Kamis, 15 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 7)

 


Indah berjengit, kepalanya berdentang. Ia membuka mata perlahan-lahan. Pandangannya buram, lalu berangsur pulih setelah mengerjap berakali-kali. Indah yang sedang tengkurap di permukaan batu besar mencoba untuk berdiri. Ia mencengkeram tengkuknya yang terasa kaku. Suara gemuruh air yang menghantam bebatuan adalah irama pertama yang kemudian dikenali Indah. Indah melebarkan pandangan, mengamati sekeliling. Ia berada di tengah hutan, tepatnya di tepi sungai yang cukup luas dan berarus deras.

Indah mengernyit. Ada yang aneh dengan tempat ini. Daun pepohonan tak hijau sebagaimana mestinya, tampak kelabu seperti tertutupi debu tebal. Air sungai jauh dari kata jernih, keruh dan berwarna kemerahan. Indah mendongak, menatap langit yang dikerubungi gumpalan awan hitam, membuat tempat ini kekurangan suplai cahaya. Suram, satu kata yang mungkin bisa mewakili suasana tempat Indah berada sekarang.

"Tolong ... tolong ... tolong ...!" lamat-lamat suara itu menggapai pendengaran Indah, irama lain yang kemudian dikenalinya setelah gemuruh air dan kesiur angin yang terdengar aneh.

Hati-hati, Indah turun dari batu besar itu. Entah sejak kapan dan dengan cara apa ia bisa sampai di sana. Tertatih-tatih, Indah bermaksud menemukan sumber suara itu. Seseorang di sana pasti sedang dalam bahaya.

"Tolong ... tolong ... tolong ...!" Semakin jelas.

Indah menoleh kiri-kanan, menyapu pandang sekeliling tempat itu dengan teliti. Indah tersentak kemudian, setelah melihat seorang gadis sedang berjuang melawan derasnya arus sungai. Ia berpegangan pada sebuah batu, tepat di tengah-tengah. Secercah harapan memancar dari wajah panik gadis tadi setelah melihat Indah.

"Tolong!" Suaranya memelas.

Indah bingung. Ia memang harus menolongnya. Namun, bagaimana caranya?

Tanpa pikir panjang, Indah berlari ke sana kemari untuk mencari bantuan. Namun, tidak ada siapa-siapa. Di tengah kepanikan, Indah menemukan kayu panjang di semak belukar. Ide untuk menggunakannya muncul begitu saja. Ia memungutnya dan lekas kembali ke tepi sungai. Indah langsung menjulurkan kayu tadi ke arah gadis yang kian panik. Indah bertumpu pada sebatang pohon agar memudahkannya menarik gadis itu ke tepian.

Setelah gadis itu berhasil menggapai ujung kayunya, Indah lekas menariknya sekuat tenaga. Ternyata tak semudah yang ia kira. Indah menggigit bibir ketika merasa tenaganya mulai habis. Ia nyaris menyerah. Untung gadis itu berhasil tiba di tepian sebelum Indah benar-benar kehabisan tenaga. Ia langsung menghambur memeluk Indah. Tangisnya pecah.

Gadis itu hanya mengenakan selembar kain putih yang ujungnya dililit di dada. Ada luka goresan di lengan dan punggungnya, serta memar di beberapa bagian tubuh lainnya. Dalam pelukan Indah, ia terus menangis. Ia baru saja melalui saat-saat menegangkan.

"Terima kasih sudah menyelamatkan saya," ucapnya dalam sedu sedan.

Indah diam saja. Tak sepatah kata pun ia ucapkan.

Gadis itu melerai pelukannya, lalu menyusut air matanya.

"Oh ya, saya Fidelya." Gadis berwajah tirus itu mengulurkan tangan. "Nama kamu siapa?"

Indah malah diam saja. Tatapannya datar.

Fidelya mulai merasa aneh dengan sikap Indah. Ia juga baru sadar, penampilannya tidak lazim. Benda-benda yang melekat di tubuh Indah, kaus, jaket, jins, sepatu, Fidelya baru pertama kali melihatnya.

"Ada apa? Kok, diam saja?"

Indah berusaha mengucapkan sesuatu, tapi kemudian kepalanya kembali berdentang.

"Kamu sepertinya bukan orang sini."

Indah memegangi kepalanya. Ia pusing.

"Kamu sakit? Rumahmu di mana?"

Indah masih belum merespons. Fidelya semakin bingung menghadapinya.

"Kalau begitu, sebaiknya kamu ikut saya pulang! Sampai kondisimu membaik, kamu bisa istirahat di tempat saya. Tidak jauh, kok, dari sini." Fidelya tersenyum ramah, bermaksud membuat Indah lebih nyaman.

Indah yang tampak sangat kebingungan tidak punya pilihan lain kecuali menuruti ajakan Fidelya. Karena itu ia tidak menolak saat Fidelya meraih pergelangan tangannya untuk mengajaknya mulai berjalan.

Mereka menapaki setapak yang agak licin dan berbatu. Pepohonan rimbun memadati kedua sisinya. Dengan daun berwarna kelabu, entah masih pantas disebut pohon atau tidak. Mungkin lebih enak disebut seuatu yang mirip pohon.

Setelah beberapa belokan, pemandangan yang ditemukan Indah masih sama, pohon-pohon berdaun kelabu yang berderet tidak beraturan. Permukaan tanah tertutupi rumput. Indah yakin itu rumput, meski warnanya malah keemasan. Memang tampak cantik, tapi ini jelas tidak normal. Belum lagi suara-suara entah binatang apa dari kejauhan. Semakin banyak yang diamati justru membuat Indah semakin bingung akan tempat ini.

Fidelya berjalan santai, meski ekspresinya seperti tengah meratapi sesuatu. Sepertinya ia tidak berniat bercerita apa-apa soal tempat ini. Padahal sedikit penjelasan darinya pasti bisa mengurangi tumpukan tanya di benak Indah.

Indah ikut berhenti ketika Fidelya menutup langkahnya.

"Kita sudah sampai," kata Fidelya dengan ekspresi datar.

Jelas saja seketika Indah melongo, sebab yang ada di depan mereka hanya sebidang tanah kosong yang dikelilingi semak belukar, juga dua pohon identik yang menjulang tinggi.

Indah menoleh ke arah Fidelya yang tampak menggumamkan sesuatu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sebuah gubuk mengisi sebidang tanah tadi. Meski sedari tadi sudah disuguhi beragam pemandangan aneh, Indah masih belum bisa mengendalikan keterkejutannya. Dari mana gubuk sebesar itu tahu-tahu muncul di sini?

Masih terdapat celah heran di antara kedua bibir Indah ketika Fidelya menoleh ke arahnya dan tersenyum santai.

"Yuk," ajak Fidelya, lalu melangkah lebih dulu.

Setiap ayunan kaki Indah mendekat hingga masuk ke gubuk itu, tatapannya bergerak cepat mengamati keadaan sekitar. Karena penuh keanehan, ia takut sewaktu-waktu akan terjadi sesuatu yang bisa mencelakai dirinya.

"Tidak usah takut." Fidelya seolah mampu membaca isi pikiran Indah. "Jika kamu bertanya tempat paling aman di pulau ini, maka gubuk ini jawabannya."

Setibanya di dalam gubuk, Indah kembali terheran-heran. Bagian dalam gubuk itu sangat timpang dengan tampilan luar yang reyot dan terkesan kumuh. Di dalam sini, perabotan tertata rapi. Ruangan-ruangannya disekat dinding bambu. Tampak nyaman dan bersih. Udaranya juga jauh lebih segar dibanding di luar sana. Semua hal itu membuat Indah semakin bingung hingga sulit berkata-kata.

"Ini rumah Nenek Waruga. Saya cuma numpang di sini."

Indah baru hendak bertanya tentang pemilik rumah yang dimaksud Fidelya, ketika seorang nenek bersama tongkat hitam legamnya muncul dari balik tirai ruang tengah yang baru saja disibaknya. Tanpa perlu diberi tahu, Indah yakin, nenek bungkuk yang berpakaian sama dengan Fidelya itu—hanya mengenakan selembar kain putih yang dililit sebatas dada hingga mata kaki—adalah Nenek Waruga.

Nenek Waruga menatap Fidelya penuh perasaan lega. Terlihat dari sorot mata dan raut wajahnya. Ia juga menatap Indah sebelum mendekat. Kedua matanya sempat memicing seolah menampung rasa heran berlebih.

"Syukurlah, kamu kembali." Nenek Waruga mengusap lembut lengan Indah. Kelegaan kembali tersirat di nada suaranya.

Fidelya tampak sulit berkata-kata. Tangisnya malah pecah kemudian. Ia mendekap Nenek Waruga.

"Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Masalah itu hanya akan berakhir di sisimu, tapi tidak dengan mereka yang kamu tinggalkan, mereka yang menyayangimu."

"Maafkan saya, Nek." Fidelya tersedu-sedu.

Bunuh diri? Indah mengernyit memandang mereka yang masih berpelukan. Ia baru saja menyelamatkan orang yang berniat bunuh diri?

"Kita harus hadapi masalah ini bersama. Kamu harus kuat. Jangan menambah daftar panjang gadis-gadis malang yang berakhir sia-sia."

Fidelya mengangguk sambil berusaha menyusut air matanya. Setelah merasa lebih tenang, ia melerai dekapannya.

"Siapa dia?" bisik Nenek Waruga ke telinga Fidelya setelah beberapa saat memindai penampilan Indah dari ujung coverse abu-abu yang menutupi sepasang kakinya hingga pucuk kepala dengan rambut yang agak berantakan.

"Oh, dia yang menyelamatkan saya, Nek."

"Apakah dia aline[1]?" Nenek Waruga berusaha tersenyum ramah kepada Indah, meski hal itu belum berhasil menyembunyikan tanda tanya besar di matanya.

"Entahlah. Dari tadi dia belum bicara apa-apa. Saya tanya nama dan asalnya saja, dia malah bingung." Fidelya berucap pelan, memastikan Indah tidak risi.

Selama jadi topik pembahasan, Indah hanya diam. Sesekali ia menyapukan pandangannya. Tampak jelas, rasa herannya akan tempat itu belum surut.

Nenek Waruga merapat ke sisi Indah. "Siapa namamu, Nak?" Bahkan untuk ukuran aline, penampilan Indah ini masih tergolong aneh. Siapa dia sebenarnya? Nenek Waruga semakin penasaran.

Indah berusaha keras untuk menjawab. Sayang, ia tak menemukan sepatah kata pun yang pantas diucapkan. Ujung-ujungnya kepalanya kembali berdentang.

"Sepertinya dia tidak ingat apa-apa," sela Fidelya.

"Bagaimana kamu bisa tiba-tiba muncul dan menolong Fidelya?"

Indah malah menggeleng tidak jelas. Sepertinya dugaan Fidelya benar.

"Kamu jangan takut. Untuk sementara kamu bisa tinggal di sini bersama kami, sampai ingatan kamu kembali." Nenek Waruga tersenyum lembut. Ia berusaha meredam riak-riak kebingungan di wajah Indah.

Indah balas tersenyum lemah.

"Dan mulai sekarang, nama kamu Calie." Nama itu terlintas begitu saja di benak Nenek Waruga. Di pulau ini, calie berarti cantik. Itulah penilaian pertama Nenek Waruga saat pertama kali tatapannya berlabuh di manik mata Indah.

"Calie?" Indah mengernyit. Wajar jika ia merasa aneh dengan nama barunya.

Catatan kaki:
[1] Kaum bangsawan.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar