Rabu, 03 Mei 2017

Review Kumcer: Kumpulan Budak Setan




Judul             : Kumpulan Budak Setan

Penulis          : Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, Ugoran Prasad

Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama

Tebal             : 174 hlm

ISBN            : 978-602-03-3364-9

BLURB
Kumpulan Budak Setan, kompilasi cerita horor Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad, adalah proyek membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap, penulis horor populer yang produktif di era 1970-1980-an. Dua belas cerpen di dalamnya mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap—balas dendam, seks, pembunuhan—serta motif-motif berupa setan, arwah penasaran, obyek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.

***

Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring terlentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan seembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar: “Ina Mia?”
(Riwayat Kesendirian, Eka Kurniawan)

Jilbabnya putih kosong, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan—lebih mirip terigu menggumpal tersapu air—dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan.
(Goyang Penasaran, Intan Paramaditha)

“Duluan mana ayam atau telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi. Darah di mana-mana.
(Hidung Iblis, Ugoran Prasad)

Saya suka nonton film horor, tapi untuk bacaan belum terlalu. Hanya saja saya memilih buku ini karena latar belakang penyusunannya yang tak biasa dan sepertinya butuh perjuangan ekstra. Ada rasa penasaran tersendiri setelah buku ini jadi bahan perbincangan di mana-mana. Terlepas dari itu, jujur, untuk keperluan mengikuti “Undangan Menulis Kumpulan Budak Setan 2”.
Bagian awal kita disambut kata pengantar, “Para Budak yang Penasaran”, yang membeberkan asal muasal terbentuknya buku ini. Bahkan proses pemilihan judul pun dipaparkan di sini. Secara tidak langsung bagian ini juga seolah meyakinkan pembaca bahwa buku ini akan menyajikan sesuatu yang tak biasa. Benar saja, horor yang awalnya saya pikirkan berbeda dengan yang tersaji di sini. Unsur seramnya tidak dipaksakan, banyak penggambaran sosok hantu yang baru (bukan hantunya yang baru, tapi cara penyampaiannya).
Sepanjang membaca buku ini tak jarang saya bergidik, karena narasi yang saya baca seolah langsung terjadi di depan mata. Tema yang diangkat secara umum berupa isu yang beredar di masyarakat luas, tentu saja dengan kemisteriusannya yang seolah tak ada habisnya untuk dibahas. Misal soal ilmu kebal pada cerpen “Jimat Sero”. Cerpen ini dibumbui adegan panas penuh mistis. Setelah menandaskannya, tanpa sadar saya membenarkan, karena cerita serupa pernah beredar di kampung saya.

Yang tidak biasa, ia di sana tidak sendirian. Ia bersama seorang lelaki, juga telanjang. Mereka bergumul, dan aku hanya duduk di sofa, sambil memandang mereka melalui pintu kamar yang terbuka. Aku merasa ikut terangsang. Kepalaku melayang-layang.
Aku mencopot sepatu, melepas kaus kaki. Kupandangi tanganku yang penuh noda darah. Kuintip kembali Raisa dengan lelaki itu. Kudengar desahan suara Raisa yang sangat kukenal. Sebentar lagi aku akan orgasme, pikirku. (hal 40)

Bahaya zina mata dipaparkan pada cerpen “Goyang Penasaran”. Di sini lagi-lagi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Orang yang tampak sempurna di luar belum tentu dalamnya, bisa jadi penuh borok. Bahkan jika seseorang sudah sangat ambisisus pada sesuatu, tanpa sadar segala cara akan ditempuh, salah sekali pun. Misal dalam cerpen ini, kita dihadapkan pada tokoh yang akhirnya menjadi abdi setan demi mencapai tujuan semu. Aroma dendam sangat kuat membaluri cerpen ini.

Solihin terluka parah, namun terselamatkan dan diarak ke kantor polisi. Salimah tak bertahan. Kemarahan massa meluap-luap ketika melihat perempuan itu memeluk kepala Haji Ahmad dengan tubuh berlumuran darah. Rambutnya yang semrawut dan matanya yang jalang membuat darah warga kampung mendidih. Pentungan berkali-kali menghantam kepalanya. Ia tersungkur, mati dengan tubuh lebam, namun tangannya tetap mendekap kepala. Mereka yang iba menutup matanya yang mendelik. Bulan mati pucat, dingin telanjang. (hal 57)

Cerpen “Pintu” adalah yang paling ajaib sekaligus menjadi cerpen favorit saya di buku ini. Alurnya berliku-liku dan cukup membingungkan di awal. Ada bagian yang ambigu, yang mungkin akan ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pembaca. Semakin ke belakang semakin banyak hal tak terduga yang terkuak. Tema yang diangkat masih lekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan tak jarang mewarnai siaran berita di layar kaca.

Ia tengah berbicara dengan penumpang di jok belakang. Seorang lelaki muda berjaket hitam dengan mata besar terbelalak dan seutas tali melilit di leher. Lelaki yang tahu rasanya membuka pintu mobil, bercinta di jok kulitnya yang dingin, mengamati dunia lewat kaca film. Ia tak ingin pergi terlalu lekas. (hal 88)

Sedang untuk penggambaran sosok hantu paling menyeramkan saya jumpai di cerpen “Hantu Nancy”. Coba bayangkan, jika di waktu dan tempat yang tak terduga tiba-tiba di hadapanmu muncul sosok perempuan botak, mata melotot, serta mulut tersumpal rambut. Sosok Hantu Nancy sempat berdiam di kepalaku selama beberapa hari.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis. (hal 132)

Terakhir, buku ini sangat cocok untuk para pencinta genre horor yang mungkin mulai jenuh dan butuh suasana berbeda. Bagi Anda yang penakut tapi penasaran ingin membacanya, sebaiknya baca di waktu siang. Jangan di malam hari, terlebih saat sendiri. Bisa jadi salah satu dari mereka malah menghampiri untuk menemani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar