Jumat, 26 Januari 2018

Review Kumsi: Kosong



Judul            : Kosong

Penulis        : Tjandrika Adhijasa

Penerbit      : PPMPI Publisher

Editor          : Tim PPMPI

Layout         : Tim PPMPI

Kover           : Tim PPMPI

Cetakan       : Pertama, November 2017

Tebal            : 106 hlm

ISBN             : 978-602-5557-25-5

Blurb:
Akulah zat yang maha kosong
Perkenankan kiranya, nur-Mu mengisi penuh relung hati ini
Buat bait-bait yang kosong
Menjadi serumpun bait yang isi

Akulah zat yang maha lemah
Sekalipun kiranya, setetes mata air penyejuk gersang
Tuntun jiwa yang tanpa arah
Menuju sabana yang hijau terang

Akulah zat yang maha rendah
Junjung kiranya, dengan sepasang sayap Firdaus
Bangkitkan kiranya, derajat yang telah dijarah
Menjadi seberkas kilat yang menghunus

Ke langitku yang maha kosong

_*_


Nukilan:
Di awal-awal penulis banyak menyinggung hubungan manusia dengan Sang Pencipta--dengan bahasa yang teramat halus. Di samping itu, saya mendapati sebait puisi yang sukses menyentuh titik haru saya.

“Kumandang berpulang, turut serta kedamaian
Dulu di waktuku yang terkenang
Kau pun pulang bersama hujan
Bapak tersayang”
(Pekarangan Rumah Ba'da Ashar_hal 11)

Di permulaan ini saya banyak menjumpai puisi mini dengan makna yang menohok.

“Setiap lidah
Berbincang tentang masa depan
Dan rencana-rencana
Tak satu pun sadar;
Tetes air yang jatuh di jalanan
Seperti itulah mereka”
(Gugur_hal 13)

Baru baca beberapa puisi, saya langsung suka dengan buku ini. Makin ke tengah, saya merasakan atmosfernya mulai panas. Penulis menyuarakan keprihatinan sosial yang lekat dengan keseharian.

“Tuan,
Enteng sekali kaulayangkan bogem mentah
Kepada si tua pengais rongsokan
Sampai perut kerontang tak berisinya muntah”
(Bajingan_hal 26)

Saya menemukan puisi yang teramat mencolok. Saya membacanya beberapa kali sebelum melangkah ke puisi selanjutnya. Saya pastikan akan mencatat makna yang saya temukan di sini.

“Belajarlah, kelak akan kau temui jalanan yang cerah
Berlapang dadalah, kelak akan kau petik berkah
Tegarlah, kelak kau akan berdiri dengan gagah
Hidup hanya sekali, matilah dengan berarti!”
(Matilah dengan Berarti_hal 31)

Sumpah, saya semakin jatuh cinta dengan buku ini. Terlepas dari beberapa tema yang memukau, saya juga menemukan bagian di mana penulis memberi ruang untuk diri dan puisinya. Ini semacam penegasan kecintaan penulis terhadap bait-bait yang telah dilahirkannya.

“Biarkan aku berpuisi
Untuk diriku sendiri
Dengan ramuan kata dari hati
Dengan aliran darah arteri”
(Biarkan Aku Berpuisi_hal 50)

Dan yang tak lupa saya soroti, buku ini tak lepas dari buaian romantis. Membaca bagian ini membuat saya sejenak lupa pada kata-kata menohok yang telah penulis suarakan di awal-awal.

“Cinta adalah embusan udara paling menyejukkan hati
Tak seperti hawa lain yang gigil dan membawa pedang menusuk-nusuk tulang
Cinta adalah pelbagai rasa yang mengerti
Tak seperti rasa lainnya yang selalu ingin menang”
(Cinta Adalah... _hal 67)

Banyak sekali yang bisa didapat dari buku ini. Segera miliki dan buktikan sendiri.

_*_

Review:
Tak perlu jauh-jauh, baru baca kata pengantarnya saja saya langsung tertarik. Ini semacam gerbang untuk sesuatu yang sangat menjanjikan di dalam. Begitu masuk, saya langsung disuguhi akrobat kata yang tak biasa. Penulis menyalurkan semangat dengan entakan yang dahsyat.

Saya bisa merasakan pancaran energi buku ini. Tiap lembarannya semacam punya roh. Dari puisi satu ke puisi lainnya serupa menyelami kekayaan kosakata. Terkadang saya sampai melongo saking kerennya. Dan tak jarang mengulang lagi karena tak rela hanya dibaca sekali.

Buku yang tidak terlalu tebal ini semacam semesta kata yang maha indah. Kendati demikian, puisi yang dipentaskan tetap berbobot, tidak sekadar mengedepankan keindahan diksi. Pesan-pesan moral terselip rapi dalam bait-bait indah dan tersampaikan dengan baik.

Kekurangan yang saya temukan hanya pada fisik; layout kurang rapi, dan terdapat kesalahan penomoran halaman.

Overall, buku ini cocok banget untuk pencinta puisi yang mendambakan akrobat kata luar biasa. Jujur, saya memang bukan penikmat puisi, tapi kalau puisinya sebagus ini, saya tidak menolak untuk membacanya berulang kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar