Rabu, 31 Januari 2018

Review Novel: 1 Hati 150 Hari



Judul             : 1 Hati 150 Hari

Penulis         : Riski Diannita

Penerbit       : PPMPI Publisher

Editor           : Tim PPMPI

Layout          : Tim PPMPI

Kover            : Tim PPMPI

Cetakan        : Pertama, Oktober 2017

Tebal             : 207 hlm

ISBN              : 9786025422867

Blurb:
Kepulangan Davin dari traveling hari itu jauh berbeda. Pertemuan dengan Latisya, pramugari di pesawat terbang membawanya ke masa lalu. Ia mulai mengejar satu hati yang telah lama terpisah.

Namun, masa depan akan berbeda dengan penyakit yang diderita Davin. Tubuh lemah menghadang niatnya. Keadaan semakin rumit sejak kehadiran Falda, perawat di rumah sakit tempat ia dirawat.

Meski umurnya divonis tinggal hitungan hari, Davin nekat mempersunting gadis impian.

_*_

Alur Cerita:
Sejak kecil Davin sakit-sakitan. Dan penyakit mematikan benar-benar terdeteksi dalam tubuhnya setelah Dewasa. Meski dokter memvonis ia hanya punya waktu beberapa bulan, Davin tidak ingin tinggal diam menanti kematian. Ia malah berhenti kuliah dan menyerahkan diri sepenuhnya untuk alam. Ia bergabung dengan komunitas fotografi, bertualang dari satu kota ke kota lainnya demi memburu gambar pemandangan eksotis. Davin menikmatinya. Setidaknya bisa membuatnya sejenak lupa pada penyakit yang setiap saat mengancam nyawanya.

Meski sakit begitu, Davin tidak pernah mendapatkan kasih sayang seharusnya dari kedua orangtuanya yang terlalu sibuk bekerja. Merasa diabaikan, Davin lebih senang tinggal bersama sang nenek.

Suatu hari sepulang dari traveling, Davin bertemu dengan Latisya, gadis dari masa lalunya. Dulu mereka bertetangga, dan satu sekolah waktu SD.

“Mereka saling mengingat wajah satu sama lain. Wajah yang tak lagi ditemui selama tiga belas tahun tentu jauh berbeda. Umur telah mengubah penampilan seseorang.”_(hal 24)

Melalui kalender yang ia tandai setiap hari, Davin tahu pasti, umurnya tidak lama lagi. Kondisinya pun semakin tidak stabil. Ia tidak boleh sedikit saja lalai pada jadwal rutin memeriksan diri ke rumah sakit. Anehnya, ia sama sekali belum berniat menghentikan hobi travelingnya.

Sejak bertemu kembali dengan Latisya, Davin punya impian teramat penting sebelum waktunya habis. Ia ingin menjadikan cinta pertamanya itu sebagai cinta terakhir. Maka dengan penuh keyakinan yang terbilang nekat, Davin melamar Latisya.

“Aku memang belum sembuh. Tapi, serius, aku ingin kita segera menikah.”_(hal 68)

Patahlah hati Falda, perawat yang diam-diam menyukai Davin. Tapi gadis itu bisa apa? Ia berada di samping Davin sekadar menjalankan tugas, dan tidak pernah sedikit pun mengutarakan perasaanya. Namun, andai Davin bisa lebih peka sedikit saja, gerak-gerik perawatnya itu tentulah terbaca.

Butuh pemikiran panjang sebelum akhirnya Latisya menerima lamaran Davin. Banyak hal yang ia pertimbangkan. Ia berusaha memahami kondisi Davin, juga sebersit rasa di hatinya.

Perjalanan terjal pembuktian cinta pun dimulai. Latisya menyiapkan hati, sebab yakin tak akan mudah. Hari-hari sakral tak seharmonis pasangan pada umumnya. Kondisi Davin kian buruk. Mau tidak mau terpaksa keluar masuk rumah sakit. Puncaknya setelah memaksakan bulan madu ke Bali. Davin koma, dan saat terbangun, cobaan lain kembali menghantam.

Latisya membesarkan hati bukan hanya untuk menerima kondisi Davin dan semua hal buruk yang terus mengintai, tapi juga untuk mengatasi kecemburuan akan kedekatan Falda dengan Davin. Meski jelas-jelas hubungan mereka hanya sebatas pasien dan perawat.

“Aku yakin cinta tak pernah salah. Tapi mungkin, aku mencintai pada waktu dan orang yang tidak tepat.”_(Falda_hal 127)

Bagaimana kelanjutan kisah pelik Latisya bersama lelaki yang tengah berada di ambang kematian? Segera miliki buku ini dan rasakan sendiri sensasi keharuannya.

_*_

Review:
Keunikan pertama yang saya temukan di novel ini adalah pembagian bab berdasarkan judul buku. Novel ini berisi 15 bab, yang per babnya diasumsikan sepuluh hari. Judul dan isi benar-benar paket utuh. Tapi saya kurang sreg dengan prolog yang diambil dari sudut pandang masing-masing tokoh. Agak aneh. Kalau sekadar mengambil tokoh sentral, mungkin lebih baik. Atau barangkali penulis punya tujuan tertentu, tapi saya kurang menangkap.

Terlepas dari prolog, penulis memulai ceritanya dengan cukup manis. Sosok Davin diperkenalkan pelan-pelan, meski untuk penyakitnya menurut saya terlalu cepat diungkap. Andai penulis memainkan rasa penasaran pembaca di bagian ini tanpa menyebutkan kondisi Davin secara gamblang, mungkin lebih gereget.

Yang bikin betah baca novel ini, struktur kalimatnya rapi, terpola, bebas typo, meski beberapa bagian terlalu detail hingga terasa agak kaku. Selain itu penulis juga menyelipkan lirik lagu-lagu hits tahun 2000-an yang sukses jadi pemanis di tengah keprihatinan kita terhadap Davin. Kehadiran lagu-lagu ini juga mengajak pembaca bernostalgia secara tidak langsung. Hehehe ....

Meski di tengah terasa lamban, saya sempat terhanyut oleh kisah Davin dan Latisya dalam memperjuangkan cinta yang mereka yakini.

Overall, novel ini cocok banget buat kamu yang ingin menjadi saksi bagaimana cinta harus tetap diperjuangkan dalam kondisi apa pun. Rintangan yang dihadapi tokohnya keren, belum banyak dibahas di novel lain. Dari sini kita juga bisa mengambil banyak pelajaran tentang ketulusan, pengorbanan, merelakan, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar