Senin, 11 September 2017

Review Novel: 33 Senja di Halmahera


Judul            : 33 Senja di Halmahera

Penulis        : Andaru Intan

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Tebal            : 192 hlm

ISBN             : 978-602-03-4264-1

BLURB:
Karena berkelahi dengan anak orang terpandang, Nathan mendapat tugas ke pelosok Halmahera Selatan. Di tengah kerinduan akan keluarganya di Sirimau, bintara yang baru saja menyelesaikan pendidikan itu jatuh hati pada Puan, gadis cantik dengan raut wajah sedih.

Tidak seperti penduduk Maluku Utara umumnya, Puan membenci laut. Bukan hanya tidak mau berenang dan menjejakkan kaki ke air laut, bahkan memandang indahnya refleksi senja di laut pun Puan tak sanggup. Gadis itu trauma akan sesuatu di masa lalu.

Mengalahkan trauma Puan akan laut bukanlah satu-satunya tantangan bagi Nathan. Prinsip dan keyakinan Puan dan Nathan yang berbeda pun ikut membuat kisah mereka pasang surut.

Akankah 33 Senja di Halmahera yang mereka lalui bersama dapat mengubah cara mereka menyikapi hidup dan asmara yang bergejolak?

Alur Cerita:
Nathan dirundung penyesalan. Andai saja ia menuruti kata Mama waktu itu, semua ini tidak akan terjadi. Ternyata jauh dari keluarga rasanya sangat tidak enak.

Tapi kenapa? Nathan ke pesta itu hanya untuk bertemu teman-teman sekolahnya, untuk menunjukkan bahwa ia bukan lagi Nathan yang dulu selalu mereka olok-olok. Nahas, sesuai kekhawatiran Mama, pesta itu berbuah petaka.

Tapi beruntunglah, Nathan tidak dikeluarkan dari kesatuan TNI, hanya dipindahtugaskan ke pelosok Halmahera Selatan. Di sanalah ia bertemu perempuan yang akrab dipanggil Puan, seorang guru yang membenci laut.

Puan tidak ingin meluruskan rambutnya. Menurutnya, rambut keriting yang diluruskan paksa di salon jadi mirip sapu ijuk. Toh, rambutnya tidak keriting, hanya bergelombang dan justru makin mempercantik penampilannya. Ia juga tidak ingin ikut-ikutan memakai cream pemutih seperti teman-temannya, yang membuat kulit mereka terkelupas dan malah memerah, bukannya putih. Puan cantik dari sananya, menarik karena kesederhanaannya.

Nathan mulai menyadari, bahwa di daerah pelosok tempatnya kini ditugaskan ada sesuatu yang menarik, sepasang mata bulat milik Puan.

Puan yang seolah mengesampingkan semua urusan lelaki, serta Nathan yang mendapati hatinya sedang mati, membuat kisah ini sangat menarik. Cinta tumbuh pelan-pelan, membuat kita menikmatinya pun pelan-pelan. Sangat realistis, tidak ada yang dipaksakan dari kedekatan mereka yang hanya berawal dari tatapan jarak jauh, atau pertemuan di luar rencana. Baik Nathan ataupun Puan, keduanya menikmati diam-diam. Dalam hati saja.

Suatu hari mereka berjumpa selepas subuh. Puan ingin menunjukkan tempat berenang kepada Nathan yang lebih baik dibanding pantai belakang rumahnya. Di sanalah untuk pertama kalinya Nathan bercerita banyak apa-apa tentang dirinya, dan pertama kali melihat Puan tertawa. Mereka tampak mulai akrab, mulai mengakui sesuatu yang meletup-letup di hati masing-masing. Namun pada waktu selepas subuh itu pun Puan menemukan sesuatu yang membuat perasaannya mendadak layu, semacam benteng yang mustahil ia tembus.

Kesempatan berekreasi ke Pulau Widi dimanfaatkan baik-baik oleh Nathan untuk membunuh ketakutan Puan pada laut. Lelaki Ambon itu berhasil, tak hanya membuang ketakutan Puan, tapi membuatnya berbalik mencintai laut. Puan melupakan tragedi masa lalu, kenangan buruk yang membuat laut tak lagi biru di matanya. Mereka berenang bersama, membiarkan apa-apa yang mengendap dalam hati turut kuyup. Bersama Nathan, Puan benar-benar lupa ketakutannya.

"Kau tidak hanya menyembuhkan ketakutanku. Kau juga tidak hanya membuatku suka dengan laut, tapi kau juga sudah membuatku jatuh cinta dengannya." (hal 174)

Ketika Puan semakin dimabuk oleh cara Nathan membuatnya selalu nyaman, kerikil-kerikil mulai berjatuhan. Menimbulkan perih, dan tak sedikit air mata. Cinta membuat Puan sampai lepas kendali, melukai hati Papa yang teramat menyayanginya selama ini.

"Kau telah mengajakku berenang. Kita telah sama-sama basah. Namun, tak akan kubiarkan aku--apalagi kau--tenggelam di laut paling dalam." (hal 181)

Beruntunglah, Puan mampu bersikap dewasa dan berdamai dengan apa-apa yang hampir menenggelamkannya. Puan hanya ingin semuanya baik-baik saja, tanpa melukai siapa pun.

Bagaimana kelanjutannya? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya! Hehehe ....

Review:
Novel ini mengajak kita untuk menilik pesona Halmahera Selatan. Meski porsinya kecil, penulis berusaha mengenalkan alam, budaya, masyarakat, dan banyak hal menarik di sana. Gaya bertutur penulis mengedepankan kesederhanaan. Diksi yang digunakan sangat keseharian. Namun karena ditata teramat rapi, jadinya sungguh memikat. Ibarat kerikil yang ditata dalam formasi tertentu hingga keindahannya mampu mengalahkan batu permata.

Penggambarannya sangat detail, tervisualisasikan dengan baik dalam kepala. Saya bisa melihat seperti apa rumah Puan, pantai di belakangnya, dan gaya Puan ketika duduk mengamati Nathan dari kejauhan.

Saya suka kutipan menarik di setiap awal bab, serupa umpan untuk terus membaca.

Novel ini menyentuh banyak sisi kehidupan. Tentang perjuangan seorang ibu menyekolahkan anaknya, hubungan hamba dan Sang Pencipta, juga manusia dengan alam. Di bagian-bagian tertentu, saya sungguh larut di kenikmatan membaca. Ada pesan-pesan moral yang meresap ke hati. Setiap kalimat seolah mengandung magnet. Entah berasal dari mana kekuatan novel ini, susah dibahasakan. Intinya, saya sangat menikmatinya.

Ini memang novel roman, tapi penulis mengemasnya dengan unik. Tidak mesti cinta dibahasakan begitu lantang untuk terlihat romantis. Penulis justru menampilkannya dari banyak sudut pandang, menyentuh dari sisi berbeda, membawa kita pada perenungan-perenungan. Perihal cinta dibahasakan pelan-pelan, sewajarnya. Saya sangat suka.

Ending cerita ini cukup melegakan. Setelah melalui puncak haru biru, tampaklah hati yang luar biasa tegar. Semua akan dipertemukan dengan kehidupan yang lebih baik.

Berlatarkan pelosok Halmahera Selatan, serta menyinggung tragedi perang saudara yang pernah terjadi di sana, membuat nuansa lokal novel ini sangat kental. Sangat recomended untuk kamu yang mulai jenuh dengan kisah fiksi bertema cinta yang gitu-gitu aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar