Rabu, 14 Februari 2024

Belahan Jiwa dari Dunia Lain (Bab 6)

 


Kemudian kakek itu mengulurkan tangan kirinya. Di dalam genggaman yang telah membuka, terdapat batu pipih kecil berbentuk persegi. Dengan sejumput keraguan, Prof. Hamdani mengambilnya.

"Apa ini, Kek?" tanyanya dengan kening mengerut. Prof. Hamdani mengamati batu itu.

"Batu kehidupan."

"Batu kehidupan?" Kebingungan Prof. Hamdani kian mengental. Ia memperhatikan perbedaan kedua sisi batu itu. Salah satu sisi halus dan licin. Sementara sisi lainnya kasar, bahkan terasa menusuk di kulit.

"Batu kecil yang mewakili dua tabiat manusia."

"Lalu, bagaimana dengannya, Kek?" Prof. Hamdani menunjuk ke arah Indah yang seperti terpasung di batu itu.

"Letakkan batu itu di keningnya!"

Prof. Hamdani bingung. Ia masih diam di tempat.

"Cepat! Sebelum semuanya terlambat!" tegas kakek itu sambil mengentakkan tongkatnya.

Setengah terlonjak, Prof. Hamdani bergegas menghampiri Indah. Ia langsung mengarahkan batu kecil itu ke keningnya. Ajaib, batu kecil itu mendahului tangan Prof. Hamdani, melayang dengan sendirinya dan melekat sempurna di kening Indah. Mereka terperangah. Takjub. Indah membuka mata perlahan-lahan. Ia tersenyum lemah, kemudian jatuh terkulai.

"Indah!" Mereka tersentak.

Kevin langsung mengangkat tubuh Indah dan memangku kepalanya.

"Indah, lo nggak apa-apa?" Kevin membelai rambutnya.

Indah menggeleng lemah. Kepalanya hanya sedikit pusing.

"Prof, apa yang terjadi?" Indah menoleh ke arah Prof. Hamdani. Pandangannya agak buram.

"Entahlah! Yang penting kamu tidak apa-apa."

Indah menyadari sesuatu menempel di keningnya. Ia meraba untuk melepaskannya.

"Apa ini, Prof?" Indah membolak-balik batu itu di depan matanya.

"Berkat batu itu kamu selamat."

"Batu ini?"

"Berterimakasihlah kepada kakek ini!" Prof. Hamdani menoleh ke arah kakek tadi. Ia tersentak. Tahu-tahu kakek itu sudah tidak ada di sana. Bola mata Prof. Hamdani berputar cepat untuk mencari.

"Lah, ke mana perginya, Prof?" sela Kevin.

Prof. Hamdani tidak menjawab. Ia sendiri merasa sangat aneh.

"Terima kasih, ya, Kek!" Suara Indah menyelinap di sela-sela kebingungan mereka. Ketika yang lain sibuk menoleh kiri-kanan mencari keberadaan kakek tadi, Indah malah melihatnya.

Semua pandangan terfokus pada Indah sekarang.

"Indah, kamu bicara sama siapa?" Prof. Hamdani mengernyit.

"Kakek itu, kan, yang memberikan batu ini?"

"Tapi kakeknya sudah pergi," timpal Kevin.

"Lo apa-apaan, sih? Jelas-jelas dia masih di situ."

Suasana kembali tegang.

"Kek, kok, batunya ditinggal?" tanya Indah setengah teriak.

Mereka tercengang. Sosok kakek tadi menghilang begitu saja di mata mereka, tapi justru tampak di mata Indah.

Suasana hening. Indah masih tampak bercakap-cakap dengan kakek itu.

"Terima kasih, Kek!" ucapnya lagi seraya tersenyum.

Sepertinya kakek tadi sengaja memberikan batu itu kepada Indah.

"Entah kenapa, gue suka dengan batu ini," aku Indah, kemudian menatap bergantian teman-temannya. Kevin masih memangku kepalanya.

"Mungkin kamulah yang akan menyingkap tabir misteri di dalam gua ini."

"Apa tidak terlalu berbahaya, Prof? Indah sudah sering mengalami kejadian aneh sejak memasuki hutan ini." Kevin khawatir.

"Semua kejadian itu pasti merupakan petunjuk."

Yang lain bersitatap, dengan pancaran rasa heran yang sama.

Indah menggenggam batu kehidupan itu, kemudian meletakkan tangannya di dada.

***


Hari ini Indah agak berbeda dari biasanya. Sejak tadi siang ia lebih sering menyendiri ketimbang berkumpul dengan teman-temannya untuk mengobrolkan apa saja. Mungkin yang lain tidak menyadari, tapi hal itu sangat kentara di mata Prof. Hamdani. Selaku ketua tim, Prof. Hamdani memang dituntut untuk lebih peka dalam mengenali karakter masing-masing anggota timnya. Sejauh ini ia masih bisa memaklumi. Kecuali jika nantinya Indah benar-benar sudah kehilangan fokus, ia akan menegur.

Malam ini Indah teramat gelisah. Yang lain sudah terlelap sejak tadi, tapi ia masih saja belum mengantuk. Ia tidak bercerita ke siapa pun, bahwa hari ini adalah hari pernikahan Farel dan Sasha. Dengan berada di tengah hutan seperti ini, berkesempatan merasakan ekspedisi yang sudah lama diidam-idamkannya, Indah pikir ia bisa melalui hari ini dengan aman-aman saja. Nyatanya, sakit itu masih saja berlaga. Dan sekarang ia benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Saat pulang nanti, ia akan mendapati Farel benar-benar sudah menjadi kakak iparnya. Entah bagaimana Indah bisa melewati hari-hari itu nantinya. Membayangkannya saja terasa mengerikan.

Dengan sisa tangis yang berusaha ditahannya, Indah memaksakan kedua matanya terpejam. Agar lekas dibuai kantuk.

"Bangunlah ... bangunlah ... bangunlah ...!"

Setelah berhasil lebih tenang, tiba-tiba saja suara pelan yang entah dari mana itu menyambangi pendengaran Indah. Ia membuka mata, pandangannya membentur langit-langit tenda. Ini bukan pertama kali. Dua malam berturut-turut sebelumnya Indah mengalami hal serupa, mendengar bisikan aneh ketika teman-temannya sudah terlelap. Hanya saja malam ini terdengar lebih jelas. Hal ini membuatnya agak takut dan semakin gelisah.

Alih-alih membangunkan teman-temannya, Indah kembali mencoba memejamkan mata.

"Bangunlah ...!"

Sontak, Indah kembali terbelalak. Setiap kali ia memejamkan mata, bisikan itu pasti merayapi telinganya. Keringat dingin mulai membasahi. Jantungnya berdetak kencang dengan napas yang semakin memburu. Jemari tangannya saling meremas.

"Keluarlah ...!"

Indah tersentak, jantungnya nyaris copot. Kali ini, bahkan tanpa memejamkan mata bisikan itu kembali terdengar. Indah semakin panik.

"Keluarlah! Sekarang sudah saatnya."

Entah apa yang ada di pikiran Indah. Ia bangun dan keluar dari tenda. Ia berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti arah bisikan tadi. Serupa sedang berada di alam bawah sadar, ia terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan tenda. Indah sadar ketika dirinya sudah berdiri di depan gua. Ia terperanjat, panik dalam gelap. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Tubuhnya bergetar ketakutan. Indah memandang sekeliling. Sangat gelap. Entah ke mana arah jalan pulang. Belum lagi berbagai suara binatang malam yang terdengar mengerikan. Indah menangis.

Dalam sedu sedan, tiba-tiba seberkas cahaya berwarna biru keperakan muncul dari salah satu sudut batu besar di depannya. Indah terlonjak kaget. Kemunculan cahaya itu kian melengkapi rasa takutnya, tapi juga sangat menyita rasa penasaran.

Perlahan, Indah malah mendekat, lalu jongkok untuk mengamati sumber cahaya yang ternyata berupa lubang kecil berbentuk persegi. Indah mengulurkan tangan bermaksud menyentuhnya. Ketika tangannya berada dalam cahaya itu, rasanya hangat. Indah tersenyum. Rasa takut yang tadi menggerogotinya sirna begitu saja, berganti kedamaian yang sungguh belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Tiba-tiba muncul cahaya serupa dari sumber yang berbeda, sesuatu di dalam kantong jaketnya. Indah mengeluarkan benda itu, batu aneh pemberian kakek misterius tempo hari. Bagaimana ini bisa terjadi? Pikirnya. Kemudian kedua cahaya itu saling menggapai. Titik pertemuannya menguraikan warna biru menjadi padanan warna yang sangat indah. Serupa rangkaian warna pelangi. Indah takjub!

Detik selanjutnya, keajaiban pun terjadi. Batu kecil itu melayang ke arah lubang persegi, terpasang dengan sendirinya serupa kepingan puzzle. Setelah beberapa saat, kedua cahaya tadi menghilang. Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu terguncang. Dinding gua bergetar.

Indah kaget. Ia mundur menjauh beberapa langkah. Kemudian batu besar di mulut gua retak, membentuk garis melintang tepat di tengah-tengah. Dari celah retakan itu terpancar sinar yang sangat menyilaukan. Indah menghalaunya dengan kedua telapak tangan. Sinar itu hilang setelah beberapa saat. Indah membuka mata dan menatap ke arah batu itu.

"Wow ...!" Indah terpaku menyaksikan pemandangan yang ada. Matanya berbinar-binar. Detik itu, ia seperti berada di tempat yang berbeda.

Batu besar tadi terbelah menjadi dua bagian, membentuk semacam terowongan yang seolah mempersilakan Indah untuk masuk. Entah bagaimana perasaan Indah saat ini, semuanya berbaur menjadi satu. Tentu saja ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Inilah tujuan utamanya sampai rela menembus belantara.

Dengan langkah mengendap-endap, Indah memasuki gua. Indah memperhatikan dindingnya, bertekstur kasar dan tidak beraturan. Beberapa langkah di depan ada belokan. Di sana ada semacam nyala api, membentuk pantulan cahaya yang bergoyang-goyang di dinding gua. Rasa penasaran memicu langkah Indah menjadi lebih cepat hingga tiba di belokan tadi.

Lagi-lagi Indah takjub, terperangah. Setelah belokan, ada banyak suluh yang menempel di dinding gua dengan jarak yang teratur. Sejak kapan suluh itu dinyalakan? Benarkah apinya tidak pernah padam selama ratusan tahun? Sungguh aneh dan sulit dipercaya. Indah yakin, ada kekuatan mistik yang menjaga gua ini, atau mungkin semacam peri penjaga.

Gua itu tidak begitu panjang. Setelah melewati deretan suluh tadi, Indah menemui jalan buntu. Ia bingung. Di mana patung putri yang disebutkan dalam sejarah itu? Sama sekali tidak ada apa-apa di sana. Indah bermaksud keluar, sebelum matanya menemukan keganjilan. Ada bagian dinding gua yang teksturnya berbeda dengan bagian gua keseluruhan. Permukaannya halus, warnanya sedikit lebih cerah. Indah penasaran, lalu merabanya.

Apakah ini pintu? Pikirnya. Ia pun mendorongnya. Dengan mudahnya bagian yang memang menyerupai pintu itu berputar dan menghadirkan ruangan lain. Dari dalam ruangan itu menghambur kupu-kupu beraneka warna. Indah memejamkan mata, membiarkan mereka menerpa wajahnya.

Ketika membuka mata, Indah seperti berada di alam mimpi. Sungguh ajaib. Senyum Indah merekah, air mata penuh haru mengaburkan pandangannya. Tepat di tengah-tengah ruangan itulah patung putri yang melegenda berada. Indah masih terpaku di tempat, mengamatinya dari bawah hingga ke atas. Prof. Hamdani dan semua cerita yang ada tidak berlebihan, patung putri itu memang benar-benar cantik.

Indah mendekat, mengamatinya lebih seksama. Posisi patung itu berdiri, kepala agak miring ke kiri. Posisi kedua tangannya seperti sedang menyisir rambut yang terurai panjang. Indah sudah sangat dekat. Mereka berhadapan. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut dalam diri Indah, hingga ia memberanikan diri menyentuhnya. Sangat pelan dan hati-hati. Kulitnya terasa halus dan mengeluarkan aroma harum ketika disentuh. Indah nyaris tak percaya. Ini patung atau apa?

Pada akhirnya perhatian Indah tertuju pada cincin naga berkepala manusia yang tersemat di jari manis tangan kanan patung itu. Ternyata bentuknya jauh lebih indah, berbeda dengan gambar yang ada di buku Prof. Hamdani. Sadar bahwa namanyalah yang akan tercatat dalam sejarah sebagai penemu cincin itu, membuat Indah enggan menunda-nunda lagi. Ia lekas mencabutnya. Setelah ini namanya pasti akan jadi buah bibir di dunia arkeologi.

Indah membolak-balik cincin itu di depan matanya, memperhatikannya dengan seksama. Indah harus segera keluar dari gua itu, sebelum apa pun yang tidak diinginkan terjadi. Namun sebelum itu, sekali lagi Indah menatap wajah patung putri itu lekat-lekat. Di tatapan itu ia seolah ingin berterima kasih.

Entah di detik kesekian, tiba-tiba mata patung itu berkedip. Indah sampai terjungkal saking kagetnya. Ketakutan kembali menguasainya. Cepat-cepat ia menyematkan cincin itu di jari manisnya dan berlari hendak keluar. Pintu ruangan itu terputar dengan sendirinya untuk kembali tertutup. Beruntung, Indah berhasil meloloskan diri ketika celah pintu yang tersisa hanya bisa dilewati dengan posisi miring. Namun setelahnya, kepalanya seperti dipenuhi sengatan lebah. Matanya berkunang-kunang.

Indah tak bisa menahan rasa sakit. Napasnya mulai sesak, detak jantungnya melemah. Langkahnya goyah, hingga akhirnya jatuh terkapar. Pintu ruangan tempat patung putri itu bersemayam sudah tertutup rapat. Sunyi senyap kembali menenggelamkan apa-apa yang telah terjadi.

***


[Bersambung]

Klik link di bawah untuk baca lanjutannya;

KBM

KARYAKARSA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar