Minggu, 18 Februari 2018

Review Novel: Sepertiga Malam di Manhattan



Judul            : Sepertiga Malam di Manhattan

Penulis        : Arumi E

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Layout         : Nur Wulan

Kover           : Orkha Creative

Tebal            : 276 hlm

ISBN             : 978-602-03-8042-1

Blurb:
Empat tahun sudah Brad Smith dan Dara Paramitha berumah tangga. Walau buah hati belum hadir dan Brad sering bertugas jauh selama berhari-hari, keharmonisan rumah tangga mereka tetap terjaga. Namun pada suatu hari, perkenalan Brad yang berprofesi sebagai pianis musik klasik dengan seorang gadis pemain harpa asal Belanda keturunan Jawa, mengubah segalanya.

Bagi Brad, konser di Wina-Austria itu tak beda dengan konser musik klasik lain. Tak demikian bagi Vienna van Arkel. Pertemuan dengan Brad membuatnya terpikat. Gadis itu nekat menyusul Brad ke New York agar dapat bergabung dalam orkestra yang sama.

Pada suatu kesempatan, Dara memergoki Brad duduk berdua Vienna. Seberapa keras Brad meyakinkan bahwa Vienna hanya rekan bermusiknya, Dara tak bisa langsung percaya. Apalagi Vienna secara terang-terangan mengaku jatuh cinta pada suami Dara itu.

Tak dinyana, cobaan lain hadir. Kegelisahan Dara karena belum juga hamil membawanya pada suatu kenyataan pahit yang bisa mempengaruhi masa depannya bersama Brad. Keraguan pun melanda: sanggupkah Brad tetap setia dan tidak tergoda tawaran Vienna?

Di sepertiga malam, doa-doa panjang Dara lantunkan; akankah Dia berkenan mengabulkan?

_*_

Alur Cerita:
Kedatangan Brad di Vienna untuk sebuah konser musik menjadi sedikit unik setelah bertemu dengan gadis yang namanya kebetulan sama dengan nama kota itu. Vienna. Brad tidak menyangka, gadis berwajah Asia namun bernama Eropa itu adalah pemain harpa orkestra yang diikutinya kali ini.

Vienna sudah sering mendengar berita tentang Brad, tentu saja seputar prestasinya sebagai pianis. Namun, ia tak menyangka sosok aslinya jauh lebih memukau dari video-video konsernya yang tersebar di internet. Sialnya, diam-diam hati Vienna tercuri sedemikian cepat. Vienna ingin mengenal Brad lebih jauh. Ia ingin sekali mengobrol berlama-lama dengan lelaki itu. Sayang sekali, mereka di kota ini bukan untuk jalan-jalan. Mereka disibukkan oleh jadwal latihan menjelang konser yang cukup ketat.

Di sela-sela kesibukan itu, Vienna melihat Brad melakukan ibadah yang sering dilakukan umat muslim--yang ia lupa namanya.

“Vienna hanya bisa memandanginya dengan mata membesar dan mulut setengah terbuka.”_(hal 10)

Menyadari betapa teguh lelaki itu memegang komitmen, masih menyempatkan beribadah di sela kesibukan, membuat kekaguman Vienna kian menjadi-jadi. Sayang sekali, cincin yang melingkar di jari manis Brad membuat semangat Vienna surut. Apakah lelaki itu sudah menikah?

Tak ingin tinggal diam, gadis Jawa Bernama Belanda itu pun mulai mengumpulkan informasi tentang Brad dari internet. Anehnya, meski sudah tahu Brad sudah punya istri, niatnya untuk mengenal lelaki itu lebih jauh tidak padam. Maka setelah konser mereka usai, sebelum kembali ke negara masing-masing, ia meminta nomor telepon Brad. Tanpa curiga sedikit pun, Brad memberikannya.

Meski sering ditinggal bertugas ke luar kota, rumah tangga Brad dan Dara tak pernah ada masalah. Kecuali satu hal, Dara seringkali merasa kesepian. Ini perihal keinginannya untuk segera punya anak. Diam-diam ia iri dengan sahabatnya yang sudah dikaruniai anak kembar, padahal usia pernikahan mereka setahun lebih muda.

Di tengah ikhtiar untuk segera memiliki keturunan, Dara sengaja menyibukkan diri di sekolah Matahari. Di sana ia bisa merasakan betapa menyenangkannya berinteraksi dengan anak-anak. Sekolah Matahari bukan sekolah sungguhan, hanya lembaga nonprofit yang sengaja dibentuk untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada anak-anak keturunan Indonesia yang jarang pulang ke negeri mereka.

Satu hal yang membuat Dara kian tertekan dalam situasi ini, sikap Joshua, ayah Brad, yang selalu dingin karena belum juga diberi cucu. Untunglah, Brad selalu membela Dara ketika ayahnya itu mulai bersikap menyalahkan.

“Kapan hamil bukan tanggung jawab Dara. Tuhan yang berkuasa membuat seorang perempuan hamil atau tidak.”_(hal 58)

Namun pada akhirnya Dara tetap akan terpuruk pada pemikirannya sendiri; dalam kondisi normal seharusnya ia sudah punya anak.

Setelah proposalnya disetujui oleh direktur Mahattan Symphony Orchestra (MSO), akhirnya Vienna bisa menginjakkan kaki di New York. Ini bukan kunjungan pertamanya, tapi mengingat keberhasilannya bergabung dengan orkestra yang sama dengan Brad, membuatnya sangat antusias. Bradley Aaron Smith. Ah, lekaki itu sungguh meninggalkan kesan mendalam bagi Vienna.

Hari-hari Dara masih sama, masih dipenuhi harapan untuk segera memiliki keturunan. Berinteraksi dengan murid-muridnya di sekolah Matahari masih jadi penawar paling ampuh di tengah desakan naluri ingin segera merasakan kesibukan sebagai seorang ibu. Ia bahkan dengan senang hati menjaga siapa pun muridnya yang terlambat dijemput orangtuanya karena alasan tertentu. Dari sana ia punya sedikit gambaran rasanya jadi ibu.

Ia dan Brad sudah merencanakan mengambil cuti dari pekerjaan masing-masing dan berlibur ke suatu tempat, agar tingkat keberhasilan usaha mereka lebih tinggi. Namun, suatu hari menjelang konser di gedung opera, saat Dara bermaksud memberikan kejutan untuk suaminya, malah ia yang dikejutkan. Pasalnya, ia memergoki Brad tidak sendiri di meja restoran, melainkan bersama perempuan lain.

“Brad tidak makan sendiri. Dia bersama seorang perempuan di satu meja. Tampak berbincang akrab. Beberapa kali perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajah Brad, seolah membisikkan sesuatu, lalu tertawa.”_(hal 110)

Brad bingung, antara meneruskan mencari Dara setelah telanjur tidak berselera menonton pertunjukan dan menolak diantar pulang, atau bergegas ke gedung opera untuk menyelesaikan pertunjukannnya--menunaikan tanggung jawab lainnya.

Sampai di sini tanda-tanda keretakan mulai merebak. Lantas, bagaimana Brad dan Dara menghadapinya? Ditengah desakan segera punya anak, pun kehadiran Vienna, tentu saja ini akan sulit. Segera miliki buku ini untuk menuntaskan kisah mereka.

_*_

Review:
Tema novel ini terbilang umum, banyak sekali cerita serupa. Membaca blurb-nya, kita bisa langsung membayangkan jalinan konflik, pun ikatan emosional tokoh-tokohnya. Namun, tentu saja tak sesimpel itu mengkhatamkan novel ini. Karena di awal saja, kita langsung disuguhi aroma musik klasik yang kental. Pertemuan antara permainan piano Brad dan harpa Vienna sukses jadi pembeda dan semacam jaminan cerita anti mainstream--mengesampingkan tema yang terbilang umum tadi.

Di awal-awal, pengenalan tokoh dibarengi detail-detail musik klasik, yang menurut saya cukup manis. Saya sukses dibawa ke arena konser dan turut merasakan kemegahannnya. Gaya bahasa penulis terbilang santai dan banyak menggunakan bahasa sehari-hari. Hal ini membuat cerita terasa lebih real. Ini memang bukan novel kaya diksi, tapi gugusan kalimatnya sangat asyik ditelusuri hingga akhir. Keindahan novel ini justru lahir dari kederhanaan.

Yang sederhana gaya bahasanya, ya. Untuk konflik lumayan komplit. Bibit-bibit misteri ditebar secara halus. Mungkin memang sengaja tidak dibikin mencolok, tapi sukses menjaga minat baca hingga akhir. Dan, ah, kemunculan novel ini tepat banget saat isu PELAKOR lagi hangat dibicarakan. Semoga menguntungkan dari sisi marketing. Hehehe .... Tapi jangan terlalu cepat menyamakan novel ini dengan cerita orang ketiga pada umumnya, sebab karakter Brad menurut saya cukup memorable, bukan cosplay tokoh rekaan dari cerita mana pun.

Selain karena diajak jalan-jalan ke New York tanpa meninggalkan tempat duduk, saya suka nuansa islami yang dibubuhkan penulis. Memang tidak terlalu dominan, tapi cukup lekat untuk jadi identitas.

Selain plot yang terasa agak lambat di tengah-tengah, saya lumayan kesulitan menemukan kekurangan novel ini.

Overall, novel ini bukan sekadar bacaan untuk mengisi waktu luang, tapi bisa banget jadi bahan pembelajaran untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya untuk para pasangan yang masih sering goyah memegang komitmen. Untuk yang masih jomblo, di sini kamu bisa lihat bedanya romantis setelah halal--yang dijamin bikin iri dan baper. Sekaligus mengantisipasi konflik cerita terjadi di hidupmu kelak, juga boleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar