Kamis, 23 November 2017

Review Novel: Dream If



Judul            : Dream If

Penulis        : RedyKuswanto

Penerbit      : Diva Press

Editor           : Muhajjah Saratini

Kover           : Amalia

Cetakan       : Pertama, November 2017

Tebal            : 268 hlm

ISBN             : 978-602-391-467-8

Blurb:
Mimi Tarmiyah memang sok cantik. Sejak kecil dia ingin menjadi artis. Alasannya cukup sederhana; ingin terkenal, memiliki banyak uang, hidup mewah, serta memiliki seabrek fan yang memuja-mujanya. Kini, usia Mimi sudah mendekati tujuh belas tahun. Ini waktu yang tepat untuk mewujudkan mimpi, menjadi artis. Seperti idolanya, Titin Tumina Hona.

Valdo melihat kesempatan saat melihat ambisi Mimi. Bersama Brian, ia memberi kesempatan Mimi untuk mrngejar impiannya di Jakarta. Mimi bersedia ikut, mengabaikan nasihat ibunya; kekasihnya Engkos; dan sahabat-sahabatnya.

Mimi si gadis desa, harus mengakui kerasnya perjuangan di ibu kota. Menghadapi kegagalan dua kali, Mimi jadi ragu. Apakah ia akan melupakan mimpinya dan kembali ke desa, atau tetap bertahan karena impian harus diperjuangkan?

_*_

Alur Cerita:
Setelah memenangkan sebuah kuis, Mimi berkesempatan bertemu dengan artis idolanya, Titin Tumina Hona. Di hari pertemuan, sejak subuh ia sudah heboh mempercantik penampilan.

“Sejak subuh, entah sudah berapa puluh kali dia berkaca mematut diri. Dia tak sadar, berapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk penampilan yang sempurna. Entah sudah berapa puluh kali ia berganti pakaian. Dari hitam hingga merah. Dari bunga-bunga hingga garis-garis. Dari celana jin hingga rok panjang. Dari kebaya hingga yukensi. Semua belum ada yang dirasa pas di badannya.”_(hal 25)

Belakangan ini Mimi suka meniru Titin. Dari model busana hingga gaya rambut semua ia copy paste. Alasannya sederhana, agar bisa tampil secantik artis pendatang baru itu. Syukur-syukur ketularan nasib baiknya.

Padahal tidak semua yang dikenakan Titin yang memang sudah cantik dari sananya, cocok untuk Mimi. Hal ini sering dikeluhkan Engkos, pacar Mimi, tapi tidak diindahkan.

Saat ini fokus Mimi hanya satu, ingin seperti Titin, yang tampak sangat mudah jadi artis. Hanya berawal dari youtube, tiba-tiba ia jadi idola baru yang dibicarakan semua orang. Mimi hanya tidak tahu, di samping faktor luck, Titin memang punya bakat emas. Sedang ia, sama sekali tidak memiliki sesuatu yang mumpuni untuk merambah dunia entertainment.

Setelah bertemu dan bercengkerama langsung dengan Titin, Mimi tak pernah bosan menceritakan pengalaman berharganya itu ke teman-teman di sekolah. Dari sana pun ia semakin berambisi untuk bisa seperti Titin. Dalam hati Mimi bertekad, akan melakukan apa pun demi mewujudkan impiannya.

Dan tiba-tiba impian itu terasa semakin dekat ketika laki-laki bernama Valdo muncul dan mengajukan tawaran istimewa untuk Mimi. Ia mengenalkan diri sebagai agen artis dan pemilik manajemen yang khusus mengorbitkan artis-artis pendatang baru.

Tanpa Mimi tahu, Valdo memang sudah mengamatinya di hari kedatangan Titin.

“Dia adalah lahan baru yang tak boleh diabaikan. Harus ada yang membantu mewujudkan keinginan cewek kampung yang ambisius itu.”_(hal 60)

Tapi sayang, tak seorang pun yang mendukung keinginan Mimi untuk berangkat ke Jakarta menuruti ajakan Valdo. Termasuk Amah dan Engkos. Mimi jadi kesal bercampur sedih. Menurutnya, tawaran istimewa dari Valdo adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.

Valdo mengutus Brian, pemuda tampan dan terlihat santun, untuk menjemput Mimi. Pada akhirnya Mimi berangkat ke Jakarta, mengabaikan nasihat Amah, Sahabat, terlebih Engkos.

Setibanya di Jakarta, Mimi tak berkedip memandang suasana kota yang sangat berbeda dengan desanya. Mulai dari tugu, air mancur, gedung-gedung tinggi, semua tampak indah di mata Mimi. Meski masih ada sedikit rasa takut dan keraguan, namun Mimi merasa impiannya semakin dekat.

“Jujur, Mimi merasa ragu dan takut. Namun impian untuk menjadi cewek terkenal, kaya, dan dielu-elukan banyak orang begitu menguasai pikirannya. Ini semua membuat tekadnya semakin kukuh dan bulat. Pergi dari Baranangsiang adalah satu-satunya cara untuk meraih semua mimpi.”_(hal 90)

Brian mengantar Mimi menempati salah satu kamar di Guest House Bima Sakti. Setelah beberapa hari tanpa kabar dari Valdo, Mimi mulai merasa bosan dan kesepian. Untung ada Brian yang sesekali mengajaknya jalan-jalan. Di sinilah kesetiaan Mimi kepada Engkos diuji, sebab Brian terang-terangan mengaku suka padanya.

Hingga suatu hari, tiba saat yang dinantikan Mimi. Brian mengajaknya bertemu dengan Pak Alex, salah seorang agen artis kelas kakap. Namun sebelum itu, Mimi harus mengubah penampilan biar lebih menarik dan meyakinkan.

Bagaimana hasil pertemuan itu? Benarkah Pak Alex akan mengorbitkan Mimi? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Hehehe ....

_*_

Review:
Membaca novel ini berasa menikmati air pegunungan langsung dari sumbernya. Dalam artian, kita sebagai pembaca dimanjakan dengan tulisan yang rapi, tertata, terpola, pokoknya nggak ada yang bikin kening berkerut tiba-tiba. Suasananya benar-benar hidup.

Meskipun agak spoiler, saya suka prolognya yang menghentak dan memicu rasa ingin tahu konflik utama dalam cerita ini.

Cerita ini berangkat dari Desa Baranangsiang tempat Mimi dengan segudang impiannya berada. Menonjolkan sisi pedesaan yang kental, dibalut pribadi Mimi yang unik dan agak kocak, membuat novel ini cukup menghibur.

Saya kagum dengan keberanian penulis mengusung cerita ini di tengah maraknya novel-novel remaja ber-setting luar negeri. Konfliknya pun sangat natural, logis, sama sekali tidak ada yang dipaksakan.

Menurut saya, ini novel teenlit yang sangat timpang dengan yang lainnya. Jika kebanyakan teenlit isinya terasa cengeng dengan pembahasan seputar cinta yang gitu-gitu aja, novel ini justru menebar pesan moral di setiap babnya. Banyak sekali, tergantung kejelian kita memaknai cara penulis bertutur. Misal, pentingnya mendengarkan nasihat orangtua. Terlebih dengan kemunculan Pak Jaka dan petuahnya di bagian akhir, semacam penegasan bahwa di tengah kehidupan yang semakin liar, masih ada segelintir orang berhati malaikat.

Oh ya, meski tidak begitu dominan, saya suka persahabatan yang ditunjukkan Engkos dan Badot, bahwa di sisi tertentu kehidupan seseorang, selalu ada peran sahabat di sana.

Sayangnya, alurnya agak mudah ditebak dan kemasannya kurang fresh untuk kalangan remaja. Contoh kecil, menjadikan Evan Sanders sebagai perumpamaan yang mirip Brian, padahal banyak idola remaja yang lebih kekinian. Maksudnya gini, saya menyayangkan jika novel ini gagal menembus remaja-remaja yang merupakan target pembaca utamanya, karena inti sarinya mantap jiwa, benar-benar alarm yang dibutuhkan kid zaman now.

Overall, novel ini cocok banget untuk siapa pun yang haus ketenaran. Untuk jadi terkenal, ternyata nggak harus cantik/tampan, terlebih sampai meniru gaya orang lain. Dan yang paling penting, impian harus diwujudkan dengan cara berjuang sungguh-sungguh, tidak instan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar