Kamis, 21 September 2017

Review Novel: Dia yang Kembali



Judul             : Dia yang Kembali

Penulis         : Titi Sanaria

Penerbit       : Kubus Media

Tebal             : 282 hlm

ISBN              : 978-602-61000-8-5

Blurb:
Laki-laki itu serupa mimpi buruk bagi Dara. Mungkin lebih mengerikan daripada sekadar mimpi yang sewaktu-waktu berakhir saat terjaga. Karena dunia nyata tak bisa dipenggal seperti mimpi.

Dia kembali. Layaknya menggarami luka, hanya perih yang meraja. Dara bisa merasakan kenangan perlahan menyeret, menggulung, dan menenggelamkan. Kehadiran lelaki itu mengupas helai-helai memori menyakitkan yang berusaha dilupakan Dara.

Dara tahu dia harus menyelamatkan diri. Namun, bagaimana caranya?

_*_

Alur Cerita:
“Semua hal punya masa kadaluarsa. Makanan, obat, kosmetik, bahkan surat perjanjian. Mengapa hal yang sama tidak berlaku untuk perasaan?”_(hal 2)

Dara tengah terjebak di masa lalu. Sesuatu menuntunnya menjadi pecandu kopi saat harus menemukan pelarian ketika terjaga tengah malam karena mimpi buruk. Entah mimpi atau nyata, ia mulai sulit membedakannya.

Mimpi buruk itu benar-benar menjelma nyata, ketika kantor Dara kedatangan pimpinan baru dari kantor pusat. Dan dialah lelaki itu, bintang yang pernah menyilaukan hari-harinya.

Dara berpikir keras untuk menjauh, sebelum akhirnya memilih untuk menghadapi kenyataan. Ia harus menyembuhkan ketakutannya, meski tidak mudah.

Buktinya, beberapa interaksi awal dengan lelaki itu sangat buruk. Dadanya sesak, tangannya gemetar. Ada tumpukan luka yang terusik, perih, dan berdarah lagi. Dara harus mengendalikannya, dengan cara yang ia sendiri tak paham.

Satya paham, semua ini salahnya. Dia hadir untuk memperbaiki semuanya, meski takkan bisa kembali seperti dulu. Ia paham, dirinya lelaki, dan bersalah. Ia yang harus berjuang mati-matian demi mendapatkan sebentuk kata maaf.

Satya sudah sejauh ini, dan perempuan itu di depan mata, seatap dengannya, bawahannya. Tapi status atasan dan bawahan sama sekali tidak berefek, dan Satya sadar sepenuhnya. Dari awal ia memang tidak berniat memanfaatkan posisinya. Dia harus berjuang dari nol, mengesampingkan harga diri.

“Setelah apa yang terjadi di masa lalu, dia memang pantas mendapatkan semua perlakuan buruk Dara. Dia sama sekali tidak berhak mengeluh.”_(hal 98)

Satya mulai mendekati Dara dengan berbagai cara. Mulai dari urusan pekerjaan, hingga siasat belaka yang tak jarang bikin Dara geram. Melihat penolakan Dara, Satya seolah sadar, sungguh berat hari-hari yang dilalui perempuan itu setelah kejadian tak diinginkan itu.

Semakin kuat usaha Satya, semakin kukuh pula pendirian Dara. Ia rela melakukan apa pun demi menjauh dari lekaki itu.

Satya bukannya menyerah, tapi tak ada yang lebih penting baginya selain melihat Dara bahagia, tenang paling tidak. Sekali pun ia harus mundur sebelum mendapatkan apa yang ia perjuangkan.

“Aku tidak bisa berjuang untuk seseorang yang tidak menginginkan aku menang. Jadi aku hanya akan memberikan apa yang kamu inginkan. Perpisahan ini.”_(hal 141)

Lantas, apakah Dara lebih baik setelahnya? Sedikit. Sebab di sisi lain, diam-diam mencuat rasa bersalah yang selama ini coba ia kekang, serta remah rasa yang dulu pernah ada.

Setelah melalui tahap seleksi, Dara berhasil menempati salah satu bangku kosong di kantor pusat. Tentu saja ia beruntung, banyak yang mengincar posisi itu. Namun siapa sangka, di balik kemantapan hatinya untuk meninggalkan Makassar, tercetus sebuah pemikiran kemungkinan bertemu kembali dengan Satya.

Kisah traumatik apa sebenarnya yang terjadi antara mereka? Apa yang Dara inginkan? Bukankah ia yang meminta Satya menjauh? Kenapa sekarang seolah mencari peluang untuk bisa bertemu dengan lelaki itu? Segera miliki bukunya untuk mengetahui jawabannya. Hehehe ....

_*_

Review:
Secara tampilan novel ini sangat manis. Cetakan jejak kaki pada hamparan pasir secara tidak langsung menegaskan, bahwa cerita ini banyak-banyak bersinggungan dengan masa lalu.

Saya sangat menikmati membaca novel ini. Gugusan kalimatnya manis nan berbobot. Selain banyak quote kece, setiap alenia seolah mengandung pesan tersirat, kadang membawa saya pada titik perenungan. Begitu baca, saya enggan melepas novel ini sebelum tahu masa lalu Dara dengan Satya, kisah traumatik yang menjadi pilar utama cerita ini. Penulis sukses membangun rasa penasaran.

Saya suka cara penulis menghadirkan penggalan-penggalan masa lalu tanpa banyak embleng-embleng. Diungkap pelan-pelan, disampaikan bergantian dengan masa sekarang, tapi di beberapa bagian malah terkesan menyatu. Perpindahannya sangat halus.

Kekurangan novel ini ada pada bagian perjuangan Satya memohon maaf, menurut saya kurang dramatis. Dan penyelesaian konflik dengan salah seorang tokoh di bagian akhir kurang runcing. Tapi sama sekali tidak mengurangi kenikmatan cerita. Balik lagi soal pendapat masing-masing kepala.

Nilai plus untuk saya pribadi, saya langsung heboh pas tahu penulis menjadikan Makassar sebagai setting awal cerita. Senang aja menemukan kota sendiri dalam cerita. Hehehe ....

Novel ini cocok banget buat kamu yang kadang susah berdamai dengan masa lalu, pun kamu yang sedang belajar menerima kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar