Judul : Kumpulan Budak Setan
Penulis : Eka Kurniawan, Intan Paramaditha,
Ugoran Prasad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 174 hlm
ISBN : 978-602-03-3364-9
BLURB
Kumpulan Budak Setan,
kompilasi cerita horor Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad,
adalah proyek membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap, penulis horor
populer yang produktif di era 1970-1980-an. Dua belas cerpen di dalamnya
mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap—balas dendam, seks, pembunuhan—serta
motif-motif berupa setan, arwah penasaran, obyek gaib (jimat, topeng, susuk),
dan manusia jadi-jadian.
***
Kupejamkan kembali
mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia
berbaring terlentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan seembus
napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun
nyaris tak mendengar: “Ina Mia?”
(Riwayat Kesendirian, Eka Kurniawan)
Jilbabnya putih kosong,
membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan—lebih mirip terigu menggumpal
tersapu air—dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang
kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau
meringis kesakitan.
(Goyang Penasaran, Intan Paramaditha)
“Duluan mana ayam atau
telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi
kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan
menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu
bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali
lagi. Lagi. Darah di mana-mana.
(Hidung Iblis, Ugoran Prasad)
Saya suka nonton
film horor, tapi untuk bacaan belum terlalu. Hanya saja saya memilih buku ini
karena latar belakang penyusunannya yang tak biasa dan sepertinya butuh
perjuangan ekstra. Ada rasa penasaran tersendiri setelah buku ini jadi bahan perbincangan di mana-mana. Terlepas dari itu, jujur, untuk keperluan mengikuti “Undangan
Menulis Kumpulan Budak Setan 2”.
Bagian awal kita
disambut kata pengantar, “Para Budak yang Penasaran”, yang membeberkan asal muasal
terbentuknya buku ini. Bahkan proses pemilihan judul pun dipaparkan di sini.
Secara tidak langsung bagian ini juga seolah meyakinkan pembaca bahwa buku ini
akan menyajikan sesuatu yang tak biasa. Benar saja, horor yang awalnya saya
pikirkan berbeda dengan yang tersaji di sini. Unsur seramnya tidak dipaksakan, banyak
penggambaran sosok hantu yang baru (bukan hantunya yang baru, tapi cara
penyampaiannya).
Sepanjang membaca
buku ini tak jarang saya bergidik, karena narasi yang saya baca seolah langsung
terjadi di depan mata. Tema yang diangkat secara umum berupa isu yang beredar
di masyarakat luas, tentu saja dengan kemisteriusannya yang seolah tak ada habisnya untuk dibahas. Misal soal ilmu kebal pada cerpen “Jimat
Sero”. Cerpen ini dibumbui adegan panas penuh mistis. Setelah menandaskannya,
tanpa sadar saya membenarkan, karena cerita serupa pernah beredar di kampung
saya.
Yang tidak biasa, ia di sana tidak sendirian. Ia bersama seorang
lelaki, juga telanjang. Mereka bergumul, dan aku hanya duduk di sofa, sambil
memandang mereka melalui pintu kamar yang terbuka. Aku merasa ikut terangsang. Kepalaku
melayang-layang.
Aku mencopot sepatu, melepas kaus kaki. Kupandangi tanganku yang penuh
noda darah. Kuintip kembali Raisa dengan lelaki itu. Kudengar desahan suara
Raisa yang sangat kukenal. Sebentar lagi aku akan orgasme, pikirku. (hal 40)
Bahaya zina mata dipaparkan pada
cerpen “Goyang Penasaran”. Di sini lagi-lagi sangat dekat dengan
kehidupan sehari-hari. Orang yang tampak sempurna di luar belum tentu dalamnya,
bisa jadi penuh borok. Bahkan jika seseorang sudah sangat ambisisus pada
sesuatu, tanpa sadar segala cara akan ditempuh, salah sekali pun. Misal dalam
cerpen ini, kita dihadapkan pada tokoh yang akhirnya menjadi abdi setan demi
mencapai tujuan semu. Aroma dendam sangat kuat membaluri cerpen ini.
Solihin terluka parah, namun terselamatkan dan diarak ke kantor polisi.
Salimah tak bertahan. Kemarahan massa meluap-luap ketika melihat perempuan itu
memeluk kepala Haji Ahmad dengan tubuh berlumuran darah. Rambutnya yang
semrawut dan matanya yang jalang membuat darah warga kampung mendidih. Pentungan
berkali-kali menghantam kepalanya. Ia tersungkur, mati dengan tubuh lebam,
namun tangannya tetap mendekap kepala. Mereka yang iba menutup matanya yang
mendelik. Bulan mati pucat, dingin telanjang. (hal 57)
Cerpen “Pintu” adalah yang
paling ajaib sekaligus menjadi cerpen favorit saya di buku ini. Alurnya berliku-liku
dan cukup membingungkan di awal. Ada bagian yang ambigu, yang mungkin akan
ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pembaca. Semakin ke belakang semakin
banyak hal tak terduga yang terkuak. Tema yang diangkat masih lekat dengan
kehidupan sehari-hari, bahkan tak jarang mewarnai siaran berita di layar kaca.
Ia tengah berbicara dengan penumpang di jok belakang. Seorang lelaki
muda berjaket hitam dengan mata besar terbelalak dan seutas tali melilit di
leher. Lelaki yang tahu rasanya membuka pintu mobil, bercinta di jok kulitnya
yang dingin, mengamati dunia lewat kaca film. Ia tak ingin pergi terlalu lekas.
(hal 88)
Sedang untuk penggambaran sosok
hantu paling menyeramkan saya jumpai di cerpen “Hantu Nancy”. Coba bayangkan,
jika di waktu dan tempat yang tak terduga tiba-tiba di hadapanmu muncul sosok perempuan
botak, mata melotot, serta mulut tersumpal rambut. Sosok Hantu Nancy sempat
berdiam di kepalaku selama beberapa hari.
Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia
telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang
Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut
itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa
lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis. (hal 132)
Terakhir, buku ini sangat cocok
untuk para pencinta genre horor yang mungkin mulai jenuh dan butuh suasana
berbeda. Bagi Anda yang penakut tapi penasaran ingin membacanya, sebaiknya baca
di waktu siang. Jangan di malam hari, terlebih saat sendiri. Bisa jadi salah
satu dari mereka malah menghampiri untuk menemani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar