perjalanan jauh. Ia turun dari pembaringan dan merapat ke sisi jendela. Ia menyibak daun jendela dan membebaskan pandangan. Pemandangan yang ditemuinya sama saja, pohon-pohon berdaun kelabu, langit hitam, juga rumput keemasan. Indah yakin, ada warna lain yang lebih cocok dengan alam ini. Entah apa yang sedang terjadi di sini.

"Calie!"

Indah agak tersentak. Seseorang membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Fidelya dengan selembar kain putih di tangannya.

"Kamu sudah bangun rupanya." Fidelya mendekat.

Indah tersenyum lemah.

"Nenek menyuruh saya menyerahkan ini."

"Kain putih?" Indah mengernyit memandang benda yang disodorkan Fidelya.

"Kamu harus mengganti pakaianmu dengan ini."

"Kenapa harus begitu?"

"Karena di pulau ini hanya kaum aline yang boleh mengenakan pakaian berjahit."

"Kaum aline?" Indah merasa semua hal di tempat ini membingungkan.

"Kaum aline adalah orang-orang yang derajatnya dimuliakan. Sementara kamu, asal usulnya belum jelas. Kalau sampai pihak kerajaan tahu kamu mengenakan pakaian berjahit, kamu akan dipenjara."

"Dipenjara?" Indah kaget. Separah itu?

"Iya. Di pulau ini yang memegang kekuasaan adalah seorang raja, Raja Aaron. Orangnya sangat angkuh dan keras kepala. Perintahnya adalah mutlak. Menentang sama halnya menjemput maut."

Indah tercenung tidak habis pikir. Entah kejutan macam apa lagi yang akan didapatkannya seputar pulau ini.

"Kenapa malah bengong? Ayo cepat ganti pakaian."

"Saya tidak tahu cara memakainya."

"Lepaskan pakaian Kakak terlebih dahulu!" Fidelya berucap sambil memutar badan membelakangi Indah.

Dengan canggung, Indah mulai melepas pakaiannya satu per satu. Kemudian ia menutupi tubuhnya dengan kain putih tadi, sembarangan saja. Kemudian Fidelya membantu merapikannya. Indah risi. Ia jadi tidak leluasa bergerak.

"Namanya juga baru pertama. Lama-lama juga terbiasa, kok."

Indah memandangi tubuhnya dalam balutan kain putih. Sungguh, ia tidak nyaman. Fidelya masih membantu merapikan ujung-ujungnya, ketika Indah tiba-tiba teringat sesuatu.

"Kenapa kamu berniat bunuh diri?"

Pertanyaan spontan itu membuat segenap aktivitas Fidelya terhenti. Ia bangkit dari posisi jongkok, kemudian menatap manik mata Indah sesaat, sebelum tatapan berkaca-kaca itu dilempar ke luar jendela. Saat kedua tangannya mencengkeram tepi bawah jendela, tahu-tahu air matanya sudah meruah.

Menyadari hal itu, Indah jadi merasa bersalah.

"Maaf jika pertanyaanku salah. Tidak usah dijawab."

***


Sementara itu, di sebuah ruangan rahasia dalam gubuknya, Nenek Waruga terpaku menatap sesuatu di sana. Dugaan-dugaan entah apa berkelebat di benaknya. Hal itu dipicu oleh sebuah keajaiban tadi malam, sesuatu yang sudah sangat lama dinantikannya. Kemudian disusul dengan kemunculan Indah dengan cara berpakaian yang tidak biasa. Ada yang lebih mengejutkan, cincin naga berkepala manusia yang dikenakan Indah. Melihat benda mungil itu, Nenek Waruga setengah mati menyembunyikan keterkejutannya. Meski raut wajahnya berhasil disamarkan, jantungnya tetap bereaksi lebih.

Nenek Waruga masih memandang lamat-lamat sesuatu dalam ruangan itu. Banyak hal terproses di benaknya. Berusaha saling terangkai, berusaha membuat kesimpulan. Meski sebenarnya sudah yakin, Nenek Waruga tidak ingin gegabah. Ia harus mencerna baik-baik apa yang telah terjadi, pun kemungkinan selanjutnya.

***


Malam pertama Indah di gubuk itu, di sebuah pulau asing dengan segenap keanehannya. Mereka sedang makan malam, duduk mengitari meja bundar yang terbuat dari potongan batang pohon yang masih menampakkan corak aslinya. Potongan kayu dengan ketebalan hampir sejengkal itu pasti berasal dari pohon raksasa, tebak Indah!

Indah memperhatikan makanan yang tersaji di atas meja. Ada banyak umbi-umbian, sayur daun, ikan bakar, dan tentu saja nasi. Mereka makan tanpa sendok, langsung menggunakan tangan. Indah berusaha untuk beradaptasi.

"Oh, ada tamu rupanya." Suara itu menyela tiba-tiba.

Indah berhenti mengunyah. Ia menegakkan kepala demi mencari sumber suara cempreng aneh tadi. Indah yakin, suara tadi bukan milik Fidelya ataupun Nenek Waruga.

"Kamu dari mana saja, Huzia? Seharian entah ke mana, tahu-tahu pulang malam," gerutu Nenek Waruga.

Huzia? Indah heran. Siapa yang Nenek Waruga maksud? Mencegah kebingungannya berlarut-larut, Indah mengikuti arah pandang Nenek Waruga yang bertumpu di jendela. Tapi yang ada Indah malah semakin bingung. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya seekor burung elang bermata besar.

"Aku habis ngintipin cowok-cowok ganteng di perkampungan."

Seketika Indah terbelalak. Suara cempreng aneh tadi ternyata berasal dari burung elang itu. Tapi tunggu, sungguh, ia bisa bicara?

"Dasar!"

"Aku memang burung, tapi bukan berarti tidak butuh lihat yang cakep-cakep. Pusing, tahu setiap hari cuma lihat pohon." Kali ini burung elang itu berucap sambil mengibas-ngibaskan sebelah sayapnya yang berbulu abu-abu keperakan.

Indah mengerjap-ngerjap demi memastikan tidak salah lihat. Bahkan elang itu sadar, bahwa ia hanya seekor burung. Tapi bagaimana ia bisa bicara? Apakah semua keanehan memang sengaja dikumpulkan di pulau ini?

"Tapi gara-gara kamu menghilang, saya dan Fidelya terpaksa harus cari ikan sendiri di sungai untuk makan malam. Bukankah itu tugasmu? Apa kamu sudah lupa dengan janjimu sendiri?"

"Itu bukan tugas, tapi balas budi. Aku tidak mungkin lupa." Burung elang bernama Huzia itu menunduk, tampak menyesal. Nada suaranya melemah.

Mendengar hal itu, kekesalan Nenek Waruga langsung menguap.

"Ya sudah, sana, masuk!"

Huzia melompat turun ke lantai, lalu berjalan menuju kamar sambil terus menunduk.

Indah memperhatikan setiap pergerakan burung elang itu, dan masih sulit mempercayai ia benar-benar bisa bicara.

***


"Sudah, jangan dimasukin ke hati. Kamu tahu nenek, kan? Dia tidak bermaksud marahin kamu, kok." Selesai makan, Fidelya sengaja langsung masuk ke kamar menemui Huzia. Ia tahu pasti seperti apa suasana hatinya saat ini. Meskipun cuma burung, Huzia satu-satunya teman yang dimiliki Fidelya selama ini, sejak memutuskan untuk tinggal di gubuk itu. Mereka sudah melalui banyak hari bersama. Huzia selalu bisa menjadi pendengar yang baik setiap kali Fidelya bercerita tentang apa saja.

Di salah satu sudut kamar, beralaskan bantal kecil di atas meja, Huzia meringkuk di sana. Ia memang seperti itu, suka merasa bersalah berlarut-larut, namun gampang pula mengulanginya.

Huzia terkenang kembali awal perjumpaannya dengan Nenek Waruga. Saat itu, entah dengan cara apa, Nenek Waruga menyelamatkannya dari bidikan anak panah pemburu yang melesat tajam ke arahnya. Sejak saat itulah Huzia merasa berutang nyawa, lalu menawarkan diri untuk tinggal bersama dan membantu meringankan pekerjaan sehari-hari Nenek Waruga.

Nenek Waruga yang sebenarnya punya kemampuan khusus bisa melakukan segala sesuatunya dengan mudah. Ia sama sekali tidak butuh bantuan dari seekor burung. Namun siapa sangka, ternyata Huzia cukup bisa diandalkan dalam beberapa hal. Terutama untuk menangkap ikan di sungai. Terlepas dari semua itu, kehadiran Huzia membuat kesepian panjang Nenek Waruga berakhir. Itu yang paling penting.

Yang membuat Huzia betah, Nenek Waruga adalah orang pertama yang tidak kaget sangat mengetahui dirinya bisa bicara. Sebelumnya, ia pernah mencoba bicara dengan salah seorang warga di perkampungan, bermaksud bersosialisasi. Yang ada, ia malah diburu karena dikira siluman berbahaya yang akan mengancam keselamatan warga. Sejak saat itu Huzia memutuskan untuk tidak menunjukkan kemampuan bicaranya di depan sembarang orang.

"Eh, kita punya teman baru. Kamu tidak mau kenalan?"

Indah yang memang sedari tadi penasaran dengan sosok burung elang yang bisa bicara itu, langsung mendekat ketika Fidelya memberinya kode.

"Hei, aku Calie."

Melihat Indah mengulurkan tangan, Huzia memaksakan diri untuk berdiri, lalu merentangkan sayap kanannya untuk menyambut tangan Indah. "Huzia." Ia menyebutkan nama dengan suara cempreng aneh yang makin ke sini makin terdengar lucu di telinga Indah.

Indah mengawali perkenalan itu dengan senyuman lebar. Huzia ingin membalas, tapi tentu saja ia tidak bisa tersenyum seperti itu. Sebagai gantinya, ia hanya memiringkan kepala, lalu mengerjap-ngerjap dengan antusias. Sebenarnya hal itu lebih sering ia lakukan ketika melihat cowok-cowok ganteng. Entahlah, dengan bersikap seperti itu, ia merasa aura kecantikannya lebih terpancar. Meski tidak akan ada yang peduli standar kecantikan untuk bangsa burung sepertinya.

Setelah merasa cukup, Huzia kembali meringkuk. Fidelya tahu pasti, keceriaan teman burungnya itu belum pulih. Karena aslinya sangat cerewet. Terlebih saat bertemu orang baru yang bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bisa bicara. Fidelya tentu masih ingat saat pertama kali mengenal Huzia beberapa bulan yang lalu. Saat itu ia langsung dicecar berbagai macam pertanyaan. Fidelya memaklumi, malah menjadikannya hiburan. Huzia jarang, atau hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang, wajar jika keingintahuannya sangat tinggi.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar