Sabtu, 04 November 2017

Review Kumcer: Gerimis di Atas Kertas



Judul            : Gerimis di Atas Kertas

Penulis        : A.S. Rosyid

Penerbit      : Basabasi

Tebal            : 200 hlm

ISBN             : 978-602-6651-30-3

Blurb:
MENUNGGU AYU
Tapi Ayu bisa dekat dengan siapa saja. Ia baik dan ramah. Tidak ada yang pernah mencoba menjaili Ayu. Kehadirannya tidak menyakiti dan tidak disakiti siapa saja.
Dulu, rasa-rasanya Ayu tidak cantik. Dia jadi cantik setelah pergi tanpa pamit.

GERIMIS DI ATAS KERTAS
Aku memberanikan diri menatap matanya.
“Kakak bisa membaca pikiran orang?”
Kak Fajar menggeleng. “Mana ada yang begituan.”
“Kakak bohong.”
“Kalau saya sudah jujur, dan kamu tetap suruh saya jujur dengan penjelasan lain, artinya kamu sedang nyuruh saya bohong.”

CAKWE KOTA TUA
Benar: kamu ingin mengajak Sastri membuat warung kopi terbuka di pesisir Pantai Ampenan. Warung kopi yang sederhana, dengan menu istimewa kopi unik Parid dan cakwe Sastri. Akan ada pula sejumlah buku yang bisa dibaca di tempat, gratis. Sebuah warung kopi literasi.

_*_

Tiga cerita, dua gaya penulisan sudut pandang, satu benang merah: komunitas. Di Pulau Lombok jalinan cerita saling bersinggungan ini terjadi. Tentang anak muda, tentang cinta, dan tentang dunia yang serba bergerak.

_*_

Nukilan:
Menunggu Ayu

“Langit sore tampak indah, sebagaimana biasa. Langit sore adalah langit yang bisa dinikmati di mana saja. Sedangkan wajah Ayu, adalah wajah yang hanya bisa kunikmati waktu kecil.”_(hal 22)

Hasyim lena pada kenangan, masa kecil yang tidak begitu menyenangkan sebenarnya, malah agak mengerikan karena dilatarbelakangi kerusuhan antar agama, tapi menjadi sangat berkesan karena ada Ayu di sana.

Ayu teman yang menyenangkan, asyik dan mau diajak melakukan banyak hal. Namun Hasyim tak pernah meyadari gadis berambut tipe air itu akan memabukkan, sebelum ia pergi tanpa pamit.

Hasyim tentu saja tetap melangkah, melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Namun di ruang paling rahasia, ia merawat kerinduan akut. Kepada semesta sering ia kumandangkan, dan anak-anak didiknya sering ia jadikan penghalau, ketika apa-apa tentang Ayu hampir-hampir membuatnya gila.

Ya, Hasyim mendirikan Rumah Baca Pesisir sekaligus mengajari anak-anak di sana beragam ilmu.

Entah sejauh mana masa lalu tentang Ayu memengaruhi kehidupan Hasyim, yang pasti ia jadi abai pada usaha terhalus sebuah perasaan yang hendak merayapi hatinya--yang mau tak mau melahirkan tangis.

_*_

Gerimis di Atas Kertas

“Ada satu warna yang telah lama kubuang, dan ingin kupungut lagi. Warna yang mungkin bisa membuat semua rutinitas lama menjadi terasa baru, bahkan membawaku pada petualangan-petualangan seru.”_(hal 77)

Keputusan Tata untuk pulang kampung setelah menyelesaikan pendidikan mempertemukannya dengan Fajar, lelaki yang ditaksirnya berumur 28 atau 29 tahun. Entah sejak kapan Tata mulai memerhatikan lelaki itu, mengamati rumahnya, dan hal lain hingga ia memutuskan untuk menyapanya.

Berbekal serantang sarapan, Tata berkunjung ke rumah Fajar untuk pertama kalinya. Pertemuan pertama yang sukses membuat Tata sedikit banyak tahu sosok Fajar dan akhirnya diam-diam kagum, melahirkan serentetan pertemuan selanjutnya.

Tata ingin belajar menulis novel, dan menurutnya ia bisa belajar dari Fajar. Meski alasan Tata ingin menulis novel adalah seseorang dari masa lalu, namun ia sangat menikmati proses kreatifnya bersama Fajar. Hubungan mereka semakin dekat dan hangat.

Namun, apa jadinya bila Fajar tak sesuai yang dipikirkan Tata selama ini? Melalui teman-teman sekomunitas, Tata akhirnya tahu banyak soal Fajar, yang membuatnya kecewa dan prihatin di saat bersamaan.

_*_

Cakwe Kota Tua

Tiba-tiba kekosongan menimpa petualangan seru Bayu selama belasan tahun menjadi wartawan foto di sebuah majalah international. Ia mencintai pekerjaannya, namun ia khawatir ketika hasrat tak bertepi mulai menelan dan mengasingkan sisi kemanusiaan dari dirinya. Alasan itulah yang membawanya ke Lombok.

Di Lombok, untuk pertama kalinya ia mengenal cakwe, juga senyum manis penjualnya, Sastri.

“Sastri seperti sudah punya standar pelayanan sendiri. Raut wajahnya meringankan beban bagi pelanggan yang hari ini dimarahi bosnya di kantor. Senyumnya membuat rasa bosan karena mengantre menguap entah ke mana. Caranya menyapa sudah melampaui kesopanan: Sastri bisa membuat pelanggan-pelanggannya merasa karib.”_(hal 168)

Dari Sastri, Bayu belajar banyak hal, sesuatu yang belum ditemui di sepanjang petualangannya selama ini. Tak heran jika ia mulai jatuh hati.

Di kepala Bayu mulai terancang sebuah rencana, yang mungkin bisa membantu Sastri, juga selalu mendekatkan perempuan itu dengannya.

_*_

Seperti apa akhir tiga kisah unik yang saling berkaitan di atas? Segera miliki bukunya dan bersiaplah untuk terpukau.

_*_

Review:
Membaca buku ini seperti sedang bertualang ke tempat baru yang belum banyak terjamah manusia, hingga di setiap jengkalnya kita bisa menemukan banyak hal unik--padanan kata tak lazim, penyampaian memabukkan, jua eksekusi yang bikin tercengang. Beberapa bagian bahasanya cukup berat sebenarnya, tapi penulis berusaha tetap asyik sambil memainkan pola kalimat pendek-pendek.

Narasinya magis, sarat pesan moral. Beberapa bagian bahkan dipaparkan secara misterius, dalam artian, sari patinya akan kita temukan hanya bila tekun menghayatinya.

Tiga cerita, dua sudut pandang, dan terjadi di satu kota. Entah bagaimana cara saya menyampaikan betapa unik dan memabukkannya buku ini. Cerita pertama diwarnai latar belakang kehidupan lima bocah dengan keunikan masing-masing. Di cerita ini penulis memunculkan kembali ragam permainan tradisional yang mulai terlupakan. Di cerita kedua, penulis mengajak kita berbaur dalam komunitas dan sedikit berbagi ilmu seputar dunia kepenulisan. Sedang di cerita ketiga, yang paling saya soroti adalah setting-nya. Penulis tidak hanya menjadikan Mataram sebagai tempelan di balik cerita, tapi benar-benar memaparkan sejarahnya.

Setiap bagian seolah mengandung teka-teki. Ada poin tertentu yang penulis tekankan yang kemudian menjadi pembeda dan nilai plus. Membacanya kadang sampai nahan napas, saking tidak ingin kelewatan bagian penting seinci pun.

Satu lagi yang membuat buku ini berbeda, penulis menjadikan komunitas sebagai benang merah di semua cerita. Dari cara penulis menghidupkan komunitas dalam cerita, banyak pengetahuan baru yang didapat.

Saya jatuh cinta pada kepiawaian penulis menghidupkan tokohnya, tidak berfokus pada tokoh utama, orang-orang di sekitarnya pun terasa nyata.

Kurangnya, di cerita pertama ada dua paragraf yang diulang sama persis, meski susunan baris kalimatnya sedikit bergeser. Semoga saya yang keliru, mungkin kesengajaan, bagian dari seni. Kedua, jika konsep awal adalah tiga cerita yang saling berkaitan, saya kurang merasakan keterkaitan cerita ketiga dengan lainnya. Ketiga, di cerita ketiga ada penggunaan sudut pandang yang keseleo, harusnya tetap orang kedua, tiba-tiba jadi orang pertama. Tapi semua itu sama sekali tak mengurangi kenikmatan cerita.

Buku ini cocok buat kamu yang mendambakan petualangan baru dalam aktivitas membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar