Minggu, 19 November 2017

Review Kumsi: Nyanyian Ranting Kayu



Judul            : Nyanyian Ranting Kayu

Penulis        : Sahyul Padarie

Penerbit      : Guepedia

Editor           : Guepedia

Kover           : Guepedia

Tebal            : 207 hlm

ISBN              : 978-602-443-058-0


Blurb:
Aku takut bila air mata Ibu menetes dunia ini akan harum selamanya
"Berhentilah menangis, Bu,"
Ibu menimba kembali air matanya yang telah tumpah
"Bu, bukankah engkau yang pernah mengatakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya, jadi, tak selamanya kan cahaya itu bersinar di gedung sekolah, bisa jadi di tempat sampah."

Pelukan erat langsung hinggap di tubuhku
Ternyata itu pelukan Ibu.
(Dalam puisi Kutenteng Sepatuku Pulang)

_*_

Oh, pelitaku sekarang
Kuakan menjadi pengganti sumbumu
Janganlah engkau menyala tanpa bercahaya
Karena akulah yang akan menjelma menjadi sinarmu
Dikala pelita lain lebih terang darimu
(Dalam puisi Baktiku Wahai Pelita)

_*_

Jika masih ada cinta yang bercahaya di jiwa ini
Kenapa tidak mengubur saja benci yang menggelapkannya?
Kenapa? Kenapa? Kenapa?
(Dalam puisi Jika dan Kenapa)

Terkadang ranting-ranting kayu hanya bergelantung di dahan pohon, kemudian patah dihempas angin rindu, ranting-ranting itu pun tergeletak di tanah. Sampailah pada akhirnya embun menemani dan memungutinya, menjadi puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini.

_*_

Nukilan:
Sebagai awalan, saya disajikan puisi-puisi bertema sosial yang disampaikan dengan lantang, berani, dan jujur.

"Kenapa tidak dinaikkan juga
Harga tiket pesawat
Agar penyelundup narkoba
Perlu berpikir untuk masuk ke negeri ini?
Kenapa tidak dinaikkan juga harga minuman keras
Agar pemabuk perlu berpikir untuk meminumnya?
Aku hanya bertanya
Namun bukan pemabuk
Dan penyelundup narkoba"_(Dalam puisi Seorang Perokok Awam_hal 16)

Namun di samping itu, buku ini juga tak luput dari nuansa romantis.

"Akulah yang menjadi kekeringan itu
Aliri aku dengan lembutmu
Basahi aku dengan kecupmu
Biar aku sendiri yang meresapkannya
Ke dalam hatiku pun sanubariku"_(Dalam puisi Hanyut dalam Bening_hal 22)

Sejauh ini saya cukup terhibur. Namun, ini baru lapisan luarnya. Perjalanan kita masih panjang.

Sampai di sini saya merasakan segumpal keresahan yang coba disuarakan penulis. Mungkin semacam kejenuhan akan hal yang terus menerus berotasi di poros yang sama, atau hal lain yang hanya ia yang tahu.

"Kumeminumnya
Namun tak menghabiskannya
Agar pahit itu akan tetap kucoba
Sampai akhirnya akan kuhabiskan
Beriringan habisnya hidupku juga"_(Dalam puisi Masih Ada Kopi yang Tersisa_hal 26)

Pada buku beraroma kayu ini penulis benar-benar menuhankan keleluasaan, berekspresi seliar mungkin. Tapi tetap, nadanya tak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari.

"Apa dan siapa
Yang melarangku mengarang bahagia
Bersajak-sajak indah
Menghapus ingatan duka
Apa dan siapa sebenarnya"_(Dalam puisi Kepada Apa dan Siapa Kuresah_hal 59)

Buku ini semakin menarik saja. Hanya melalui bait-bait puisi, ada kiasan cerita yang mengalun nyata.

Meski puisi yang termaktub dalam buku ini mencakup beragam tema, yang saya rasakan tetap keresahan sosial sebagai pilar utama.

"Tertulis di baliho itu
"Rapat kerja pemberdayaan pedagang kecil"
Aku membacanya terbata-bata
Tulisan itu tak membuat gerobakku menjadi mobil
Sudahlah....
Yang penting aku tak kedinginan lagi"_(Dalam puisi Penjual Air Tahu Depan Kantor Gubernur_hal 146)

Di bagian-bagian akhir ternyata penulis menyediakan beberapa ruang untuk menuang quotes yang sayang banget untuk dilewatkan.

"Bukalah lembaran-lembaran kenangan malam ini, masih ada harapku yang tertulis di lembaran terakhir"

"Yang terlihat dalam khayalan hanyalah susunan harapan, membentuk tembok penghalang ketidaksepadanan"

"Pulanglah ke dalam lamunan kenangan, di sana mengalir sejuknya harapan"

"Harapku hanya mencoba membalut khayalan dengan keindahan, sebagai cara menyembunyikan ungkapan"

(Serangkum quote penulis_hal 161)

Unik, ya, buku ini? Segera miliki saja untuk menikmati keseluruhan isinya.

_*_

Review:
Ketika sebuah tulisan lahir dalam bentuk buku, tentu saja tampilan fisik memegang peranan penting. Menurut saya, desain kover, judul, dan isi buku ini sangat mecing. Terlebih setelah membaca filosofi judul yang tersirat di back kover. Kata penulis, kalimat puisinya dipungut dari ranting kayu yang jatuh ke tanah, atau pun ilalang layu, wajar jika temanya tak jauh-jauh dari ruang lingkup sosial.

Puisi pertama langsung menohok, ada nada haru di sana. Ditempatkan paling depan mungkin sebagai booster, agar pembaca penasaran dengan puisi-puisi selanjutnya.

Diksi yang digunakan sederhana, saya tidak menemukan banyak hal baru, tapi oleh penulis dikawinkan dengan kondisi real di sekeliling kita hingga melahirkan bait-bait yang aduhai maknanya.

Namun terlepas dari semua itu, keasyikan saya berselancar menerjemahkan maksud tiap-tiap puisi agak terganggu dengan typo yang nyempil di beberapa bagian. Selain itu penggunaan "ke" dan "di" sebagai kata depan maupun imbuhan juga harus lebih diperhatikan.

Overall, buku ini cocok buat penikmat puisi yang menginginkan pementasan sosial di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar