Kamis, 08 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 5)

 


Setelah sarapan, mereka melakukan beberapa gerakan peregangan demi kelancaran aktivitas hari ini. Semua mereka lakukan bersama-sama dan penuh sukacita.

"Kamu yakin mau ikut?" Prof. Hamdani menghampiri Indah yang tampak tengah bersiap-siap. "Apa tidak sebaiknya tunggu di tenda saja?"

"Saya sudah berjuang keras untuk tiba di sini, Prof, bahkan terpaksa menentang Mama yang pasti tengah khawatir sekarang. Dan Prof ingin saya cuma jadi penonton?"

"Saya hanya khawatir."

"Saya kuat, Prof. Saya bisa!" Indah menegaskan kemudian berlalu dari sisi Prof. Hamdani untuk bergabung dengan yang lain.

Mereka masuk lebih jauh menjelajahi hutan, berusaha menemukan sesuatu yang bisa jadi petunjuk. Selaku ketua tim, Prof. Hamdani berada paling depan, memimpin pasukannya. Tangan kanannya memegang kompas, sementara buku kuno yang tak pernah lepas darinya ditenteng di tangan kiri. Mereka menemukan lebih banyak pohon-pohon raksasa, akar-akar pencakar bumi. Terdapat banyak batu besar dengan bentuk tak beraturan. Semak belukar di mana-mana, aroma menyeramkan menguar.

Prof. Hamdani memberi aba-aba untuk beristirahat sejenak. Tentu saja mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka langsung memilih tempat yang enak untuk melepas lelah. Indah langsung menjulurkan kaki dan mengatur pola napas setelah bersandar di sebatang pohon raksasa.

"Menurut peta, seharusnya gua itu ada di sekitar sini." Ucapan Prof. Hamdani kembali memancing perhatian timnya.

"Kalau gitu, kenapa kita nggak mendirikan tenda di sini aja, Prof?" usul Tio.

"Jangan. Kita belum tahu misteri apa yang sebenarnya menyelubungi gua itu. Sebaiknya kita jangan terlalu mengambil risiko."

"Tapi, kok, guanya belum kelihatan, ya, Prof?" sela Raya.

"Apa mungkin pandangan kita terhalangi kekuatan gaib?" tebak Kevin.

Prof. Hamdani geming, tampak berpikir.

Suasana hening. Mereka bertukar pandang. Entah apa yang ada di benak Prof. Hamdani.

Matahari berada tepat di atas kepala ketika mereka memutuskan untuk kembali ke tenda. Sepertinya cukup untuk hari ini. Bagaimanapun kuatnya tekad Prof. Hamdani untuk menemukan cincin naga berkepala manusia itu, ia juga harus memperhatikan stamina timnya. Jangan sampai ada yang sakit, mengingat ini rata-rata pengalaman pertama mereka.

***


Hari berikutnya, akhirnya gua itu ditemukan. Objek yang cukup aneh. Sekilas tampak seperti bukit, tapi di tengah-tengahnya terdapat batu besar setinggi kira-kira tiga meter. Pintu gua ada di balik batu itu. Sebelumnya objek itu terhalangi oleh deretan pohon besar berdiameter sekitar dua meter. Akar-akar gantung menggerogoti setiap cabangnya. Pohon-pohon itu semacam tameng raksasa yang melindungi gua. Di sekitar tempat itu sangat teduh, sinar matahari tidak mampu menembus rimbun dedaunan.

Mereka melangkah pelan menghampiri deretan pohon sambil menatap awas ke segala arah. Setelah berada di bawahnya, mereka harus membungkuk untuk menghindari akar gantung yang mengerikan. Terdapat macam-macam serangga merayap di sana. Setelah melewati deretan pohon raksasa tadi, mereka tiba di depan gua. Guanya sangat besar. Mereka berdecak kagum. Di samping gua terdapat batu besar yang lapang. Mungkin bekas hunian manusia zaman purba.

Tatapan mereka menelusuri setiap inci tempat itu. Banyak yang terasa aneh. Tapi yang paling menarik perhatian, ukiran di tengah-tengah batu besar yang menutupi mulut gua. Prof. Hamdani mendekat dan memperhatikannya dengan seksama. Ternyata bukan sekadar ukiran, melainkan deretan abjad kuno yang pembahasannya juga terdapat dalam buku panduan miliknya.

"Sekarang tugas kalian menyalin semua abjad kuno ini dengan teliti. Harus sama persis. Jangan sampai salah segores pun."

"Untuk apa, Prof?" Tio tampak bingung. Ia meraba ukiran tadi.

"Tulisan ini pasti berisikan informasi yang sangat penting."

Mendengar kalimat itu, dengan antusias mereka langsung menyiapkan alat tulis untuk menyalin abjad kuno itu satu per satu. Berawal dari sini, sepertinya sejarah baru akan terukir. Mereka sangat bersemangat.

***


Malam kedua di dalam hutan. Kevin menghampiri Indah yang sedang menyendiri di samping tenda, duduk memeluk kedua lutut di sebuah batu besar. Indah memandangi langit. Tak satu pun bintang hadir di pandangannya. Bulan pun seolah menghindar dan meringkuk di balik awan. Indah membiarkan angin malam membelai rambutnya. Entah dari mana rindu itu datang, tiba-tiba saja merumpun di hati. Indah sadar, ia ada di sini karena tekad kerasnya. Tak seharusnya ia seperti ini. Tapi sungguh, ia tak kuasa membendung air matanya kali ini.

"Lo kenapa?" Suara Kevin pelan namun terdengar jelas di telinga Indah.

"Eh, lo belum tidur?" Indah buru-buru menyeka air matanya.

"Gue nggak bisa tidur kalau ada cewek gelisah seperti ini." Kevin duduk bersisian.

Sejenak hening.

"Gue rindu suasana rumah, kampus, Mama, Rina, dan ...."

"Farel, kan?" Kevin melanjutkan. Ia tahu pasti, tidak akan semudah itu Indah mematikan rasa di hatinya.

Indah terdiam.

"Setidaknya lo lebih beruntung dari gue."

"Maksudnya?" Indah mengernyit.

"Setelah ekspedisi ini selesai, lo bisa kembali ke pelukan keluarga lo. Sementara gue?" Kevin tersenyum hambar di ujung kalimatnya.

"Ini ekspedisi pertama kita. Mari sepakat untuk tidak cengeng lagi." Indah merangkul Kevin.

Kevin menoleh dan menganggukkan persetujuan.

***


Setelah berhasil menemukan lokasi gua, mereka tidak pernah lagi ke sana. Prof. Hamdani harus bisa menerjemahkan abjad-abjad kuno itu terlebih dahulu, meski terkadang anggota timnya memaksa untuk mencari petunjuk di sekitar gua. Prof. Hamdani tidak ingin bertindak gegabah.

Hari-hari berlalu. Sebagian dari mereka mulai bosan karena setiap hari hanya menghabiskan waktu di sekitar tenda. Hingga suatu hari ....

"Akhirnya berhasil." Suara lantang Prof. Hamdani menyela lamunan mereka.

Mereka sigap berdiri dan menancapkan tatapan ke arah Prof. Hamdani. Semangat baru seketika lahir.

"Jadi, apa maksud tulisan itu, Prof?" Indah diburu rasa penasaran.

"Dengarkan baik-baik!" Prof. Hamdani merentangkan halaman buku di tangannya, yang lebih pantas disebut berisi coretan tak keruan ketimbang deretan kata yang mempunyai makna. "Ketika kekuatan panas redup dan keabadian langit berpaling, rasakan dirimu berkelana tanpa gerak. Kebahagiaan akan kamu temukan di dalam mata hati. Seperti itu!" Prof. Hamdani menangkap sorot kebingungan di mata timnya. Wajar, sebab ia sendiri pun sebenarnya masih belum sepenuhnya paham dengan apa yang baru saja diucapkannya. Di posisi mereka ini internet tidak bisa diakses. Prof. Hamdani menerjemahkan abjad kuno itu berbekal buku panduan yang membahas tuntas perihal cincin naga berkepala manusia itu dan beberapa buku pendamping.

"Sebenarnya masih ada satu kalimat lagi yang belum selesai saya terjemahkan. Memang sulit, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin." Prof. Hamdani menegaskan.

"Prof nggak salah, kan? Meskipun sudah diterjemahkan, tapi, kok, saya belum paham, ya?" Tio kebingungan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jemari tangannya tenggelam di kelebatan rambut kribonya.

"Ini dinamakan bahasa isyarat. Jika kamu mau berpikir lebih keras, kamu akan mengerti maksudnya. Jadi begini; Ketika malam tiba dan mimpi menghampiri, di dalam mimpi itu kita akan menemukan sebuah petunjuk. Untuk bisa masuk ke dalam gua, kita harus menemukan lubang di batu besar itu. Lubang sekecil mata dan tak terlihat seperti perasaan hati," terang Prof. Hamdani.

Tio manggut-manggut, tapi masih bingung.

"Kalau gitu, kapan kita ke sana lagi, Prof?" sela Kevin.

"Besok!"

Mereka bertukar pandang, tersenyum, dan tampak tidak sabaran.

***


Kendati sudah berhasil menerjemahkan 90% kalimat berabjad kuno itu, tak lantas membuat usaha mereka untuk lebih mengenali gua itu berjalan mulus. Selama beberapa hari tidak ada kemajuan berarti. Mereka bahkan seperti jalan di tempat.

Prof. Hamdani menyadari bahwa semangat timnya mulai surut. Wajar, mereka yang selama ini bergelut dengan segudang aktivitas tiba-tiba harus menjalani hari-hari monoton di dalam hutan. Tapi sejauh ini Prof. Hamdani menjalani perannya selaku ketua tim dengan cukup baik. Ia berusaha membuat menarik hal kecil apa pun yang mereka kerjakan. Misal melibatkan mereka dalam menerjemahkan kalimat terakhir abjad kuno itu.

Siang ini mereka kembali mengitari sekeliling gua. Mereka yakin, pasti ada petunjuk yang bisa membantu. Tiba-tiba ....

"TOLOOONG ...!" jerit Indah.

Semua mata tertuju pada Indah. Tubuhnya terseret. Ia berusaha mengendalikan diri, tapi kekuatan aneh yang menyeretnya jauh lebih kuat. Indah meronta-ronta, sebelum akhirnya tubuhnya menempel pada batu besar di mulut gua. Indah tidak sadarkan diri lagi. Tubuhnya semakin erat melekat di sana.

"Indah?!" Kevin dan yang lainnya panik. Mereka berlari menghampiri.

"Jangan sentuh dia!" Suara parau itu menyela kepanikan mereka.

Mereka sontak menoleh. Seorang kakek berdiri beberapa meter dari mereka. Tongkat kayu di tangan kanan ia gunakan untuk menopang tubuh bungkuknya. Pakaiannya compang-camping, ditambah penutup kepala yang terbuat dari anyaman serat tanaman. Kakek itu melangkah pelan menghampiri Prof. Hamdani. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Tapak kakinya goyah. Tatapan selidik mereka serupa sedang mengamati pergerakan seorang musuh. Mereka bersiap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi.

"Dialah orangnya!" Suara kakek itu bergetar.

"Maksud Kakek?" Tak sedikit pun tatapan Prof. Hamdani luput dari tubuh kurus kering itu. Di benaknya merumpun tanda tanya besar.

***


[Bersambung]


Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar