Sabtu, 10 Februari 2018

Review Novel: Kita Tak Pernah Tahu, ke Manakah Burung-Burung Itu Terbang



Judul            : Kita Tak Pernah Tahu, ke Mana Burung-Burung Itu Terbang

Penulis         : Y. Agusta Akhir

Penerbit       : UNSA Press

Editor           : Ken Hanggara

Layout          : Wirasatriaji

Kover            : Wirasatriaji

Cetakan        : Pertama, September 2017

Tebal             : 370 hlm

ISBN              : 978-602-74393-6-8

Blurb:
Warih adalah bocah dua belas tahun yang hidup sebatang kara. Ia berkawan dengan Sakrama--seorang lelaki tua berumur 130 tahun yang bisa berbicara dengan pohon arwah. Setelah lulus sekolah dasar ia diajak ke rumah Kung Kasida, lelaki yang pernah jadi majikan ayahnya. Dalam perjalanan ke rumah Kung, Warih mengalami keanehan-keanehan. Ia seperti sedang melakukan perjalanan panjang yang melewati hutan, jalanan yang bertebing, melihat burung raksasa dan mendengar auman serigala.

Sampai di rumah Kung, Warih letih dan tertidur, lalu bermimpi bersenggama dengan seorang perempuan. Kelak ia bertemu dengan perempuan itu yang bernama Mahligai Sukma, yang telah dibunuh oleh anak buah Sang Guru. Tetapi sebuah keajaiban terjadi. Ketika mayatnya dibuang ke sungai, lalu ditemukan oleh Wir Satang, mendadak Mahligai hidup kembali.

Mengetahui Mahligai Maha Sukma masih hidup, Sang Guru memerintahkan Mangertos untuk memburu Mahligai. Dalam pelarian, Mahligai mencari Kung, untuk meminta perlindungan.

_*_

Alur Cerita:
Cerita ini dibuka dengan keterkejutan si bocah gundul--Warih--saat melihat buaya putih di sungai. Bukan karena buayanya, tapi ia teringat akan perkataan Sakrama--lelaki renta yang dua tahun lagi umurnya genap 130 tahun--bahwa kemunculan buaya putih pertanda petaka.

Sementara itu, Mahligai terpekur melihat jasadnya sendiri hanyut perlahan-lahan mengikuti arus sungai. Di tengah pengharapan jasadnya menepi hingga mereka bisa bersatu dan hidup seperti sedia kala, mengalirlah kisah pertemuannya dengan lelaki yang dipanggil Sang Guru hingga tubuh indahnya berakhir di tangan lima lelaki beringas.

Kung Kasida dulunya seorang pengusaha gamelang. Lalu memilih berhenti karena alasan tertentu. Sekarang ia sering mendengar tembang di rumahnya, tanpa tahu siapa yang melantunkannya. Belakangan Kung mulai mengenali suara itu milik Mahira, gadis yang pernah bekerja di rumahnya, lalu meninggal setelah mengeluh sakit perut.

"Kung tak merasa terganggu. Tetapi bagaimanapun, sebuah tembang terdengar tanpa bisa terlihat pelantunnya adalah sesuatu yang tak masuk akal, kendati pun Kung mengalaminya."_(hal 20)

Awal-awal cerita ini cukup membingungkan. Kita semacam disuguhkan penggalan-penggalan kisah beberapa tokoh yang barangkali nantinya akan saling berkaitan. Tentu saja. Dari sinilah rasa penasaran untuk terus membaca mulai tumbuh.

Pada akhirnya mayat Mahligai ditemukan oleh seorang tukang perahu bernama Wir Satang. Sebelum sempat Wir meminta bantuan, mayat Mahligai tiba-tiba terbatuk. Matanya perlahan-lahan mengerjap hingga benar-benar terbuka. Lalu ia minta ditinggalkan sendirian.

Di sisi lain, pada suatu waktu, Arwah Mahira mengobrol dengan pohon arwah yang menaungi perkuburan kampung. Dari obrolan itu terungkap alasan Mahira sering mengunjungi rumah Kung Kasida, tak lain dan tak bukan karena ia mencintai lelaki tua itu.

“Asal kau tahu, saat seseorang jatuh cinta, lalu menggunakan pikiran untuk menimbang-nimbang, saat itulah kemurnian cinta mulai ternoda!”_(hal 38)

Sampai di sini, membaca setiap bab serupa mengawali cerita baru. Sama halnya ketika saya lagi-lagi menemukan tokoh baru--Mangertos--yang entah punya keterkaitan apa lagi dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Sejauh ini diceritakan, Mangertos seorang lelaki yang dihukum oleh Sang Guru dengan cara mencabut sebagian fungsional kemaluannya. Ia tidak bisa lagi ereksi.

"Nah, kau akan tetap memiliki sebatang peler. Aku hanya akan mengambil sebagian kecil fungsionalnya saja. Kau, mulai detik ini, tak bisa lagi ereksi!"_(hal 59)

Sadis memang. Tapi itu tidak mungkin tanpa sebab. Mangertos telah memperkosa dan membunuh seorang perempuan.

Sejauh ini mulai sedikit terang, bagaimana tokoh-tokoh yang terus bermunculan secara tiba-tiba sejak awal akan saling berhubungan.

Sakrama mengucapkan salam perpisahan kepada kawan kecilnya, Warih. Katanya, mereka tak akan berjumpa untuk waktu yang lama. Tentu saja Warih bingung, sebab ia tidak sedang berencana melakukan perjalanan jauh.

Namun pada suatu malam, Warih seperti sedang melakukan perjalanan aneh dengan seseorang. Banyak keganjalan dalam perjalanan itu, namun Warih dilarang bersuara kecuali jika diminta.

“Warih, kadang-kadang hidup itu tak terduga. Kadang-kadang, seseorang harus menempuh perjalanan yang belum pernah dijalaninya. Kadang-kadang, seseorang harus melakukan sesuatu yang bahkan tak dimengertinya. Sebagian di antaranya juga tak disukainya! Tetapi, entah bagaimana, tetap dijalaninya. Barangkali, itulah takdir yang mau tak mau harus diterimanya. Apakah kau mengerti?”_(hal 86)

Setibanya di rumah orang itu, Warih langsung tertidur karena kelelahan. Dan dalam tidur itu, untuk pertama kalinya Warih mimpi basah.

Sementara itu, Mangertos mulai menjalankan tugas dari Sang Guru. Ia harus menemukan Mahligai, perempuan yang telah dibunuhnya, namun hidup kembali.

Sampai di sini kita akan tahu bahwa Mahligai bukanlah pelacur seperti yang mereka bilang, hanya kebetulan bekerja di spa--yang membuatnya bertemu banyak lelaki bejat, yang perlahan-lahan membentuk image negatif untuk dirinya di mata orang-orang.

Lantas, seperti apa kisah-kisah yang masih serupa kepingan-kepingan puzzle ini akan menyatu nantinya? Jujur, cerita ini berat, namun tak seberat rindunya Dilan. Wkwkwk .... Per babnya tetap asyik untuk dijajaki hingga akhir. Yuk, miliki bukunya dan buktikan sendiri. Saran saya, jangan menyerah di awal. Teruskan membaca, sebab cerita ini semakin jauh semakin memikat, ketika kita mulai paham ke mana ia berkiblat.

_*_

Review:
Sesuai judul, awalnya kita benar-benar tidak tahu ke mana cerita ini akan bermuara. Ini semacam refleksi dari isi kepala manusia yang sedemikian rumit dan tak pernah benar-benar tuntas disuarakan.

Membaca novel ini artinya kita sedang berhadapan dengan seni bercerita yang tak biasa. Apa-apa yang dikemukakan penulis sungguh baru buat saya--yang tak pernah ada di buku lain. Bahkan setelah khatam, ada saja bagian-bagian yang belum saya pahami sepenuhnya. Ini antara ceritanya yang terlalu rumit, atau otak saya yang terlalu payah.

Guratan kata-katanya dalam dan terbilang berat. Belum lagi penggunaan nama tak lazim yang kian memperlambat proses adaptasi dengan cerita. Untuk saya pribadi, kesulitan di awal ini tertolong dengan penggambaran adegan yang cukup detail hingga mudah divisualisasikan dalam kepala. Tapi tetap, bacanya mesti khusyuk kalau nggak mau semakin bingung. Hehehe ....

Pergerakan cerita per halaman penuh misteri dan sedikit mistis. Kita banyak mendapati kepingan-kepingan puzzle yang menggugah rasa penasaran untuk segera menyatukannya. Bukan hanya itu, dialog-dialognya juga semacam sandi yang menarik untuk dipecahkan. Dan jika berhasil, di balik kalimat-kalimat berat itulah kita bisa menemukan pesan moral yang sangat kuat.

Kita hanya perlu sedikit lebih sabar untuk berhasil menikmati novel ini. Sebab segala kerumitan yang ada di awal, perlahan-lahan jadi candu yang tak punyai penawar apa pun kecuali dituntaskan hingga akhir. Sama halnya ketika saya kepincut dengan pohon arwah yang bisa bicara, yang menurut saya ikonable banget. Pun dengan tokoh aneh lainnya dengan keunikan masing-masing.

Mengingat novel ini dasarnya sudah berat, mungkin lebih baik jika menyiasati paragraf panjang-panjang untuk dipecah jadi beberapa bagian agar nggak engap bacanya.

Overall, novel ini cocok banget buat kamu yang butuh tantangan baru dalam aktivitas membaca. Tapi jangan langsung berpikiran novel ini sedemikian berat, sebab dari sini pun kita jadi tahu, bahwa perasaan cinta selalu punya jalan untuk terhubung, dan pada akhirnya akan menyatu dengan caranya sendiri. Jika tidak di dunia, maka nanti, pada ruang-ruang yang belum bisa kita jangkau sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar