Rabu, 28 Februari 2018

Review Novel: Raka Jakarta Darah dan Ramuan Pohon Zaqqum



Judul            : Raka Jakarta Darah dan Pohon Zaqqum

Penulis        : Chaedar Rizal

Penerbit      : Mazaya Publishing House

Editor           : Tiara Purnamasari

Layout          : Tiara Purnamasari

Kover            : Chaedar Rizal

Cetakan        : Pertama, Desember 2017

Tebal             : 230 hlm

ISBN              : 978-602-6362-62-9

Blurb:
"Aku tidak mungkin tega meninggalkan teman sendirian."
-Keyle London

Setelah bertahun-tahun lamanya, ketika Raka Jakarta menganggap kalau hidupnya tampak normal-normal saja seperti kebanyakan remaja, datanglah seseorang yang berhubungan dengan masa lalu. Seorang laki-laki tua kaya raya ini sungguh menyebalkan, karena ternyata ia amat terobsesi untuk mendapatkan darah Raka--yang tanpa pernah terpikirkan oleh dirinya sendiri--merupakan sebuah kode gen DNA untuk membuka pintu menuju ke masa lalu, masa kini dan harapan untuk masa depan orang-orang biadab.

"Sudah kuduga, tentu saja pengkhianat akan diterima dengan baik, karena mereka punya informasi yang sangat diperlukan bagi musuh. Kalau saja ia tahu--setelah informasinya didapatkan musuh--bisa-bisa ia juga akan dicampakkan. Mau apa lagi kalau sudah begitu?"
-Brian Armani

_*_

Alur Cerita:
Setelah dinyatakan lulus SMA, bukannya mencari universitas berkualitas, Raka malah sibuk membantu Bibi Tina berjualan donat. Raka sadar, kondisinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan, terlebih setelah pamannya meninggal lima tahun silam.

“Seharusnya kau sebagai laki-laki satu-satunya di rumah ini bisa membantu kami. Tidak hanya sekolah saja yang diseriusi. Jualan di pasar juga harus serius.”_(hal 4)

Raka sungguh tidak tahu bahwa dirinya masih punya kesempatan untuk kuliah. Sampai suatu hari ia menemukan brosur untuk pendaftaran beasiswa Orlin School ketika mengantarkan donat di salah satu toko tempat biasa ia menitipkan donat-donat Bibi Tina. Meski penuh keanehan, Raka tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa kuliah. Pada akhirnya ia mendatangi alamat yang tertera di brosur.

Sesampainya di sana, tidak ada pendaftar lain. Pun tidak ada tes yang memberatkan. Raka hanya menjalani semacam pemindaian identitas yang tak kalah aneh. Tapi seaneh apa pun, Raka tidak akan menolak kesempatan sekolah gratis di Orlin School, yang katanya hanya punya satu jurusan--jurusan Kehidupan.

Meski selama ini selalu cerewet dan banyak aturan, Bibi Tina sedih juga melepas kepergian Raka. Mungkin karena tak ada lagi yang mengantarkan donat-donatnya. Sedang anaknya--Silvy--sepertinya tidak bisa diandalkan.

Raka lekas menemui Mr. Orson--lelaki yang melayaninya saat mendaftar kemarin--di stasiun. Merasa tidak ada keberangkatan kereta di jam segini, Raka sempat bertanya-tanya, sebelum Mr. Orson malah mengajaknya menyusuri lorong panjang di dalam sebuah gudang kecil. Lorong panjang dalam gudang kecil? Aneh. Tak hanya sampai di situ, lorong itu berujung pada sebuah lift yang kemudian mereka masuki. Lift mendaki dengan kecepatan tinggi, membawa mereka ke stasiun lain di High City.

Belum tuntas kebingungan Raka perihal cara kerja lift tadi yang mendaki super cepat tanpa ada bangunan tinggi di stasiun seingatnya, sekarang ditambah dengan sebutan High City dan Middle City yang entah apa maksudnya.

“Kita berada di kotamu, hanya saja beda versi. Nama kota kita sama-sama Kota Raya. Kau tinggal di Middle City. Sementara aku berasal dari High City. Sekarang kita berada di pinggiran High City, menuju ke Gunung Orlin, di sana ada sekolah Orlin di mana kau akan bersekolah nanti.”_(hal 43)

Dengan kebingungan yang semakin menumpuk, Raka menurut naik ke kereta dan langsung berangkat. Selama sejam lebih sendirian dalam kompartemen, kereta berhenti di sebuah stasiun. Saat itulah remaja sepantaran Raka berbondong-bondong masuk ke kereta. Dan Raka punya teman sekarang.

Perjalanan berlanjut. Mereka melewati tebing-tebing gunung, terowongan celah bebatuan, hingga tiba di stasiun Ceruk Gunung Orlin. Dari sana mereka pindah ke bus tingkat tiga menuju Orlin School. Terlebih dahulu mereka melewati Pasar Orlin yang berupa bangunan batu bertingkat, sebelum tiba di Orlin School yang bangunannya berupa pahatan di tebing hingga puncak gunung.

Kamar-kamar di Orlin School maksimal dihuni tiga orang. Tentu saja Raka sekamar dengan Dany--remaja tambun yang sudah jadi temannya sepanjang perjalanan tadi--dan Erik, remaja atletis yang pasti disukai gadis-gadis.

Setelah melewati rangkaian semacam proses registrasi untuk murid baru, Raka dan teman-temannya memulai pelajaran pertama mereka: panjat tebing. Sejauh ini semua terasa menyenangkan. Berkali-kali Raka takjub dengan semua tekhnologi super canggih yang ditemuinya--namun tetap ramah lingkungan.

Namun satu hal, Raka sangat penasaran dengan kota ketiga. Jika dia berasal dari Middle City dan sekarang berada di High City, tentu ada Low City. Tapi di mana? Sayang sekali, mereka yang penduduk asli High City--yang sepertinya tahu--urung menjelaskan. Dany bahkan tampak ketakutan tiap kali Raka menyebutkan nama kota itu.

Raka semakin penasaran, ketika Erik sempat memberi sedikit bocoran, bahwa kota ketiga memiliki sejarah yang tabu dan pintu penghubung ke sana sudah ditutup permanen sejak 18 tahun yang lalu.

“Aku lebih suka menyebutnya Low-Lost City. Karena sejak ditutupnya pintu penghubung ke sana, seakan-akan kota itu hilang bagi para penduduk High City, bahkan mereka menyebarkan dengan dongeng-dongeng dan doktrin kepada anak-anak, kalau Low-Lost City merupakan kota terlarang dan sangat tidak menyenangkan.”_(hal 68)

Semengerikan apa sebenarnya kota ketiga itu? Seperti apa sejarahnya? Apakah pada akhirnya Raka bisa menemukan pintu penghubung ke sana? Lalu, seperti apa kehidupan di sana? Untuk menemukan semua jawabannya, yuk segera miliki buku ini. Sumpah, keren banget.

_*_

Review:
Pertama-tama, saya mau acungi jempol atas keberanian penulis menyematkan nama salah satu kota di Indonesia (Jakarta) di judul, yang sukses mencuri perhatian. Pertama kali lihat buku ini saya langsung bertanya-tanya, kenapa nama tokohnya harus Raka Jakarta? Adakah kaitannya dengan dunia fantasy yang hendak dibangun penulis? Dan sederet pemicu rasa penasaran lainnya.

Taste fantasy yang ditawarkan penulis tak kalah dengan novel-novel terjemahan. Bahkan kadang saya lupa, bahwa novel ini karya penulis lokal. Suasananya hidup, detail-detail dunia baru yang hendak dibangun penulis tersampaikan dengan baik tanpa banyak embleng-embleng tidak penting. Tata bahasanya manis, lembut, tapi berenergi. Saya sampai membayangkan bagaimana jadinya jika difilmkan. Saking berhasilnya penulis membawa saya terlibat dalam cerita, potongan-potongan adegannya (dalam versi saya) terputar jelas dalam kepala.

Meskipun ini novel fantasy, cara bertutur penulis lumayan transparan tanpa ada bagian yang sulit dipahami. Gugusan kalimatnya seperti air yang memercik segar, yang membuat kita ingin terus merasakannya. Setiap bab dipenuhi unsur pembangun rasa penasaran yang bikin semangat terus baca hingga akhir.

Di samping penokohan yang kuat, memorable dan konsisten dari awal hingga akhir, saya suka kejelian penulis memerhatikan detail-detail kecil, menghindarkan cerita dari cacat logika dan sukses membangun kestabilan emosi. Dari segi kosakata novel ini lumayan kaya, terbukti dengan seringnya saya menemukan padanan kata baru yang masih jarang digunakan penulis lain.

Yang paling penting, pesan moral tersampaikan dengan baik dalam balutan kalimat-kalimat berkelas. Di balik ceritanya, penulis juga berupaya menyuarakan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan perkembangan tekhnologi. Saya sampai speechless, tidak menyangka akan menemukan hal sedemikian menohok dalam novel fantasy lokal. Standing applause.

Di samping bayang-bayang serial "Harry Potter" yang masih kental di beberapa bagian, saya tidak menemukan kekurangan apa pun di novel ini.

Overall, novel ini cocok banget untuk pencinta fantasy--terlebih lokal--yang mendamba mutu dan hiburan dalam satu paket. Kalau pun kamu bukan pencinta fantasy, tidak ada salahnya mencicipi novel ini. Bisa jadi setelahnya kamu tidak menolak untuk membaca novel fantasy lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar