Rabu, 15 November 2017

Review Novel: Rainbow After The Rain (Love in Moscow)



Judul            : Rainbow After The Rain (Love in Moscow)

Penulis        : Angelique Puspadewi

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Kover           : Orkha Creative

Cetakan       : Pertama, 2017

Tebal            : 218 hlm

ISBN             : 978-602-03-7810-7

Blurb:
Arabel adalah korban terorisme yang mendendam. Suatu hari, gadis yang berprofesi sebagai penulis ini ditantang editornya menulis kisah bertema terorisme.

Semua berawal dari kedatangan sepupu Arabel, Reno dan Sarah, untuk bulan madu di Rusia. Reno membawa sahabatnya, Dimitri, yang perlahan tapi pasti membuat Arabel sadar bahwa teror adalah sifat manusia yang tidak terkait agama mana pun.

Seiring waktu, Arabel jatuh cinta pada Dimitri. Pria itu dan riset penulisan menjadi alasannya datang ke Bali. Padahal sejak kejadian Paddy's, Arabel bersumpah tidak akan menginjakkan kaki ke Pulau Dewata. Di tempat itu pula semua kesakitan kembali datang. Dimitri membongkar rahasia besar yang menjungkir-balikkan dunia Arabel.

Akankah Arabel menerima Dimitri dan masa lalunya seperti pelangi yang datang setelah hujan?

_*_

Alur Cerita:
Masa lalu membuat Arabel tumbuh jadi gadis pendendam pada apa yang seharusnya ia yakini. Ia kecewa pada Tuhan, sebab merasa doanya diabaikan. Ia memilih mangkir dari kewajibannya sebagai muslim, bahkan hendak berpindah keyakinan kalau saja Mom tidak kukuh mencegahnya. Jalan satu-satunya adalah menemukan pria non muslim religius yang bisa meyakinkan Mom. Sayang, sejauh ini pria-pria yang dipacarinya ilmu agamanya sangat dangkal.

Di tengah usaha Arabel untuk pindah keyakinan, sepupunya, Reno dan Sarah, datang ke Moscow dalam rangka bulan madu. Mereka tidak hanya berdua, Dimitri bersama mereka, pria alim yang mampu menarik perhatian Arabel di menit pertama. Arabel harus mengakui daya pikat pria melayu tapi bernama ala-ala Rusia itu. Tapi saat dia hanya menangkupkan tangan di depan wajah ketika Arabel mengajaknya bersalaman, juga saat bertanya arah kiblat di luar waktu shalat wajib, membuat Arabel risi. Menurutnya terlalu alim.

Tidak cukup hanya Dimitri, Sarah pun yang merupakan muslimah sejati membuat Arabel gerah. Bahkan sekadar melihat penampilannya yang berhijab mengingatkannya pada peristiwa kelam belasan tahun silam. Melalui dua tamu alimnya itu, perlahan-lahan Arabel mendapatkan pencerahan tentang apa yang salah di pandangannya selama ini.

“Kita boleh berkelana ke mana saja. Menjelajah bangunan-bangunan bersejarah di muka bumi, tetapi kita tetap harus pulang ke rumah Allah. Masjid adalah rumah batin kita meminta makan. Agar tidak lapar, kita harus melakukannya lima kali sehari. Jadi lahir sehat, batin pun sehat.”_(hal 18)

Sejujurnya Arabel tidak suka apa pun yang coba diterangkan Sarah dan Dimitri. Ia tidak butuh, kecuali untuk keperluan riset novelnya. Sebagai seorang penulis, kali ini Arabel menerima tantangan dari editornya untuk menulis novel bertema terorisme. Bagi Arabel, hal ini sama saja mengulik luka lama.

Arabel merasa aneh ketika hatinya bergetar saat lamat-lamat mendengar Dimitri melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Bahkan saat melihat pria itu mengimami keluarganya shalat berjamaah, Arabel sampai mengeluarkan air mata tak keruan.

"Hati Arabel tergetar. Rasa hangat menjalar hingga kerongkongan dan kelenjar air matanya. Setetes air mata menitik tanpa Arabel sadari. Ada kerinduan yang mendadak hinggap dan meremas hati, namun Arabel tidak tahu kepada siapa."_(hal 43)

Perkataan Dimitri, masa lalu bersama Dad, hingga ketakutan dan kebencian itu berkejar-kejaran di kepala Arabel. Untunglah, pada akhirnya Arabel paham apa yang harus ia putuskan.

Setelah tamunya pulang, Arabel mencoba mulai fokus menyiapkan kerangka tulisannya. Agak susah memang, sebab diantarai pergolakan batin yang belum sepenuhnya bermuara, jua rindu yang diam-diam terbit untuk Dimitri. Ditambah lagi kedatangan surel misterius yang menyentakkan seluruh tubuh Arabel.

Disamping untuk riset penulisan, rasa penasaran akan sosok Dimitri membawa Arabel ke Indonesia. Seminggu di Rusia, pria itu berhasil mencuri lebih banyak keingintahuannya.

12 tahun Arabel tidak menginjakkan kaki di Indonesia, meski Mom dan adiknya hampir setiap tahun mengunjungi kerabat mereka di Jakarta. Semua karena ketakutan dan kebencian itu. Tapi karena Dimitri, Arabel berhasil melaluinya.

Degup sisa-sisa trauma dan setumpuk rasa aneh akan bertemu Dimitri menyesaki dada Arabel. Namun insiden kecil membuat pertemuannya dengan pria itu tertunda beberapa hari.

Hari pertemuan pun tiba, yang berujung pada ajakan ke Bali. Seluruh tubuh Arabel menegang seketika. Di sanalah kesakitan itu bermula, di sanalah tragedi itu terjadi, di sana pula awal mulanya Arabel meragukan Tuhan. Tapi sekali lagi, Dimitri berhasil membuat Arabel melangkahi ketakutannya.

"Namun sentuhan lembut di pundak meredam bayang ketakutan. Perlahan perasaan tenang menyusup. Arabel membuka mata dan mendapati Dimitri tersenyum lembut padanya. Arabel takjub pria itu berkenan menyentuh pundaknya demi memenangkannya. Meski kulit mereka tidak bersentuhan, tetap saja darah mengalir deras ke jantung Arabel yang kini berdetak cepat."_(hal 135-136)

Nahas, ketika Arabel berhasil menyembuhkan luka, memangkas ketakutannya perlahan-lahan, tiba-tiba fakta baru menjungkir-balikkan keadaan.

Apa sebenarnya yang Arabel temukan di Bali? Bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Dimitri? Sumpah, novel ini keren banget. Segera miliki bukunya dan buktikan sendiri.

_*_

Review:
Selera baca memang tidak bisa dibohongi. Dan ketika menemukan bacaan yang sesuai, rasanya mirip-mirip cinta pada pandangan pertama. Itulah yang saya rasakan ketika membaca novel ini. Tidak perlu jauh-jauh, saya jatuh cinta di lembar ketiga.

Novel ini segelintir dari sekian bacaan zaman now yang mungkin bisa menyelamatkan generasi muda. Cinta tidak sekadar dipertontonkan, tapi makna dan tujuannya dijabarkan dari berbagai sisi. Kemunculannya pun pas di saat isu agama lagi hangat-hangatnya. Menurut saya ini novel pembangun jiwa yang tidak memaksakan mengambil porsi lebih besar untuk pembahasan seputar agama. Penulis mengupayakan dakwah melalui kegelisahan tokoh dan aktivitasnya sehari-hari. Muslim yang telah membaca novel ini sedikit banyak akan mendapatkan pandangan baru perihal agama/keyakinan secara liberal, seperti yang saya rasakan.

Di samping itu, dari segi cerita juga sangat menarik. Menjadikan tragedi Paddy's sebagai titik keberangkatan cerita membuat novel ini berbeda. Ada pembahasan mengenai teroris yang banyak disalah artikan masyarakat luas. Yang paling saya suka, pergolakan batin Arabel mencari keyakinan sangat mengharukan. Di beberapa bagian saya sampai merinding bacanya. Emosi yang ingin disampaikan penulis tersalurkan dengan baik.

Novel ini juga diperkuat dengan menghadirkan kutipan-kutipan Al-Quran, bacanya bikin adem. Selain itu disinggung juga perihal bagaimana mengatasi trauma dan kekuatan ikhlas dalam mendatangkan kebahagiaan. Komplit banget, deh.

Kurangnya hanya pada beberapa typo yang sangat saya sayangkan untuk karya sebagus ini. Sama satu lagi, kalo ada bagian yang menggambarkan novel terbaru Arabel meledak di pasar Internasional dan Indonesia, pasti lebih keren.

Overall, novel ini cocok banget untuk muda-mudi yang mengaku kekinian, agar lebih mengenal islam dan paham bagaimana harus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Benar-benar bacaan zaman now. Angin segar di tengah maraknya bacaan yang minim didikan, bahkan terkesan vulgar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar